Cute Brown Spinning Flower

23.5.16

The Beautiful of Friendship - chapter 9

"Lara! Irfani! Buka pintunya!" Ira berteriak-teriak seraya memukul-mukul pintu gudang.
"Siapa saja di luar, buka pintunya! Tolong! Tolong!"
Tapi tak ada seorang pun yang datang. Lara, Irfani, dan yang lain telah kembali ke kelas karena terdengar suara bel masuk. Tak ada yang mengetahui keberadaan Ira selain mereka. Jika mereka berencana untuk mengurungnya, maka mereka tak akan membukakan pintu bahkan sampai pulang sekolah nanti.
"Gawat. Aku harus cari jalan lain," gumam Ira. Ia memperhatikan sekitar gudang. Matanya tertuju pada cahaya yang masuk dari celah-celah lubang ventilasi. Ventilasi yang terbuat dari kayu tersebut telah lapuk rupanya. Jika ia mendobrak lubang tersebut, tentu tubuhnya dapat dengan mudah melewati lubang tersebut.
"Tapi... Tingginya... Eh, tunggu. Kalau aku panjat kursi-kursi itu pasti bisa."
Rupanya tumpukan kursi tak terpakai tepat berada di bawah lubang ventilasi. Ira agak ragu untuk memanjatnya karena kursi-kursi tersebut sudah sangat lapuk. Bagaimana jika nanti ia terjatuh dan tertimpa kursi-kursi tersebut?
Tapi, ia tak boleh ragu. Ada juga kemungkinan ia bisa keluar dari gudang bila memanjat kursi-kursi itu, kan?
Pada akhirnya, Ira memanjat tumpukan kursi tersebut. Sangat hati-hati, hingga akhirnya ia berada tepat di depan lubang ventilasi.
"Haa... Berhasil. Sekarang, tinggal dobrak kayu ventilasi ini dan aku bisa keluar," pikir Ira. Ia mengangkat kakinya, mengambil ancang-ancang untuk mendobrak kayu ventilasi.
BAKH!
Ira menendang kayu tersebut. Namun rupanya kayu ventilasi masih sangat keras. Tendangannya hanya membuat tubuhnya kembali terpental ke belakang. Kakinya yang lain tidak terlalu kuat menahan, ditambah tumpukan kursi di bawahnya mulai bergoyang-goyang.
"Kalau begini, aku bisa jatuh...."
Tumpukan kursi kini ambruk.

