Cute Brown Spinning Flower

6.1.14

MATAHARIKU

Terikmu sinari bumi ini
Menghangatkanku
Memberikan kesehatan

Bagiku kaulah sumber alam ini
Memberi manfaat kepada semua orang

Matahariku
Terima kasih atas pemberianmu
Tanpamu, kami tak tahu yg akan terjadi

Tapi, mengapa kau marah pada kami
Apa karena kelakuan kami ini ?..
Kelakuan yang selama ini bisa melukai kami ?..
Tapi apa daya
Yang selama ini kami lakui
Hanyalah perbuatan orang-orang yg tak bertanggung jawab

Kau marah karena kelakuan kami
Kau menyinari kami dengan sengatan sinarmu
Kemarahanmu bagaikan bom atom yang dapat menghancurkan bumi ini

Maaf.. Maafkan kami
Atas segala kelakuan kami ini
Kami hanya serpihan pasir
yang dapat kau hancurkan dalam hitungan detik

Hal yang kami takuti
Kehilangan mu
matahariku
Yang memberikan kehidupan di dunia ini

by: Nie Meid (Dini Meiyana)

PUISI: SENDIRI DI SINI

Banyaknya orang di dunia ini
Sampai ku tak tahu siapa-siapa mereka
Tak tahu apa saja yang mereka lakukan

Mereka sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri
Tidak memperdulikan orang lain di sekelilingnya
Tapi apa daya
Itulah manusia
Selalu sibuk sendiri

Kadang ku merasa sendiri
Di tengah-tengah keramaian
Tapi mengapa harus itu yang ku alami

Hidup sendiri di dunia ini
Hal yang tak mudah bagiku
Tapi ku harus tegar agar ku hidup lama di dunia ini

by: Nie Meid (Dini Meiyana)

