Cute Brown Spinning Flower

21.7.16

RADAR BAND - Chapter 06


Sumber: blog.duitpintar.com

Kamis pagi, minggu pertama bulan Februari, satu bulan setelah ujian kenaikan kelas, Arlo berjalan santai memasuki gerbang sekolah. Tangannya menarik-narik tali dari tas punggu yang ia kenakan, berusaha memosisikan seenak mungkin pada tubuhnya. Tiba-tiba, Ancient datang mendekat dari arah belakangnya sambil berlari.
“Arlo! Cepat, Lo!” ajak Ancient seraya menarik lengan Arlo. Arlo yang tadinya jalan santai, kini ikut berlari.
“Ada apa, An? Malu, nih dilihat orang-orang.” Arlo melihat orang-orang yang memperhatikan mereka.
“Cuekin aja!”
Ancient menarik Arlo hingga koridor pembatas antara kelas satu dan kelas tiga. Di sana terdapat papan yang berfungsi sebagai mading, bernama Para Media.
“Lihat, nih! Pengumumannya udah keluar,” ucap Ancient. Ia menunjuk salah satu selebaran yang ditempel di Para Media. Arlo memperhatikan selebaran itu.
“Festival band? Masih tiga mingguan lagi, kok.” Ujar Arlo, menganggap mudah.
“Itu sebentar lagi, Arlo. Kita masih harus latihan,” Ancient menarik ransel Arlo hingga hampir terjatuh.
“Eeehh! Sorry, sorry. Becanda, An. Becanda,” Arlo menenagkan Ancient seraya tersenyum geli melihat rekannya yang mudah terbawa emosi tersebut.
“Makin mirip Raja aja lu. Udah, ah. Gue masuk kelas,” komentar Ancient. Kemudian ia berbalik berjalan meuju kelasnya, meninggalkan Arlo.
Seraya tertawa geli dan geleng-geleng kepala, Arlo melangkah menjauhi Para Media menuju kelasnya. Ia masuk ke dalam kelas dan duduk di bangku. Bibirnya masih senyum-senyum mengingat Ancient tadi.
“Ciee, pagi-pagi udah senyum-senyum sendiri. Kesambet, lu?” komentar Reky. Ia baru sampai di kelas rupanya.
“Nggak, kok. Inget sama Ancient yang kesal aja tadi,” jawab Arlo.
“Lu naksir Ancient? Ketahuan Raja, habis lu.”
“Apaan sih, lu Ky?” Arlo mengacak-acak rambut Reky.
“Stop! Stop! Rusak rambut gue,” ujar Reky. Ia menjauhkan kepalanya dari jangkauan Arlo dan kembali merapikan rambutnya yang naik turun itu.
“Eh, Ky! Lu udah liat Para Media belum?” tanya Arlo kemudian.
“Festival Band, kan? Slow! Tiga minggu lagi,” jawab Reky.
“Tapi, tetap latihan, lho.”
“Iya pasti, dong. Soalnya pilihan lagu wajibnya tuh, nggak semua gue bisa vokalnya.”
“Emang yang lu bisa apa aja?”
Reky menyebutkan lagu-lagu wajib yang ia pikir dapat dinyanyikan olehnya. Mulai dari lagu yang berirama cepat hingga lagu ballad.
“Nah, itu banyak juga. Kan, hampir semua dari lagu-lagu itu sering kita pakai untuk latihan?” ujar Arlo.
Reky mengangguk-anggukan kepalanya. Tiba-tiba bel masuk berbunyi.
“Nanti kita coba di latihan lagi aja. Ok?” ucap Arlo seraya mengajak tos Reky. Reky membalas kemudian kembali duduk di bangkunya.
******************
Di kelas 2A, saat istirahat pertama, Ancient bersama Welvy, Arola, dan Sahra ngobrol-ngobrol di dalam kelas. Selain mereka berempat, ada juga kelompok anak perempuan lainnya yang sedang bergosip, Raja yang sedang membaca buku, dan beberapa anak laki-laki lainnya.
“Eh, An! Kenapa, sih akhir-akhir ini lu jadi jarang pulang bareng kita?” tanya Welvy.
“Kan, aku udah bilang kalau ada urusan lain,” jawab Ancient.
“Bukannya kamu pengen pulang sama... Raja?” tanya Arola setengah berbisik.
Mereka berempat menengok ke arah Raja yang berada di belakang mereka. Raja yang merasa diperhatikan melirik kearah mereka. Ia tersenyum seraya mengangkat alisnya. Ancient, Welvy, Arola dan Sahra kembali ke posisi semula mereka.
“Nggak, kok. Beneran. Gue sama Raja nggak ada apa-apa,” jelas Ancient.
“Jangan ngelak, deh. Gue lihat pakai mata kepala gue sendiri, lu sama Raja jalan bareng pas pulang sekolah,” ujar Sahra mencoba memojokkan Ancient.
“Mungkin waktu itu gue nggak sengaja ketemu Raja, jadi jalan bareng.” Jelas Ancient.
“Udah lah, An. Ngaku aja! Udah ketangkap basah juga,” ucap Welvy. Ia menyenggol-nyenggol bahu Ancient dengan bahunya.