-to be continued-

22.5.16

The Beautiful of Friendship - chapter 8

Beberapa hari setelah kejadian kertas contekan, Ira merasakan perlakuan berbeda dari teman-teman sekelasnya. Satu persatu, mereka menjauhi Ira hingga akhirnya ia menjadi sering sendirian. Termasuk teman bermainnya dulu, Irfani dan Irfan. Irfani kini lebih sering bersama Lara dan Irfan selalu berusaha menghindar saat diajak mengobrol dengannya. Kini ia benar-benar sendirian.
"Ira! Ira! Ira!" Bu Nazar, Ibu Ira, berkali-kali memanggil nama anaknya saat sedang makan malam. Beliau bahkan menggoyang-goyang bahu Ira.
"Eh! Iya. Kenapa, Bu?" Ira sedikit terkejut saat tubuhnya terguncang.
"Ira, kenapa sayang? Kok, daritadi bengong? Makanannya juga gak dihabisin. Lagi ada masalah di sekolah?" tanya Bu Nazar, lembut. Ia mengusap-usap kepala Ira.
"Gak apa-apa, kok Bu." jawab Ira menutupi.
"Beneran nggak apa-apa?"
"Iya, Bu. Nggak apa-apa. Ibu nggak usah khawatir. Aku udah, ya Bu makannya. Masih ada PR," pamit Ira. Ia menutup sendok dan garpunya.
"Ya sudah. Belajar yang rajin, ya!"
Ira mengangguk. Ia beranjak dari meja makan dan berjalan memasuki kamarnya. Setelah mengunci pintu kamar, Ira membaringkan tubuhnya di ranjang. Air mata mulai mengalir di pipinya.
"Maaf Ibu. Ira nggak mau Ibu khawatir." gumamnya.
********
Esok hari saat istirahat sekolah, Ira berjalan sendirian menuju perpustakaan. Namun ia melihat Irfan sedang berdiri di pintu masuk perpustakaan, seperti menunggunya.
"Irfan?" panggil Ira.
Irfan menengok ke arah Ira dan menatapnya sebentar dengan wajah kebingungan. Tapi, tiba-tiba ia berlari menuju belakang sekolah.
"Eh, Irfan! Tunggu!" teriak Ira. Spontan Ira mengikuti Irfan. Langkahnya mulai melambat saat ia melihat Irfan telah berhenti berlari. Ia berjalan mendekati Irfan yang kini dihadapannya.
"Irfan, kenapa? Kok, kamu seperti sedang ada masalah?"
"Maaf." jawaban Irfan.
Tiba-tiba terdengar tepuk tangan seseorang. Lara dan Irfani muncul dari belakang Irfan, di susul Agil dan Tari dari belakang Ira. Ira langsung menyadari kalau ia dijebak oleh Lara.
"Good Irfan! Kamu memang berbakat jadi aktor," Lara menepuk-nepuk lengan Irfan.
"Lara, apa maksudnya ini?" teriak Ira.
Tapi Lara tak menjawab, ia memberi kode pada Agil dan Tari untuk membawa Ira mengikutinya.
Irfani membuka pintu gudang sekolah. Ira dipaksa memasuki gudang tersebut oleh Agil dan Tari. Ia di dorong ke dalam hingga jatuh tersungkur. Lara berdiri di hadapannya.
"Hahaha! Mampus, lo!" maki Lara.
"Lara, apa salah aku sampai kamu jahat begini?" tanya Ira, terdengar isak dari suaranya.
"Pikir aja sendiri! Ayo! Kita kunci dia di sini. Biar dia mikir," Lara membalikkan tubuhnya dan mulai keluar dari gudang.
"Lara! Tunggu! Jangan tinggalin aku sendirian di sini...," Ira berusaha bangun dan mengejar mereka.
Sayangnya pintu gudang telah tertutup. Bahkan ia bisa mendengar Irfani telah mengunci kembali pintu gudang tersebut. Mereka meninggalkan Ira dalam gudang.