CERPEN: CINTA DALAM SESAL

“Mimi, aku sungguh merindukanmu. Maafkan kesalahanku, Mi!” suaraku lirih. Aku ingat tujuh tahun lalu, saat kelas dua SMP. Aku mengenal Mimi dan perasaannya melalui Puput.
“Bon! Mimi suka sama kamu,” ucap Puput tiba-tiba.
“Ha?!” aku terkejut. “Nggak usah becanda, deh!” gurauku.
“Serius. Aku nggak becanda. Mimi sendiri yang bilang.”
“Kok, bisa sih?”aku tetap menanggapinya dengan bergurau.
Puput mengangkat kedua bahunya. Tak mengerti.
Aku yang kini mengetahui perasaan Mimi, sungguh bersimpati. Ia benar-benar memberikan perhatian yang lebih terhadapku. Hingga pada akhirnya, aku tak mungkin membohongi diri sendiri. Aku pun menyukai Mimi.
Rasa itu sungguh sulit hilang. Dadaku berdebar setiap Mimi mendekati. Mataku pun tak kuasa ceria sebelum melihat Mimi tertawa. Maka, ketika pulang sekolah itu kudekati kelasnya. Aku melirik ke dalam. Mimi memperhatikan seksama keterangan guru di hadapannya melalui bangku baris pertama. Simpul senyum terlukis di wajahku.
Tiba-tiba, Mimi melihatku. Kuperhatikan ia yang memberi isyarat. “Tunggu aku, ya!” mungkin begitulah maknanya. Aku langsung mengangguk setuju untuk menunggunya hingga keluar kelas.
Dua menit, empat menit, sepuluh menit kemudian kelas Mimi bubar. Aku perhatikan seksama, mencari-cari wajah cantik Mimi di antara kerumunan teman sekelasnya. Oh! Itu dia.
Tanpa banyak bicara, Mimi mendekatiku. Kurasakan jantung ini berdegup kencang. Ia menatapku dalam, dapat kulihat dari sorot matanya. Keringatku mulai mengucur. Ia angkat tangannya mendekati lenganku. Lembut yang kurasa saat tangan itu mengusap lengan ini. Ia genggam tanganku. Tapi, aku merasakan sesuatu di balik genggaman itu. Sesuatu yang Mimi berikan. Sepucuk surat.
Malamnya, kubaca surat pemberian Mimi. Bagai orang gila, aku tertawa dan berbicara sendiri. Sungguh berbunga-bunga hati ini. Hanya saja tak kutemukan dalam paragraf manapun kalimat yang kucari. Sebuah pernyataan yang amat kunanti. Meski kecewa, tapi tak apa. Akan kutulis balasan untuknya.
Sebuah surat membuatku dan Mimi mendekat. Kami yang selalu bertemu di sekolah menjadi bertambah akrab. Tapi, tak ada apapun antara kami. Meskipun aku mengetahui perasaan Mimi dan ia pun mengetahui perasaanku. Tak satupun bernyali untuk mendahului.
“Boni! Aku dengar kamu pacaran sama Mimi, ya?” pertanyaan Puput membuatku tersedak. Jus jeruk yang aku seruput muncrat berantakan di atas meja kantin.
“Kamu dengar dari siapa?” aku balik bertanya.
“Dari kakak-kakak kelas tiga, sih. Tapi kayaknya satu sekolah udah tahu, deh. Benar nggak?”
“Nggak, kok. Aku dekat sama Mimi, tuh cuma sebatas kepengurusan OSIS aja. Yah, secara aku ketua OSIS dan Mimi bagian dari seksi kerohanian. Bukannya sebentar lagi ada peringatan Hari Besar Islam?” jelasku mencoba meyakinkan Puput yang manggut-manggut. Meskipun begitu, aku penasaran. Siapa orang yang menyebarkan gosip tentang  hubunganku dan Mimi?
Rupanya tak cukup hanya seluruh siswa, seluruh guru pun kini tahu gosip itu. Hal tersebut membuatku dan Mimi tak nyaman.
“Mungkin seharusnya kita nggak usah terlalu dekat, deh Bon.”  Ucap Mimi suatu hari. “Aku merasa nggak enak sama semuanya.”
“Kok, nggak enak? Kenapa?” sedikit terkejut aku mendengarnya.
Mimi menggelengkan kepala. “Aku merasa setiap sudut di sekolah selalu membicarakan kita. Aku pikir, bila kita menjaga jarak mungkin semua itu akan berakhir,” jawabnya.
“Menjaga jarak, ya?” tanyaku sedih.
Mimi mengangguk pelan, matanya layu. Apakah kebersamaan kami akan berakhir?