Tiba-tiba Arlo, Reky dan Dazaki muncul di pintu kelas.
“Ja! Kantin!” teriak Arlo. Raja merasa terpanggil melihat ke arah mereka.
“Sip!’ jawab Raja seraya mengangkat jempolnya. Ia menyimpan bukunya di dalam laci meja. Kemudian Raja berjalanmendekati pintu kelas. Saat itu ia melewati Ancient dan teman-temannya.
“Duluan, ya An.” Pamit Raja. Ia menghilang bersama Arlo, Reky, dan Dazaki setelah melewati pintu kelas.
“Tuh, kan ketahuan. Ngaku aja, deh kalau udah jadia sama Raja!” bujuk Arola.
“Nggak, kok. Kita ke kantin aja, yuk!” ajak Ancient mengalihkan pembicaraan. Ia beranjak dari duduknya.
“Mau nyamperin Raja, ya?”
“Masih dibahas lagi. Nggak, kok.”
“Jawab dulu, dong! Kamu udah jadian sama Raja belum?” Welvy menarik lengan Ancient agar kembali duduk.
“Jawab sekarang juga!” paksa Sahra.
“Kalian mau gue jawab sekarang juga?” tanya Ancient. Ketiga temannya mengangguk.
“Sebenarnya, gue sama Raja itu.... Ada, deh. Liat aja nanti!” Ancient segera berlari keluar kelas, takut diinterogasi lebih lanjut dengan ketiga temannya. Ia menuju kantin.
“Ancient!” teriak Welvy, Sahra, dan Arola. Mereka pun keluar kelas mengejar Ancient.
************
Sementara itu Arlo, Reky, Raja dan Dazaki telah menerima pesanan mereka dari Bu Kantin setelah lima menit menunggu. Mereka menikmati minuman seraya berbincang-bincang ria.
“Za! Udah bilang ke Kak Arie kalau kita mau pakai studio?” tanya Arlo.
“Oh, iya. Gue lupa bilang ke kalian. Kata Kak Arie nggak bisa, soalnya udah ada yang pesen mau rental,” jawab Dazaki.
“Kenapa nggak bilang dari kemarin?” keluh Arlo.
“Ya, sorry. Gue lupa banget,” balas Dazaki.
“Terus gimana, Lo?” tanya Reky.
“Di studio samping sekolah bisa, kan? Kita nggak mungkin cancel latihan,” usul Raja.
“Iya. Tapi, kita mesti esan dulu ke Mas Pasha kalau mau rental.” Jawab Arlo.
“Kok, pesan Lo? Sabtu kemarin kita nggak pesan bisa,” tanya Raja.
“Yah, itu sih kebeneran kosong aja.”
“Terus gimana, dong?”
“Semoga aja kosong, lah.”
Arlo kembali mengaduk-ngaduk minumannya, hingga ia melihat Ancient yang berlari memasuki kantin. Ia menengok kesana kemari dengan terburu-buru.
“Hey, An! Sini gabung!” panggil Arlo. Ia melambaikan tangannya ke arah Ancient.
Ancient menganggukkan kepasalanya namun ia tidak segera menghampiri mereka. Ia justru masih menengok kanan, kiri, bahkan arah belakangnya, seperti mencari sesuatu. Setelah itu ia baru berani mendekat dan duduk di samping Dazaki.
“Kenapa, sih An?” tanya Arlo penasaran.
“Aku lagi dikejar sama Welvy, Sahra, dan Arola,” jawab Ancient. Ia masih celingukan kesana-kemari.
“Kok, kalian jadi main kejar-kejaran? Kan tadi masih ngobrol di kelas,” tanya Raja.
“Soalnya, mereka nggak tahu kalau gue ikut main di band. Jadi, mereka penasaran gue jadi dekat sama Raja. Terus gue diinterogasi habis-habisan. Makanya gue kabur,” jelas Ancient.
“Kenapa nggak cerita aja?” tanya Arlo lagi sambil tertawa geli melihat rekannya itu.
“Nanti mereka minta dijomblangin sama kalian,” jawab Ancient.
“Haa?!” Semuanya terkejut mendengarkan pernyataan Ancient. Bahkan Reky sampai tersedak karena saat itu ia sedang meminum jusnya.
“Eh! Mereka datang,” seru Ancient tiba-tiba. Rupanya ia melihat Welvy, Sahra, dan Arola memasuki kantin. Kemudian Ancient sembunyi di belakang tubuh Dazaki, karena tubuhnya yang paling besar dari yang lain.
Welvy, Arola, dan Sahra tak berhasil menemukan Ancient. Mereka meutuskan untuk keluar kantin dan mencoba mencari ke bagian sekolah lain. Saat itu Dazaki memberi tahu Ancient bahwa ketiga temannya sudah pergi. Ancient keluar dari persembunyiannya dan kembali duduk di bangkunya.
“Thank you, ya! Thank you. Huft!” Ancient merapikan pakainnya dan mulai duduk dengan tenang.
“Oh, iya An. Nanti latihan di studio samping sekolah,” ujar Arlo memberitahukan.
“Nggak jadi di rumah Za?” tanya Ancient.
“Nggak bisa. Soalnya udah ada yang rental.”