-to be continued-

18.5.16

The Beautiful of Friendship - chapter 7

Saat istirahat berikutnya, Ira berjalan gontai menuju kantin. Beberapa anak terlihat mengolok-oloknya, tapi ia tak memedulikannya. Di kepalanya masih terngiang kata-kata Bu Osa tadi pagi. Kini Ira hanya terdudum lemas seraya memutar-mutar sedotan minumannya di salah satu kursi pojok kantin.
"Hai, Ra! Kamu gak apa-apa, kan?" Irfan muncul di hadapannya.
"Gak usah ngeledek. Emangnya gak sakit difitnah kayak gitu. Kertas itu bukan punya aku, Fan. Kamu percaya, kan sama aku?" emosi Ira langsung meluap.
"Percaya, kok. Tapi siapa yang simpan kertas itu di laci meja kamu, ya Ra?"
"Gak tau deh, Fan. Temen-temen kelas juga gak percaya sama pernyataanku."
"Mereka percaya, kok sama kamu. Sebelum...," Irfan memotong kata-katanya.
Ira penasaran. Irfan memperlihatkan gelagat yang aneh.
"Sebelum apa?"
"Sebelum Lara bilang kalau dia ngelihat kamu memasukan kertas ke laci meja...,"
"Lara?!"
Irfan mengangguk. Kini Ira mulai mengerti mengapa kertas tersebut bisa di laci mejanya. Tapi, ia tak memiliki bukti apa pun untuk menyalahkan Lara.
"Ra, aku ke toilet dulu, ya." pamit Irfan.
Ira mengangguk. Irfan segera berlari menuju toilet yang agak jauh dari kantin. Sementara Ira kembali pada lamunannya.
******
Saat keluar dari toilet pria, Irfan mendengar suara tertawa dari samping toilet wanita.
"Lara?!" batin Irfan.
"Haha... Terjebak juga tuh Ira. Bu Osa juga percaya lagi. Gampang banget mereka ditipu," ucap Lara.
"Iya, tuh. Gampang ketipu," timpal Algi.
"Padahal kita hanya menyimpan kertas di laci meja, kukira takkan berhasil, ternyata sukses... BESAR!" ucap Tari dengan nada yang cukup tinggi.
"Ssssstttt!" Lara dan Algi menutup mulut Tari dengan tangannya.
"Gak usah teriak kali. Kalau terdengar orang lain gimana?"
"Oh, iya. Maaf! Maaf!"
Irfan mendengar percakapan tersebut dengan amat jelas. Rupanya semua dugaannya benar. Lara menjebak Ira saat ulangan pagi tadi. Ia berpikir untuk memberitahukan Ira mengenai hal ini.
BRUK!
Tempat sampah di samping toilet pria terjatuh. Rupanya Irfan menyenggol tempat sampah tersebut saat terburu-buru untuk beranjak dari sana.
"Siapa itu?" teriak Lara. Ia bergegas mendekat sumber suara dan menemukan Irfan di sana.
"Eh, Lara!" seru Irfan.
"Oohh... Jadi dari tadi kamu nguping pembicaraan kita?"
"Nggak, kok, nggak." Irfan mengelak.
Lara menari kerah baju Irfan.
"He, Irfan. Kalau kamu berani macam-macam, saudaramu yang akan terkena akibatnya. Ngerti kamu?!"
"Ok, ok! Aku ngerti. Tapi tolong jangan libatkan Irfani," pinta Irfan.
Lara melepaskan kerah baju Irfan.
"Boleh saja. Tapi, ada syaratnya. Kamu harus ikuti semua yang aku perintahkan...,"
-- to be continued --