Sepertinya benar. Perasaanku pada Mimi benar-benar berakhir, mengiringi jarangnya kesempatanku untuk berkomunikasi dengannya. Bulan-bulan terakhir di kelas tiga SMP, hatiku berpindah haluan. Ada orang lain yang aku cintai. Meskipun terbatas pula akhirannya.
Namun, hidup terus mencari jalannya. Aku dan Mimi harus berpisah karena perbedaan sekolah. Ia memilih SMA di luar kota. Jauh dari SMA yang kumasuki.
Lama tak kudengar kabar dari Mimi. Hingga suatu saat aku diceritakan bahwa Mimi telah berulang kali gagal melukis kisah asmara dengan beberapa laki-laki. Rupanya semua itu hanyalah pelampiasan rasa sakit hatinya padaku yang dengan mudah membiarkan cinta Mimi termakan waktu. Oh! Bodohnya aku selama ini. Aku membiarkan Mimi tergantung dalam harapan kosong akan kelengkapan hatinya.
Rasa bersalahku membangkitkan lagi cinta itu. Meski dingin, tapi manis. Cinta itu tak pernah terkubur akhirnya. Walau datang beribu-ribu cinta lain yang berusaha menutupi, akan kutangkis demi cintaku pada Mimi. Aku tak ingin sesal yang kedua kali. Maka, tak satupun terajut kisah mesraku hingga masa SMA terakhiri.
Pendidikan baru yang aku mulai, mengawali langkah pertamaku untuk mendekati Mimi kembali. Aku coba membangun komunikasi dengannya. Walau sulit menatanya.
Maka suatu malam, saat aku sedang menelepon Mimi.
“Mi! Sebentar, ya! Ada panggilan masuk,” izinku pada Mimi yang sedang asik bicara.
“Oh! Ya udah, deh. Diangkat dulu!” jawabnya.
Aku hold panggilan Mimi untuk menjawab panggilan masuk yang nomornya tak kukenal tersebut. Tapi saat kujawab, seseorang di seberang justru memutuskannya. Aku terheran-heran.
“Siapa, Bon?” Tanya Mimi begitu aku unhold panggilannya.
“Nggak tahu. Nomor baru,” jawabku. “Eh, Mimi! Kamu mau cari tahu nggak tadi nomor siapa? Tolong, ya! Aku lagi dilanda krisis ekonomi, nih.” Aku memohon.
“Pake kesulitan ekonomi segala,” Mimi menertawaiku. “Iya, deh. Sebutin nomornya!”
Sesuai permintaan Mimi. Aku sebutkan nomor itu.
Satu menit, dua menit, lima menit panggilanku diholding oleh Mimi. Maka setelah tersambung kembali ….
“Siapa, Mi?” tanyaku penuh penasaran.
“Orang nyasar,” jawab Mimi singkat.
“Oh!”
“Bon! Udah dulu, ya! Aku ada kuliah pagi besok. Lagian juga udah malam,” pamit Mimi tiba-tiba.
“Eh! Ya, udah kalau besok kamu ada kuliah pagi,” jawabku.
“Assalamu’alaikum,” salam Mimi.
“Waalaikumsalam.”
Trek! Mimi memutuskan panggilanku.
Aku merasa ada yang aneh pada Mimi. Kenapa tiba-tiba ia memutuskan untuk menghentikan obrolan?  Ada apa sebenarnya?
Sejak telepon hari itu, kabar Mimi menghilang. Jangankan menelepon atau mengirim pesan padaku, pesan-pesanku saja tak pernah dibalasnya. Begitu pun saat kutelepon dia, tak sekalipun diangkatnya.
“Ada apa denganmu, Mimi?” batinku.
Lama waktu berlalu. Hingga saat tiba waktuku mengetahui kebenaran dari masa lalu.  Nomor yang aku minta Mimi untuk menyelidikinya ternyata milik seorang wanita. Pada Mimi, ia mengaku bahwa dirinya adalah kekasihku. Jadi, itu alasan Mimi menjauhiku?
“Aku nggak boleh diam saja. Mimi harus tahu yang sesungguhnya. Orang itu bukan kekasihku,” tekadku.
Tak buang waktu, aku segera menghubungi Mimi. Syukurlah kali ini ia mengangkat panggilanku.
“Halo, Milik?” bukaku. “Aku ingin menjelaskan sesuatu. Orang itu, yang nomornya aku minta padamu untuk kamu cari tahu, benar-benar bukan pacarku. Berani sumpah, saat itu aku nggak punya pacar satupun.”
“Iya. Aku tahu, Bon.” Suara Mimi lirih dan dingin.
“Kamu percaya sama aku, kan?”
“Aku percaya sama kamu,” jawaban Mimi belum meyakinkanku.
“Mimi! Kamu nggak percaya, ya?”
“Aku percaya, kok. Kalau begitu sudah dulu, ya! Ada tugas yang lagi aku kerjain. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”