-to be continued-


20.7.16

RADAR BAND - Chapter 05


Sumber : zzistudio.com

Pentas seni mingguan itu berakhir. Siswa-siswi yang menonton bubar dan kembali ke rumah masing-masing. Namun, tidak untuk Arlo dkk. Mereka berencana untuk latihan band supaya semakin kompak dan dapat memenangkan festival band nanti.
“Ancient mana, sih? Kok, belum datang?” keluh Arlo yang saat itu telah bersama Reky, Raja, dan Dazaki. Mereka kini berada di pintu gerbang sekolah.
“Bukannya barengan sama lu, Ja?” tanya Reky pada Raja.
“Ancient bilang sih, ada urusan sedikit tadi.”
“Itu Ancient!” seru Dazaki menunjuk ke saat melihat Ancient berlari menghampiri mereka.
“Maaf, ya maaf! Tadi pamitan dulu sama temen yang lain. Soalnya mereka maksa pulang bareng,” ujar Ancient. Nafasnya masih terengah-engah.
“Tiga orang itu, ya?” tanya Raja. Ancient mengangguk-angguk.
“Yuk, berangkat!” ajak Arlo. Mereka semua mengikuti Arlo menuju studio yang letaknya tak jauh dari sekolah.
********
Minggu pagi, minggu ketiga bulan November, Arlo mengelap sepeda kesayangannya. Ia memakai kaos lengan pendek dan celana 3/4 , seraya bergumam sendiri.
“Pengen, sih. Sekali-sekali pergi pakai motor. Tapi, Bunda lebih perlu. Ada sepeda juga syukur, deh.”
Tiba-tiba Raja datang menggunakan sepedanya. Arlo menyimpan lap yang digunakan untuk membersihkan sepeda saat Raja di hadapannya.
“Udah siap, Lo?” tanya Raja.
“Iya,” jawab Arlo seraya mengacungkan jempol. Ia menaiki sepeda dan memakai topinya.
“Yuk!” ajaknya pada Raja. Kemudian mereka berdua mulai mengayuh sepeda menuju rumah Dazaki. Rencana hari ini, mereka akan latihan di studio Dazaki. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Reky yang membonceng Ancient dengan sepedanya. Mereka pun berangkat bersama-sama.
“Lama...!” komentar Dazaki ketika teman-temannya datang. Ia telah menunggu di depan pintu studio.
“Ya elah. Telat lima  menitan. Rumah lu jauh, Za.” Jawab Raja sambil cengar-cengir.
“Udah! Udah! Maaf deh, Za! Kita mulai aja, yuk!” ujar Arlo mencoba menengahi. Kemudian ia memasuki studio, disusul Ancient, Raja dan Reky di belakangnya. Dazaki menutup pintu studio saat teman-temannya menempatkan diri pada alat musik masing-masing.
“Ok! Latihan lagu apa, nih?” tanya Arlo setelah menggunakan gitarnya.
“Laguku-nya Ungu,” jawab Raja.
“Nggak mau. Lagunya lembut banget. Yang bikin semangat gitu, lho.” Komentar Ancient.
“Hapus Aku-nya Nidji gimana?” tanya Reky.
“Lagu sexy-nya Kapten!” seru Raja lagi.
“Udah! Udah! Kalau Yakin-nya Radja aja, gimana?” usul Arlo.
“Setu, Lo. Ada solo drumm-nya, tuh. Hehe,” jawab Dazaki. Ia menabuh drumm-nya mengikuti melodi drumm pada lagu Yakin-Radja. Teman-temannya yang lain setuju.
“Ok, deh! Musik!” teriak Reky.
*****************
“Yeah! Arlo! Main gitar lu keren banget,” puji Ancient seraya mengacungkan kedua jempolnya. Setelah berulang kali memainkan lagu Yakin dari Band Radja, akhirnya mereka bisa mengompakkan permainan musiknya.
“Lanjut?” tanya Reky. Arlo dan Dazaki mengangguk.
“Angin, ya?!” usul Raja.
“Angin-nya Dewa, kan?” goda Ancient.
“Bukan Dewa, An. Tapi, Raja,” tambah Dazaki seraya menunjuk Raja.
“Latihan backing vokal, yuk! Pakai lagu Tercipta Untukku-Ungu,” ucap Reky.
“Boleh, Ky. Boleh,” Arlo setuju. Diikuti yang lain.
“Ok! Semuanya siap?” tanya Reky. ia mengangkat mic-nya. Yang lain menjawab dengan mengangkat tangan. Kemudian Reky memberi aba-aba pada Arlo untuk memulai melodi.
***************
“Reky! Buka pintunya, Ky! Tangan gue penuh,” ujar Dazaki yang saat itu sedang membawa nampan berisi minuman dan cemilan.
“Wah, jadi ngerepotin Za,” ucap Reky saat membukakan pintu.
“Nggak, kok.” Dazaki menyimpan nampan tersebut di atas meja kecil di ruang studio. Raja, Arlo dan Reky segera mengambil cemilannya.
“An! Minum dulu!” ajak Dazaki pada Ancient yang masih asyik memainkan keyboardnya.
“Iya. Eh, Ja! Jangan ngabisin jatah gue, dong!” jawab Ancient. Ia protes saat melihat Raja lagi-lagi mengambil cemilan di meja.
“Tenang, An! Dazaki punya banyak,” ujar Raja seenaknya.
Mereka terdiam beberapa menit, menikmati suguhan yang diberikan Dazaki seraya mendengarkan alunan musik dari keyboard yang Ancient mainkan. Sampai akhirnya Reky mulai angkat bicara.
“Oh, iya. Kita, kan ada ulangan semester dua minggu lagi.” Ucapnya.
“Benar, tuh. Kita harus sudah mulai belajar dari sekarang nih mestinya,” tambah Ancient. Ia mendekat dan mengambil minuman.
“Udahlah, belajar semalam aja juga jadi, kan?” timpal Raja, meremehkan.
“Ih! Nggak boleh tahu! Nanti kena remedial, lho.” Balas Ancient.
“Kalau menurut gue, kita nggak usah latihan dulu. Kalau udah selesai ulangan, baru kita lanjut lagi,” pendapat Dazaki.
“Setuju. Setuju. Nanti, kan kita bisa pakai liburan sekolah buat latihan band.” Tambah Ancient.
“Gimana, Lo?” tanya Reky pada Arlo.
“Menurutku juga baiknya kita istirahat dulu dari latihan dan mulai fokus belajar pada ujian. Nanti setelah ujiannya selesai, kita ketemuan lagi untuk membicarakan rencana latihan selanjutnya. Setuju semua?” jelas Arlo.
“Setuju...!” keempat temannya bersorak.
“Berarti ini latihan kita yang terakhir sebelum ujian, dong? Gue pasti kange sama lu, An.” Ucap Raja, ia masih saja menggoda Ancient.
“Kita, kan sekelas Raja. Masih ketemu...,” jawab Ancient seraya menyubit lengannya Raja. Reky, Arlo, dan Dazaki tertawa terbahak-bahak memperhatikan kedua temannya tersebut.