2.5.16

The Beautiful of Friendship - chapter 6

Esoknya, Ira melihat Irfan berjalan sendirian saat memasuki kelas. Padahal biasanya ia selalu berangkat bersama-sama dengan Irfani.
"Jadi, Irfani masih sakit." batin Ira. Ia menundukkan wajahnya memikirkan kejadian kemarin, saat ia berkunjung ke rumah Irfani.
"Ira!"
"Ah! I, iya Fan!" Ira terkejut. Panggilan Irfan membuat ia terbangun dari lamunannya. Irfan memperhatikan Ira sejenak.
"Kemarin kamu nggak menemui Irfani, ya? Kenapa?" tanya Irfan.
Ira tak langsung menjawab. Sebenarnya ia ingin memberitahu Irfan tentang perkataan Lara kemarin. Tapi, ia takut hal tersebut justru menambah masalah.
"Jawab pertanyaanku, Ra!" Irfan memaksa.
"Nggak kenapa-kenapa, kok. Aku cuma nggak mau Irfani tambah emosi gara-gara aku datang," jawab Ira sekenanya.
"Kamu nggak bohong, kan?"
"Nggak, kok."
Irfan masih memperhatikan Ira yang memalingkan matanya. Ia merasa Ira menyembunyikan sesuatu.
"Baguslah kalau gitu. Tapi kalau ada apa-apa, cerita aja." Irfan menghentikan interogasinya.
"Iya. Thanks ya."
Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi. Bu Osa segera memasuki kelas diiringi anak-anak yang berlarian menuju bangkunya. Beliau mengumumkan bahwa hari ini akan diadakan ulangan matematika. Bu Osa membagikan soal ulangan dan segera memulai setelah seluruh anak kelas siap.
Ira mengerjakan soal-soal ulangan dengan serius. Ia sudah mempelajari materi ulangan hari ini sejak dua hari yang lalu. Sehingga Ira tak terlalu sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
"Ups! Ada yang salah," batinya saat salah menulis persamaan matematika. Ia meraba-raba laci meja untuk mengambil penghapusnya. Namun, tanganya meyentuh sesuatu seperti kertas yang dilipat-lipat. Karena penasaran, ia mengeluarkan lipatan kertas dari laci.
"Apa ini?" gumamnya. Tanpa curiga, Ir membuka lipatan kertas tersebut. Di dalamnya tertulis jawaban-jawaban ulangan matematika. Mata Ira terbelalak. Ia tak pernah membuat kertas contekan seperti ini.
"Ada apa, Ira?" tegur Bu Osa saat melihat Ira berhenti mengerjakan ulangan.
Ira berusaha menyembunyikan kertas tersebut.
"Nggak ada apa-apa, Bu."
"Kertas apa itu? Bisa Ibu lihat?" Bu Osa berjalan mendekat dan meminta Ira memberikan kertas yang dipegangnya. Ira memberikan kertas tersebut pada Bu Osa. Beliau geleng-geleng kepala saat melihat isi kertas.
"Kertasnya Ibu ambil. Setelah selesai ulangan, kamu ikut Ibu ke kantor!" ujar Bu Osa.
"Tapi Bu, itu bukan milik saya...," Ira melakukan pembelaan.
"Kita bicarakan hal ini di kantor ya, Ira. Yang lain lanjut kerjakan ulangan!" Bu Osa kembali ke mejanya.
Suasana kelas kembali tenang. Sangat berbeda dengan isi hati Ira. Konsentrasinya terpecah, tidak lagi menjawab soal-soal di hadapannya. Ia benar-benar tak percaya ada seseorang yang mencoba memfitnah dirinya. Rasanya Ira ingin sekali menangis. Apa kesalahannya hingga ada yang tega melakukan hal tersebut? Matanya mulai basah. Tapi, ia tahan agar tak ketahuan teman-temannya. Sampai akhirnya, Bu Osa memberi tanda bahwa waktu ujian berakhir. Teman-teman mulai mengumpulkan lembar jawaban dari ulangan tersebut, begitu pun Ira.
"Ayo, Ira!" Bu Osa mengajak Ira saat hendak menuju ruang guru.
Ira berjalan gontai mendekati beliau. Seluruh teman sekelas menatapnya dengan tatapan sinis, ada juga yang kasihan, tapi semua itu tak ada artinya bagi Ira. Tak satu pun yang mau membantunya, kan?
********
"Ibu benar-benar tak menyangka. Siswa dengan nilai terbaik di kelas, ternyata menyontek." Ucap Bu Osa.
"Tapi, Bu. Kertas itu bukan milik saya," jawab Ira.
"Kalau bukan milikmu, terus milik siapa? Kertas ini ada di laci mejamu, kan?"
"Iya, Bu. Tapi, saya benar-benar nggak menyontek."
"Sudahlah. Hari ini, kamu, Ibu maafkan. Tapi lain kali kalau ketahuan kamu menyontek lagi, Ibu akan beri hukuman. Sekarang, kembali ke kelasmu!"
Ira tak menjawab apa pun. Ia hanya mengangguk dan segera berjalan keluar dari ruang guru dengan menunduk. Ia merasa tak melakukan kesalahan apa pun, hanya karena selembar kertas dan semuanya menjadi kacau. Ia hanya ingin kembali ke bangkunya.
"Whuuuu!" sorakan teman-temannya saat Ira memasuki kelas.
"Wah! Ternyata nilai bagusnya gara-gara nyontek, ya?" ucap Tari mengolok-olok Ira.
"Iya tuh. Dasar tukang nyontek." Timpal Nino.
"Kita panggil dia 'Si Penyontek' aja yuk, teman-teman! Hahaha!" tambah Algi.
"Ha.. Ha.. Ha.. Ayoo...!" seluruh kelas kembali menertawakan Ira. Tapi, Ira tak membalas sama sekali. Ia hanya dapat mendengarkan dan menunduk sedih di bangkunya.