Trek! Mimi memutuskan panggilanku. Nada marah yang kurasa pada setiap ucapannya tadi. Mungkinkah hatinya terlalu sakit akibat sayatan sembiluku yang membekas dalam? Hingga rasa cintanya padaku harus mengalir ke luar, membuatnya beku dan terdiam. Kini, sesal yang kurasakan.

4.1.14

CERPEN: BABA DAN LALA

Di suatu taman bunga, hiduplah seekor laba-laba bernama Baba yang memiliki kemampuan merajut jaringnya dengan indah. Tidak hanya itu, Baba juga mampu membuat sarangnya menjadi berlapis-lapis. Tidak seperti laba-laba lainnya yang hanya membuat satu lapis sarang saja untuk rumahnya.
Karena kemampuannya tersebut, banyak laba-laba lain yang berdecak kagum dengan hasil karyanya. Hal tersebut membuat Baba semakin bangga. Ia merasa tidak ada laba-laba lain yang mampu membuat sarang seindah yang ia buat.
“Hm… sarangku begitu bagus,” puji Baba pada dirinya sendiri ketika ia telah selesai merajut sarangnya satu tingkat lagi. “Dengan begini, aku bisa dapat banyak serangga dan akan banyak laba-laba lain yang akan memujiku,” tambahnya semakin bangga.
“Baba!” tiba-tiba seseorang mengejutkannya. Itu Lala, sahabat Baba.
“Eh, kamu Lala? Aku sampai kaget.” Ujar Baba.
Lala terkekeh.
“Hehe…iya, deh. Maaf. Kamu baru membuat sarang lagi, ya?” tanya Lala.
“Iya. Tambah keren, kan sarangku?” Baba menepuk-nepuk dadanya. “Nanti, pasti akan banyak serangga yang kudapat, dan juga akan banyak laba-laba yang akan memujiku karena kemampuanku ini. Haha….”
“Eh, Baba! Gak boleh sombong,” nasihat Lala. “Seharusnya, Baba menggunakan kemampuannya untuk membantu sesama. Misalnya, membagi serangga yang telah didapat dengan teman-teman lain yang tidak mendapatkan makanan.”
“Ih! Apaan sih, La? Kan serangga-serangga itu tersangkutnya di sarangku. Untuk apa aku bagi ke laba-laba lain,” bantah Baba tidak mendengarkan nasihat Lala.
“Ya udah, deh. Terserah kamu aja. Aku cuma mau mengingatkanmu…,” ucap Lala.
“Udah, deh! Gak usah sok bijak! Lebih baik, kamu urusi saja sarangmu itu!” bentak Baba.
Lala kemudian meninggalkan Baba sendirian. Baba sama sekali tak peduli dengan Lala yang sakit hati karena kata-katanya. Ia mulai merajut kembali jaring-jaringnya.
Keesokan harinya, terjadi peristiwa yang menyedihkan. Lala menangis sejadi-jadinya karena sarang yang telah ia buat semalaman tiba-tiba saja hancur dalam sekejap. Banyak laba-laba mengerumuni Lala dan merasa kasihan terhadapnya.
Baba yang melihat kerumunan laba-laba dari sarangnya merasa penasaran dan turun untuk melihat apa yang terjadi. Ketika Baba sampai dalam kerumunan, Lala melihat sahabatnya itu.
“Baba…,sarangku rusak, Baba…,” isak Lala.
“Iya. Aku tahu,” balas Baba dengan nada mengejek. “Itu semua, kan salahmu. Siapa yang suruh membuat sarang jelek dan tidak kokoh?”
Lala terkejut mendengar jawaban Baba tersebut. Padahal, selama ini Baba adalah sahabat baiknya. Tapi sikapnya berubah setelah banyak laba-laba yang memuji dan mengagumi kemampuan merajutnya.
“Aku gak mau tolong kamu untuk membuat sarang baru. Karena kemarin kamu udah mengatakan aku pelit,” ujar Baba setengah berteriak. Kemudian ia berbalik dan berjalan dengan angkuhnya menuju sarang yang ia banggakan itu.
“Terserah kamu saja, Baba! Kamu pasti akan terima akibatnya,” balas Lala kesal. Tangisnya semakin keras. Beberapa laba-laba datang mendekatinya dan berusaha menenangkan. Ada pula yang menawarkan bantuan kepada Lala.
Malamnya, angin sepoi mengoyang-goyangkan tangkai bunga penyangga sarang Baba. Ia sedang berbaring santai setelah makan malam. Wajahnya mengkerut memikirkan sesuatu. Ia menolehkan kepalanya ke arah sarang Lala yang telah koyak. Terbesit rasa bersalah pada dirinya saat mengingat kata-katanya siang tadi.
“Lala pasti sakit hati…,” pikirnya. Tapi ia geleng-gelengkan kepala berusaha melupakan semua itu. “Salah Lala sendiri mengatakan aku pelit. Ia pantas mendapatkannya.” Karena lelah, Baba akhirnya tertidur.
ZRUGG!
Terdengar suara aneh di sekitar sarang Baba. Baba terbangun. Ia meningkatkan kewaspadaannya dan mencari darimana sumber suara tersebut.  Tapi, taman bunga itu begitu gelap. Sehingga Baba kesulitan untuk melihat.
ZRUGG!
Suara terdengar lagi. Tubuh Baba penuh dengan keringat karena ketakutan. Matanya awas memperhatikan sekelilingnya. Hingga tak disadari, sebuah kaki raksasa menginjak salah satu tangkai bunga yang ia gunakan sebagai tiang penyangga sarangnya.
TUSS!
Setengah sarang Baba hancur. Ia menyerang kaki raksasa itu dengan jaringnya namun sama sekali tidak berpengaruh. Justru kaki tersebut mengangkatnya tinggi-tinggi.
“TOLOOONG!” teriak Baba yang berayun-ayun pada jaringnya. Seketika jaring tersebut putus. Ia jatuh ke arah sarangnya, membuat sarang tersebut hancur dan tubuhnya jatuh ke tanah. Tia-tiba, sebuah tangkai bunga menimpa tubuhnya.
“TOLONG! TOLOOONG!” Baba berteriak minta tolong berkali-kali, namun tak ada satu tetangga pun yang berani mendekati karena ketakutan.
“Baba! Baba!” Lala berlari mendekati Baba dan mengangkat tangkai bunga yang menimpa tubuh kawannya itu. Ia pun membalut luka Baba dengan jaringnya.
“Lala, aku minta maaf karena tidak menolongmu kemarin hanya karena keegoisanku. Padahal, Lala mengajariku hal baik.” Baba menangis dan meminta maaf pada Lala.
“Nggak apa-apa kok…, yang penting Baba udah mengerti sekarang.” Jawab Lala dengan lapang dada. Kemudian sepasang sahabat tersebut saling berpelukan.
*****