-to be continued-


15.7.16

RADAR BAND - Chapter 04


Sumber : youtube.com

Sabtu, di minggu kedua bulan September, diadakan pentas seni di sekolah Arlo dkk. Pentas seni adalah kegiatan  rutin yang dilakukan sekolah setiap akhir pekan. Tujuannya agar siswa-siswi tidak stress belajar terus menerus, dan yang lebih penting untuk mengasah bakat mereka dalam bidang kesenian.
Maafkan aku...
Menduakan cintamu..
Berat rasa hatiku...
Tinggalkan dirinya...
Senandung lagu ‘Demi Waktu’-nya Ungu yang dibawakan oleh Logo Band memicu tepuk tangan siswa-siswi yang menonton pentas seni. Penampilan personilnya memang sudah melekat di hati para penontonnya. Band yang didalangi Toya – vokal, Ikrar – gitar, Levy – bass, Orgarus – keyboard, dan Afrizy – drumm, dimana mereka semua kini telah duduk di bangku kelas 3, setiap penampilannya sangat hebat. Tak jarang setiap pentas seni mereka dapat nge-band sampai lima kali karena permintaan penonton. Ditambah dengan wajah mereka yang bisa dibilang di atas rata-rata anak cowo kebanyakan, semakin banyak yang menyukai, terutama siswi-siswi.
“Makin lama, Logo Band makin hebat, ya?” komentar Reky  yang saat itu menonton Pensi bersama Arlo dan Dazaki. 
“Iya, semakin keren,” tambah Dazaki.
“Eh, hari ini kita latihan nggak? Kalau latihan jangan di studio-ku ya. Soalnya ada anak kuliahan yang mau rental tiga jam,” lanjutnya.
Memang selama Arlo dkk membentuk band, mereka lebih sering berlatih di studio milik Dazaki dan kakaknya, Arie. Walau memang awalnya sangat sulit untuk kompak, tapi mereka tetap berusaha.
“Hebat bener” gumam Arlo yang masih memperhatikan penampilan Logo Band.
“Arloo! Lu dengar kata Dazaki nggak, sih?” seru Reky. Ia melambai-lambaikan tangan di depan wajah Arlo.
“Iya, gue dengar. Kita latihan di studio samping sekolah,” jawab Arlo seraya menahan tangan Reky yang melambai-lambai. 
“Oke, deh. Gue cari Raja dan ancient dulu,” ujar Dazaki. Kemudian ia berlari meninggalkan Arlo dan Reky.
****************
Sorak sorai dan tepuk tangan penonton semakin meriah saat Logo Band turun dari panggung. Siswi-siswi mulai histeris saat Logo Band melewati mereka saat berjalan keluar panggung. Kumpulan penonton yang berkerumun untuk mengambil gambar personil Logo Band dengan handphone-nya mulai bubar. 
“Gimana, La? Dapat nggak?” tanya Welvy menyongsong Arola saat selesai mengambil gambar personil Logo Band dengan kamera handphone-nya.
“Dapat, sih. Tapi nggak terlalu bagus,” jawab Arola. Ia memberikan handphone pada Welvy kemudian duduk di samping Ancient.
“Lihat, dong lihat!” Ancient bergabung dengan Welvy dan Sahra yang sedang melihat-lihat hasil gambar Arola.
“Ih, Kak Levy manis banget,” ujar Welvy saat melihat gambar Levy sedang tersenyum memainkan bass-nya.
“Kebanyakan foto Kak Levy ya, La?” tanya Ancient.
“Iya. Soalnya aku suka banget sama Kak Levy,” jawab Arola. Ia memgang pipi dengan kedua tangannya sambil senyum-senyum kegirangan.
“Lagi ngeliat apaan, sih?” tiba-tiba Raja datang dan iktu berkerumun dengan Wely, Ancient, dan Sahra.
“Ih, Raja! Ngapain, sih ikut-ikutan?” tanya Sahra agak gusar karena kesenangannya tiba-tiba terganggu.
“Haha. Galak banget. Gue pinjam Ancient sebentar, boleh?” tanya Raja.
“Jangan lama-lama, lho!” jawab Welvy. Kemudian asyik kembali memperhatikan foto-foto.
“Kenapa, Ja?” Ancient bangkit dari duduknya. Ia memperhatikan Raja menunjuk ke arah persimpangan koridor kelas. Ancient melihat Arlo, Reky, dan Dazaki di sana dan ia bersama Raja mendekati mereka.
******************************
“Lama banget,sih. Habis darimana?” tanya Sahra saat Ancient dan Raja datang.
“Nggak dari mana-mana, kok,” jawab Ancient. Ia kembali duduk di samping Welvy.
“Eh! Eh! Kak Levy, Kak Levy lewat sini,” seru Arola sibuk sendiri. Ia menepuk-nepuk lengan Ancient untuk menarik perhatian ketiga temannya.
“Mana? Mana?” tanya Welvy ikutan sibuk.
Arola, Welvy dan Sahra senyum-senyum saat melihat para personil Logo Band melintas di hadapan mereka. Seraya berdecak kagum dalam hari, namun tak pernah tersampaikan. Sepertinya Levy merasa diperhatikan. Ia menoleh ke arah Arola, Welvy, Sahra, Ancient dan Raja. Arola, Welvy dan Sahra segera buang pandang saat mengetahuinya. Begitu juga Levy, ia membuang pandangannya dari mereka berlima.
“Ih, tadi Kak Levy nengok,”ujar Welvy dengan gaya gemesnya.
“Iya. Nggak nyangka tahu,” sambung Sahra.
“Udah main bass-nya keren, kece abis lagi,” timpal Arola seraya menghentak-hentakkan kakinya. Mereka membayangkan Kak Levy yang sedang bermain bass.
“Halooo!” seru Raja menghapus bayangan Levy yang bermain bass di  kepala Welvy, Arola,dan Sahra.
“Daripada Levy, permainan bass gue lebih keren kali,” lanjutnya.
“Eh, Ja! Bukti dulu baru ngomong,” balas Welvy.
“Iya tuh. Punya band aja nggak,” tambah Sahra semakin memojokkan Raja. Kemudian ia bersama Welvy dan Arola kembali membicarakan Levy.
Raja benar-benar terpojok dan tak dapat membalas apa pun. Ia melirik ke arah Ancient yang mebalasnya dengan geleng-geleng kepala seraya senyum-senyum saat memperhatikan ketiga temannya.
-to be continued-