*** to be continued ***

1.5.16

The Beautiful of Friendship - chapter 5

Ira tergesa-gesa melepas sepatunya saat hendak memasuki rumah. Ia hanya mengucap salam pada ibunya saat berpapasan di ruang tamu. Tanpa menengok sedikit pun, Ira berlari memasuki kamarnya. Ia melemparkan ransel sekolahnya dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Air matanya menitik.
"Hari ini kacau banget, sih." keluhnya. Ia menarik nafas panjang, berusaha menenangkan emosi. Tapi, ia teringat sesuatu. Ia bangun dari baringannya dan mengambil buku tulis dari ransel. Itu bukunya Irfani.
"Aku lupa lagi kembalikan buku Irfani. Sepertinya memang aku harus menemuinya langsung," gumamnya.
Esoknya saat di sekolah, Ira tidak melihat Irfani datang ke sekolah bersama Irfan.
"Irfani kemana, Fan?" tanyanya.
"Sakit?"
"Iya. Semalam dia demam."
"Gara-gara aku, ya?" gumam Ira hampir tak terdengar oleh Irfan.
"Kenapa, Ra?"
"Ah, nggak kom. Nggak kenapa-kenapa. Thanks, ya." Ira kembali ke kursinya. Ia berpikir untuk menjenguk Irfani pulang sekolah nanti.
Setelah berganti pakaian dan membeli beberapa buah-buahan sebagai buah tangan, Ira berangkat menuju rumah Irfani. Tak lupa juga buku Irfani yang ia pinjam.
Sesampainya Ira di rumah Irfani, ia menekan bel di samping pintu. Beberapa detik menunggu, Ira menekannya kembali. Tiba-tiba pintu terbuka.
"Ira?" itu Irfan.
"Irfani ada kan, Fan? Aku mau ngembaliin bukunya," Ira menunjukkan buku Irfani.
"Ada. Yuk, masuk!"
Irfan membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Ira masuk ke dalam.
"Kalau aku tau Ira juga mau mampir, bareng aja tadi pas pulang sekolah," ujar Irfan seraya menutup pintu.
"Emang ada yang ke sini?"
"Iya. Lara. Sekarang dia di kamar Irfani. Ira langsung ke kamarnya aja!"
"Oke Fan. Makasih, yak."
Ira berjalan menuju kamar Irfani yang letaknya di lantai dua rumah tersebut. Rupanya pintu kamar Irfani sedikit terbuka. Ia bisa melihat Lara dan Irfani sedang mengobrol di dalam. Sesaat sebelum Ira mengetuk pintu, terdengar suara Lara mengatakan sesuatu tentang dirinya.
"Ni, kamu tau nggak? Ira tuh ya sebenarnya jahat lho," ucap Lara.
"Jahat? Maksudnya?" tanya Irfani.
"Kemarin tuh aku lihat dengan mataku sendiri, Ira sengaja menumpahkan minumannya ke kamu."
"Tapi kata Irfan, Ira bilang ada yang mendorong badannya."
"Itu sih alasan Ira aja. Kamu kan gak tahu kalau dia sengaja menumpahkan atau nggak. Ya, kan?"
"Iya juga, sih. Tapi, kenapa coba?"
"Pasti dia iri tuh sama kamu. Nilai ulangan harian matematika kamu kan lebih besar dari dia."
"Gara-gara nilai doang?"
"Ya, kan bisa aja di depan kamu dia baik. Tapi, kan kamu gak tau di belakangnya gimana."
"Terus aku mesti gimana?"
"Menurutku, kamu jangan terlalu dekat sama dia. Orang kayak gitu nggak usah ditemani!"
"Iya juga, ya. Thanks ya, Ra. Kamu memang temanku yang paling baik, deh."
Ira benar-benar tak percaya akan hal yang baru di dengarnya. Apa maksud Lara menjelek-jelekkan dirinya sampai seperti itu? Mata Ira mulai berkaca. Ia menutup mulut agar suara isaknya tak terdengar. Ia kembali menuruni tangga dan berlari menuju kamar Irfan.
"Fan! Irfan!" Ira mengetu pintu kamar Irfan pelan.
Irfan membuka pintu kamarnya.
"Ini. Aku titip untuk Irfani, ya." Ira memberikan buku dan buah-buahan yang di bawanya.
"Lho, kok? Nggak langsung ke Irfani aja?" Irfan menerima buah dan buku tersebut. Ia memperhatikan Ira yang tak segera menjawab pertanyaannya.
"Kamu kenapa, Ra?" tanya Irfan saat mengetahui Ira tengah menangis.
"Aku nggak apa-apa. Aku pamit, ya. Thanks, Fan." Ira segera berlari meninggalkan rumah Irfani.
Meskipun Irfan merasa ada yang aneh, tapi ia tidak mengejarnya. Akhirnya Irfan memutuskan untuk bertanya langsung pada Irfani.
"Ni!" Irfan membuka pintu kamar Irfani.
"Ih! Irfan! Ketuk dulu kalau mau masuk!" balas Irfani sedikit gusar. Tapi tak diindahkan oleh Irfan.
"Ira kenapa?" tanyanya langsung.
"Ira? Memang Ira ke sini?" tanya Irfani.
"Kamu gak tahu?"
Irfani menggeleng. Irfan mulai mengerti alasan Ira menangis.
"Nih, dari Ira. Aku minta satu, ya!" Irfan memberikan buah-buahan dan buku yang Ira titipkan padanya.
"Ini semua punyaku tahu...," Irfani menarik buah yang Irfan ambil.
Saat itu Irfan menyadari kalau Lara tak sedikitpun memberikan komentar tentang Ira yang berkunjung. Ia merasa bahwa Lara mengetahui sesuatu.