2.1.14

HAPPY 2014 YEAR

hai, hai semua...
Selamat tahun baruuuu...

Eh,mestinya gue menulis ini saat tgl 1 kemarin ya?
Tapi gak napa-napa dah.. Kan gue penginnya baru menulis sekarang...
Hahahahahaha...

Oke!
Kita gunakan bahasa yang baik dan benar sekarang...

Malam tahun baru 2014 ini, gue habiskan lagi dengan anak-anak KSR, lho. Udah tiga tahun nih rasanya...
Sedikit galau sih, karena ingin juga merayakan ke tempat lain Tapi, masih punya banyak kesempatan lah yaa.. Hahahaha...

Oh iya..
Gue mulai berpikir sesuatu...
Tentang cerita-cerita yang udah gue selesaikan, tapi gak sempat terpublikasikan...
Plus, gue rada malas gitu kalau mesti ngirim ke majalah...
Terlalu banyak prasyarat yang beribet banget...
Kangue ingin banget bereksplorasi sebebas-bebasnya...
Hahahaha...
Jadi,..
Gue berpikir, sesuatu, gimana kalau cerita-cerita gue, gue upload ke blog gue aja yaa...
Hahahaha...

Dengan begitu, karya gue bisa di baca dngan orang-orang di seluruh dunia...
hahahaha..

Oke..
Cukup sekian dan terimakasih...