13.7.16

RADAR BAND - Chapter 03

“Kalian mau buat band?” tanya Ancient. Ia terlihat sangat tertarik.

“Iya. Rencananya, sih begitu kalau acara festival band benar-benar diadakan,” jawab Reky.
“Wah, festival band? Seru banget, tuh. Terus kalian mau ikutan?” tanya Ancient lagi.
“Ya, begitu deh. Cuma kita masih kita masih kurang personil. Lu mau ikutan?” tiba-tiba Reky langsung mengajak Ana.
“Boleh, nih? Emang siapa aja personilnya?”
“Baru kita berdua,” jawab Reky dan Arlo bersamaan. Jari mereka menunjuk satu sama lain dengan gaya konyolnya.
“Haha. Oke, deh. Gue ngikut. Main apa, ya gue?”
“Keyboard lah Ana,” jawab Reky dan Arlo lagi, masih bersamaan.
“Hehe. Iya ya. Berarti Arlo main gitar dan lu vokalist ya, Ky? Kita masih kurang basist sama drummer, dong?”
“Iya. Jadi kita mesti cari bassist dan drummer dulu,” jawab Arlo.
Ancient terdiam sejenak. Ia mengelus-elus dagunya, memikirkan sesuatu.
“Kalau buat bassist, kayaknya gue tahu deh siapa yang bisa,” gumamnya.
“Siapa?” tanya Arlo.
“Besok gue kasih tau, deh. Kalian kelas 2E kan?”
*****
Esok harinya saat istirahat pertama di sekolah.
“Permisi! Ada Arlo dan Reky, nggak?” Ancient mengunjungi kelas 2E dan bertanya pada seseorang anak perempuan yang duduk di bangku dekat pintu.
“Arlo dan Reky, ya?” gumam anak itu. Ia berdiri dan memperhatikan teman-teman sekelasnya.
“Kayaknya lagi keluar, deh.” Ujarnya memberi tahu Ancient.
“Oh, keluar ya? Oke. Makasih, ya. Ayo, Ja!” Ancient pergi dari kelas 2E seraya menarik lengan teman laki-laki yang sejak tadi berdiri di belakangnya. Anak laki-laki itu adalah teman sekelasnya bernama Raja.
“Kita mau kemana, An?” tanya Raja. Langkahnya tak seimbang karena Ancient menariknya cepat-cepat.
“Ketemu sama Reky dan Arlo,” jawab Ancient.
“Iya. Tapi pelan-pelan! Nanti kamu ketabrak...,”
BRUKH!
Tiba-tiba Ancient menabrak seorang anak laki-laki hingga ia dan orang yang tertabraknya terjatuh.
“Aduh. Sakiiiittt,” gumam Ancient.
“Eh, maaf-maaf. Gue nggak sengaja,” ujar anak laki-laki itu. Ia membantu Ancient berdiri.
“Nggak apa-apa. Gue juga nggak ngeliat jalan,”jawab Ancient. Ia membersihkan debu di pakaiannya.
“Apa gue bilang. Jalan pelan-pelan! Susah sih, dibilanginnya,” komentar Raja. Ancient tidak menanggapi komentar Raja tersebut. Ia masih sibuk membersihkan debu di pakaiannya.
“Ancient!” seseorang memanggil Ancient dari kejauhan. Saat Ancient menengok ke arah datangnya suara, di sana ada Arlo dan Reky sedang berlari kecil menghampiri.
“Hei, An! Katanya mau ngasih tau sesuatu?” tanya Arlo saat telah berada di hadapan Ancient.
“Iya. Nih, Raja. Yang bakalan jadi bassist kita,” jawab Ancient seraya menunjuk Raja.
“Bassist? Maksudnya?” tanya Raja tak mengerti.
“Kan, tadi udah gue jelasin. Di sekolah kita akan ada festival band, terus Arlo, Reky dan gue ingin ikutan, tapi kita masih kekurangan personil. Mau, ya jadi bassist di band kita, ya? Siapa lagi kalau bukan lo, Ja?!” jawab Ancient menjelaskan seraya mengubah-ngubah mimik wajahnya. Reky dan Arlo tertawa geli melihat ekspresi temannya itu.
“Band, ya?” Raja mengernyitkan dahi. Ia tak langsung menjawab ajakan temannya itu. Arlo dan Reky makin galau.
“Oke, deh. Asalkan nggak mengganggu pelajaran, ya.” Raja menyetujui. Arlo, Reky, dan Ana bersorak kegirangan.
“Selamat bergabung di band kita, Ja. Gue Arlo,” Arlo mengangkat tangannya. Raja membalas jabatan tangan Arlo.
“Gue Reky,” Reky juga memperkanlkan diri.
“Jadi, kapan mulai latihan?” tanya Raja begitu semangat.
“Ja! Drummer-nya belum ada,” jawab Ancient seraya menepuk bahu Raja. Raja menatap Arlo dan Reky. Mereka berdua menganggukan kepala, membenarkan pernyataan Ancient.
“Terus gimana?”
“Maaf!” terdengar suara seseorang dari samping mereka. Ternyata itu adalah anak laki-laki yang bertabrakan dengan Ancient.
“Aku Dazaki. Maaf, ya. Tadi, nggak sengaja mendengar percakapan kalian. Kebetulan, gue bisa main drumm. Kalau diizinkan, boleh nggak gue gabung band kalian?” anak bernama Dazaki itu menjelaskan.
Arlo, Reky, Ancient dan Raja yang tadinya terbengong kini saling pandang, kemudian mereka menatap pada Dazaki dan mengeluarkana senyum anehnya.
“KETEMU!” seru mereka bersamaan. Kemudian mereka bersorak-sorak kegirangan. Dazaki cuma bisa garuk-garuk kepala melihatnya.