28.4.16

The Beautiful of Friendship - Chapter 4

Sebelum masuk ke Chapter - 4 The Beautiful of Friendship, ada yang ingin writer sampaikan dulu untuk para reader. Seperte yang reader lihat, tampilan blog The Atri's sekarang telah berubah... JANG JANG!!!
Loh kenapa diubah?
Kemarin writer dapet masukan gitu dari salah satu reader. Katanya "template yg writer pakai kok serem banget?"
Nah, nah, nah, writer mau jelaskan dulu kok bisa pake template yg hitam-hitam gitu yaa... Sebenarnya template tersebut terakhir writer edit saat masih di bangku SMA. Mungkin waktu itu suasana hati writer lagi gothic-gothic, makanya pakai template gelap gulita. Hohoho.
Nah, semenjak itu, writer gak perna edit template lagi.
Terimakasih ya utk reader yg peduli banget sama writer -pede bangeett 😜😜😜- jadinya writer meluangkan waktu untuk mengedit template. Tapi, karena writer bukan manusia girly-simple, jadi masih pakai warna-warna blue-sky boleh lah yaaa...
Terimakasih juga pada semua reader yang sudah mengikuti The Beautiful of Friendship sampai chapter 3. Baca terus lanjutannya yaa.. Jangan lupa untuk tinggalkan jejak dengan komentar...
THANK YOU VERY MUCH 😘😘😘
-----------

THE BEAUTIFUL OF FRIENDSHIP - CHAPTER 4

Soal keempat yang ditulis Bu Osa terpaksa dihentikan karena lonceng istirhat berbunyi. Bu Osa menjadikannya pekerjaan rumah kami dan keluar kelas setelah merapikan buku-buku catatan di atas meja.
Irfani menutup tas setelah memasukan buku-buku paket yang tadi menumpuk di mejanya. Kemudian ia berjalan menghampiri Ira.
"Ra, kita ke kantin yuk! Aku belum sarapan, nih." ajaknya.
"Loh, Irfan udah sarapan. Kok, kamu belum?" Ira keluar dari bangkunya.
"Kayak gak tau aja. Jatahku habis dimakan Irfan," gerutu Irfani dengan wajah cemberutnya. Ira tertawa geli mendengar pengakuan Irfani.
"Oke, deh. Ayo kita ke kantin!" Ira menarik lengan Irfani.
Sesampainya di kantin, Irfani segera memesan dua mangkuk mie ayam kepada Bu Kantin sedangkan Ira mencari tempat duduk untuk mereka berdua. Tak lama, pesanan tersedia. Irfani segera membawa mie ayam tersebut menuju bangku yang dipilih Ira.
"Terimakasih. Jadi ngerepotin," ucap Ira.
"Ah, slow! Slow! Namanya juga teman," balas Irfani. Ia duduk di bangku tepat samping Ira dan mulai memakai mie-nya.
"Hm, Ni! Mau minum apa? Sini aku yg pesan," tawar Ira.
"Es teh manis aja, deh. Banyakin es-nya!" jawab Irfani.
"Ok." Ira bangkit dari duduknya. Ia menuju Bu Kantin dan memesan dua minuman. "Bu, yang satu banyakin es-nya ya!"
"Sip!" Bu Kantin menambah es pada minuman Irfani banyak-banyak. "Ini minumannya, non!"
"Terimakasih, ya Bu." Ira mengambil dua gelas dari tangan Bu Kantin dan mulai berjalan menuju Irfani.
Saat Ira tepat berada di belakang Irfani, datang Lara dengan langkah terburu-buru sengaja mendorong Ira. Tentu saja minuman yang dibawa Ira tumpah dan membasahi hampir seluruh pakaian Irfani. Irfani yang terkejut, bangkit dari bangkunya dan berbalim menghadap Ira.
"Kamu apa-apaan sih, Ra? Kamu sengaja, ya?!" teriak Irfani.
"Ng... Nggak, kok. Maaf, Ni. Tadi ada orang yang mendorongku dari belakang," jawab Ira gugup.
"Kamu kalah gak mau nemenin aku bilang, dong! Nggak usah pakai nyiram segala!" Irfani menuduh Ira.
"Nggak, Ni... Tadi itu ada yang..."
"Udahlah! Nggak usah alasan!" potong Irfani. Ia kemudian berlari menerobos kerumunan murid-murid yang melihat pertengkaran mereka.
"Irfani, tunggu!"
"Jangan, Ra!" Irfan tiba-tiba muncul dan menahan Ira yang hendak mengejar Irfani.
"Tapi, Fan, Irfani salah paham."
"Biar aku aja yang ngomong sama Irfani, ya." Irfan kemudian berlari menyusul Irfani.
Kerumunan yang mengelilingi Ira sedikit-sedikit berpencar. Beberapa orang membantu Ira merapikan gelas minuman dan mangkum mie ayam mereka. Setelah berterimakasih, Ira berjalan gontai menuju kelasnya dengan perasaan bersalah. Saat ia hendak duduk di bangku, ia tak melihat tas Irfani.
"Lho, Irfani kemana?" tanyanya pada diri sendiri.
"Irfani izin pulang, Ra. Noda minumannya sulit hilang dari seragamnya." Jawab Irfan yang baru saja datang.
"Oh...," Ira menjadi semakin merasa bersalah. "Irfani pulang sendiri?"
Irfan menggeleng kepala.
"Lara yang antar," ucap Irfan kemudian.
"Ira sengaja nggak sih numpahinnya?" tanyanya.
"Nggak, kok. Aku bisa jelasin...," Ira menjelaskan bagaimana insiden tersebut terjadi, mulai dari ia memesan minuman sapai tubuhnya didorong oleh seseorang. Sehingga minuman yang ia bawa tumpah kepada Irfani.
"Oh, gitu. Ya udah. Besok kamu jelaskan aja ke Irfani!" usul Irfan.
"Tapi, Irfani mau mendengarkanku nggak ya?"
"Hm... Kalau gitu, nanti aku coba ngomong ke Irfani deh. Tapi kamu juga harus jelaskan lagi ke dia!"
"Oke, deh. Makasih ya, Fan."