-to be continued-

Sumber gambar:
littlerockersmusic.com


12.7.16

RADAR BAND - Chapter 02

Pulang sekolah, Arlo mengikuti Reky menggunakan sepedanya. Mereka berkendara memasuki sebuah perumahan dan berhenti di sebuah rumah bercat biru muda dengan halaman kecil. Rumah itu dikelilingi pagar yang sedikit lebih tinggi dari tinggi mereka. Reky menekan bel yang berada di samping gerbang pagar. Tak lama kemudian keluar seorang laki-laki yang usianya 2 tahun lebih tua dari mereka. Ia membuka gerbang pagar.
“Eh, Reky. Ayo, masuk!” perintahnya.
“Makasih, Kak Aldy,” balas Reky.
Arlo dan Reky menuntun sepeda mereka memasuki gernbang pagar dan menyimpanya di samping halaman. Mereka mengikuti Aldy memasuki rumah dan mempersilahkan mereka duduk di sofa ruang tamu. Tak jauh dari sana terdapat sebuah keyboard yang sedang dimainkan oleh seorang anak perempuan sebaya Reky dan Arlo. Anak perempuan itu menggunakan earphone sehingga ia tak menyadari kedatangan mereka.
“Mainkeyboardnya jago banget,” batin Arlo.
“Duduk aja dulu, ya. Gue panggilkan Ancient,” ujar Aldy. Ia berjalan mendekati anak perempuan yang sedng bermain keyboard.
“Ancient! Teman lu udah datang tuh,” teriak Aldy. Tapi Ancient tak merespon. Sepertinya volume earphone yang ia gunakan cukup tinggi. Aldy menggeleng-gelengkan kepala. Ia menggeser earphone yang digunakan ancient.
“Ancient! Temen lu udah dataaannnggg...,” teriak Aldy di telinganya Ancient.
“Apa-apaan, sih Kak? Berisik tahu,” Ancient terperanjat dan spontan menutup telinganya yang diteriaki Aldy.
“Makanya, pakai earphone tuh jangan keras-keras suaranya. Teman lu tuh udah datang.” Aldy menunjuk Arlo dan Reky.
“Oh. Oke, deh. Thanks, ya Kak.”
Aldy berjalan meninggalkan Ancient dan memasuki kamarnya. Ancient merapikan earphone yang tadi ia gunakan,kemudian berjalan mendekati Reky dan Arlo. Ia duduk di sofa samping Reky dan Arlo.
“Kenapa, Ky?” tanya Ancient.
“Mau nanya PR matematika, dong. Boleh nggak?” ujar Reky sambil cengar-cengir.
“Boleh, kok. Boleh. Slow aja kali!” jawab Ana.
“Oh, iya. Aku juga bawa teman sekelasku, nih. Namanya Arlo,” ucap Reky, memperkenalkan Arlo.
Arlo dan Ancient berjabat tangan memperkenalkan namanya masing-masing. Kemudian mereka memulai berdiskusi untuk mengerjakan PR matematika. Saat mengerjakan PR-nya, pikiran Arlo dan henti-henti memutar ulang gambaran Ancient saat sedang memainkan keyboard tadi. Menurutnya, permainan Ancient sangatlah cocok dalam band yang akan dibentuk olehnya dan Reky.
“Ky!” panggil Arlo tiba-tiba di tengah diskusi.
“Hm?” respon Reky. ia sedang serius mengerjakan PR matematika-nya.
“Ancient mau nggak, ya kalau ikut band kita nanti? Lu ajak dia, dong! Lu kan udah kenal Ancient duluan daripada gue,” pinta Arlo.
“Arlo, kita ke sini buat ngerjain PR matematika. Bukan buat ngomongin band,” jawab Reky.
“Band apa?” tanya Ancient. Rupanya ia mendengarkan pembicaraan Reky dan Arlo.
-to be continued-

11.7.16

RADAR BAND - Chapter 01

Yooo... this is it. Cerita bersambung writer selanjutnya. Hohoho..
Gak nyangka banget bisa menyelesaikan cerita bersambung yang pertama.  Yap, THE BEAUTIFUL OF FRIENDSHIP sudah berakhir di Chapter 29 ( kalau yang mau baca, bisa klik di sini.