- to be continued -

26.4.16

The Beautiful of Friendship - Chapter 3

"Assalamualaikum," salam Ira ketika memasuki rumah.
"Waalaikum salam," jawab Ibunya dari dapur.
Ira membuka sepatu dan menyimpannya pada rak sepatu di samping pintu masuk. Ia berjalan ke kamarnya untuk berganti pakaian dan dilanjutkan dengan salat dzuhur. Setelah usai, Ira menuju meja makan dimana Ibunya sedang menyiapkan makan siang.
"Bagaimana hari pertamamu sekolah, Ra?" tanya Bu Nazar, ibunya Ira.
"Ya, gitu deh Bu. Teman-teman kelasku baik-baik semuanya. Mereka kelihatan senang banget waktu aku masuk ke kelas mereka," jawab Ira.
"Benar kan yang Ibu bilang. Kamu pasti dapat teman-teman baru sebagai ganti teman-teman lama," nasehat Bu Nazar.
Ira mengangguk senang. Kemudian mereka berdua makan siang bersama.
------
Tak terasa sudah seminggu lamanya Ira bersekolah di SMP N 7 Kendang Jari. Sebagai anak yang mudah bergaul, Ira telah mendapatkan banyak teman yang sangat ia sayangi. Bahkan guru-guru pun menyukainya.
"Selamat pagi, anak-anak!" salam Bu Osa saat hendak memulai pelajaran pertama. Beliau menaruh tas dan buku yang dibawanya di atas meja.
"Selamat pagi, Bu!"
"Oke. Sebelum kita mulai pelajaran, Ibu punya pengumuman. Hari ini kalian akan mendapatkan satu teman baru lagi. Ia berasal dari Venitan," ujar Bu Osa.
"Teman baru lagi, Bu?" celetuk Deno.
"Iya. Sebentar ya! Ibu panggil dulu." Bu Osa berjalan keluar kelas dan tak lama beliau kembali masuk seraya membawa seorang anak perempuan berambut panjang.
"Waahhh!!!" decak kagum Irfan saat melihat anak baru itu.
"Bisa nggak, gak usah kagum melulu ke setiap murid baru yang masuk kelas kita?" tanya Irfani setengah berbisik pada Irfan. Ira yang posisinya di antara mereka hanya dapat tersenyum-senyum saja.
"Tenang dulu ya, semuanya! Teman baru kalian mau memperkenalkan diri. Ayo perkenalkan diri, Sayang!" ucap Bu Osa.
"Baik, Bu. Semuanya, nama saya Lirik Damalarani. Saya dari SMP N 99 Venitan," murid baru tersebut memulai perkenalannya.
"Namamu panjang juga, ya?" gumam Bu Osa. "Panggilannya apa, Sayang?"
"Panggil Lara juga nggak apa-apa, Bu." Lara menjawab.
"Oke, Lara. Kamu bisa duduk di bangku sana, ya!" Bu Osa menunjuk bangku tepat di belakang bangku Ira.
Ira memperhatikan Lara yang mulai berjalan menuju bangkunya. Namun, Lara membalas tatapan tersebut dengan tatapan tajam, di wajahnya tak ada senyum sama sekali. Ira merasa risih dan membuang tatapannya ke arah lain. Saat Lara melewati bangku Ira, ia berhenti sebentar dan melemparkan senyum liciknya pada Ira. Ira menyadari hal tersebut.
"Apa, sih maunya anak baru ini?"

- to be continued -