Selanjutnya inilah cerita bersambung writer yang kedua.
Hmm, rencananya sih writer mau terbitkan dua cerbung sekaligus. Ada lagi nih cerita petualangan gitu yang pernah writer tulis pas masih SMP. Oh iya, RADAR BAND juga writer tulis pas masih SMP loh. Maaf banget baru bisa terbit online sekarang. Hehehe.
Ya, silahkan di nikmati dah ya. Hihihihi.
------

RADAR BAND – CHAPTER 1

JREEENNNGG!!!
Suara dawai gitar yang dipeti oleh jari-jemari Arlo. Gerakan jarinya semakin lincah. Bermain gitar adalah hobinya. Semenjak Pak Kazarlo, ayahnya, membelikan gitar untuknya 2 tahun lalu, ia tak pernah sekali pun absent latihan. Meskipun begitu, ia tak pernah tinggi hati karena bakatnya.
“Arlo! Bisa bantu Bunda?” pinta Bu Kazarlo, ibu Arlo, memanggil dari dapur.
Arlo merngenyitkan dahinya.
“Baru satu petik, udah dipanggil aja.” Batin Arlo. Ia taruh gitar kesayangannya itu kemudian menuju dapur.
“Iya Bunda. Arlo ke dapur.”
**********
Di sekolah Arlo, bel istirahat kedua baru saja berbunyi. Reky, teman sekelas Arlo, mendekat saat ia sedang memasukan buku-bukunya.
“Hei, Arlo! Kok, lemas banget sih?” tanya Reky. Teman Arlo yang memiliki nama lengkap Reky Randy ini punya suara yang merdu, lho.
Arlo menghela nafas panjang.
“Memang kenapa, Ky?”
“Pasti lagi BT, ya? Masih muda jangan kebanyakan BT. Nggak baik buat kesehatan,” jawab Reky belagak menasehati.
“Oh, iya Lo! Gue dapat bocoran dari Pak Ricky. Katanya sekitar empat atau lima bulan lagi bakalan ada festival band. Lu mau ikutan, gak?” tanya Reky kemudian.
“Festival band? Dalam rangka apa?”
“Kurang tau, sih. Tapi, bukannya kamu pernah bilang ingin membuat band?”
“Hm, iya juga sih. Kalau misalnya jadi acaranya, boleh deh.” Arlo kembali bermalas-malasan di bangkunya.
“Lu kenapa, sih? Lemes amat?”
“Gue nggak ngerti PR matematika tadi, nih. Besok dikumpulkan lagi.”
“Ya, elah. PR tadi, tuh gampang kali. Nanti pulang sekolah, lu ikut sama gue deh! Kita ke rumah Ancient,” ajak Reky.
“Ancient kelas 2A? Ngapain?” tanya Arlo.
“Ya, ngerjain PR matematika, lah. Dia tuh, pinter banget tahu. Soalnya gue juga nggak ngerti PR matematika tadi. Hehe...,” jawab Reky seraya menggaruk-garuk kepalanya.

-to be continued-

10.7.16

Pokémon Go : Mencari dan Menemukan Pokemon

Di bawah ini, gue mau share tentang cara menemukan Pokemon dalam Game Pokemon Go.

Menemukan Pokemon

Hape kamu akan bergetar saat ada Pokemon yang dekat denganmu. Kalau Pokemon-nya nggak keliatan,coba untuk sedikit berjalan! Pokemon biasanya muncul di daerah-daerah lapang. Kamu juga bisa menarik Pokemon dengan menggunakan Item bernama Incense.

Beberapa Pokemon muncul di wilayah dan cuaca tertentu. Misalnya, Pokemon air biasanya muncul dekat danau, pantai, atau di atas permukaan air.

Pokemon disekitarmu ditunjukan di sudut kanan bawah saat Map View, yaitu tab Nearby Pokemon. Kalau kamu klik, akan keluar list Pokemon apa saja yang berada di dekatmu dan seberapa jauhnya. Jarak Pokemon ditunjukan oleh jejak kai. Pokemon yang sudah ada di Pokedex akan berwarna, sedngkan yang belum ada masih berupa siluet.

7.7.16

The Beautiful of Friendship - Chapter 29

Senin pagi saat Ira hendak memakai sepatu untuk berangkat sekolah, terlihat kesibukan di rumah tetangganya yang telah lama kosong. Truk pengangkut barang terparkir di halaman dan beberapa orang mengangkut barang-barang ke dalamnya. Sepertinya ada keluarga yang pindah ke sana. Ira menjadi teringat pertanyaan Fami, saat ia pertama kali mengikuti Ira ke rumah.
“Itu rumah kosong, Ra?” tanya Fami.
“Iya. Kamu tinggal di sana aja, Fam!” jawab Ira.
“Lho, kenapa?”
“Kan bisa ketemu teman-temanmu... Hihihihi....” Ira memeragakan gaya hantu yang sedang menakut-nakuti.
“Aku bukan hantu tau...,” jawab Fami seraya menjulurkan lidah.
PAK!
Ira memukul pipinya. Ia berusaha mengendalikan diri, kalau tidak ia akan kembali menangis saat mengingat Fami. Ira menarik nafas dalam dan menghembuskannya kembali. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengikhlaskan kepergian Fami.
“Bu, aku pamit ya!” serunya saat hendak berangkat sekolah.
******
Saat Ira memasuki kelas, rupanya Irfani, Irfan dan Lara sudah datang terlebih dahulu. Mereka sedang bersenda gurau membicarakan sesuatu.
“Pagi semuanya,” sapa Ira seraya tersenyum riang. Ia menyimpan ransel di bangkunya.
“Lho, kok, nggak pada jawab?” tanyanya kemudian saat ia tak mendengar jawaban dari ketiga temannya itu. Mereka justru diam membeku memperhatikan Ira yang terbengong kebingungan. Sampai akhirnya Irfani melompat merangkul Ira.
“Ira...! Akhirnya kamu ketawa lagi,” ujar Irfani, melompat kegirangan saat memeluk Ira. Ia begitu senang mengetahui temannya kembali tersenyum.
“Haha, iya. Maaf, ya udah membuat kalian khawatir,” jawab Ira.
“Syukurlah. Aku pikir kau akan terus cemberut selamanya,” ujar Lara. Ira hanya tertawa saja menjawabnya.
“Udah nggak apa-apa, sekarang?” tanya Irfan. Ira tersenyum dan mengangguk.
****
Pada jam istirahat pertama, Ira bermaksud untuk berkunjung ke kelas Ana. Ia ingin mengucapkan terimakasih. Jika saja Ana tak mengunjunginya waktu itu, mungkin ia masih bersedih hingga saat ini. Meski pun Ira tak bisa memberikan apa-apa sebagai balasan, setidaknya Ana tahu bahwa ia kini dapat menerima keadaannya. Ketika, Ira sedang berjalan menuju kelas Ana, ia melihat Irfan di hadapannya.
“Irfan!” panggil Ira. Ia berlari kecil mendekati Irfan.
Irfan memutar tubuhnya, menghadap Ira.
“Eh, Ira. Ada apa?”
“Kamu mau ketemu, Ana kan? Barenglah. Aku juga mau ke sana,” jawab Ira saat telah di hadapan Irfan.
“Boleh. Ayo!” Irfan memutar tubuhnya kembali dan mulai berjalan. Ia memperhatikan Ira sepanjang perjalanan. Ira terlihat lebih ceria dari minggu sebelumnya.
“Ira kayaknya senang banget hari ini?” tanyanya kemudian.
“Oh, ya?” Ira menjawab dengan cengar-cengir.
Irfan kembali memperhatikan jalannya. Mereka hampir tiba di kelas Ana. Dari kejauhan Irfan dapat melihat Ana sedang bersenda gurau di depan kelas bersama seorang teman lelakinya. Irfan tak dapat melihat wajah lelaki tersebut karena posisinya yang membelakangi mereka. Ana terlihat begitu akrab dengannya.
“Lho, Irfan. Kok, kamu berhenti?” tanya Ira saat ia menyadari Irfan tertinggal olehnya.
Rupanya Ana menyadari kedatangan Ira dan Irfan saat itu.
“Irfan! Ira! Cepat kemari!” teriak Ana seraya melambaikan tangan.
Tiba-tiba Irfan berjalan cepat dan meninggalkan Ira. Ia menyelipkan diri diantara Ana dan teman lelakinya. Ira yang tadinya bengong atas apa yang dilakukan Irfan, kini mulai mengerti.
“Hoo, cemburu toh,” gumam Ira sambil cekikikan. Ia berjalan mendek saat Ana hendak memperkenalkan temannya tersebut.
“Kenalin! Ini....”
“Irfan. Pacarnya Ana,” potong Irfan. Ia menjulurkan tangannya kepada laki-laki itu. Ira kembali cekikikan melihat tingkah laku Irfan. Laki-laki itu membalas jabatan tangan Irfan.
“Aku sepupunya Ana, namaku Fami.” Ujarnya.
“Oh, sepupu toh.” Irfan menggaruk-garuk kepalanya. Wajah Irfan memerah malu.
“Fami?!” seru Ira.
Merasa namanya dipanggil, Fami menoleh ke arah Ira.
Ira terkejut. Fami yang kini di hadapannya mirip dengan Fami yang bertemu dengannya di gudang sekolah dulu. Tapi, bagaimana ini bisa terjadi? Apakah mereka Fami yang sama. Tapi, tidak mungkin.
“Hai, Ira! Bagaimana kabarmu? Ini aku, Fami.” ucap Fami.
“Bagaimana bisa?” gumam Ira. Ia memperhatikan Fami dengan tatapan tak percaya.
“Hei, Ira! Apa kau pernah bertemu dengan Fami sebelumnya? Anak ini terus-menerus menanyakanmu sejak ia bangun seminggu yang lalu,” jelas Ana. Ia menarik-narik kerah kemeja Fami agar tubuh Fami yang tinggi membungkuk dan sejajar dengannya.
“Bangun? Maksudnya gimana?” tanya Irfan.
“Fami mengalami kecelakaan tepat saat pergantian semester tahun ini dan menyebabkannya koma selama tiga bulan lebih, dan baru sadar minggu lalu. Saat aku menemuinya, ia langsung menanyakan keeadaanmu, Ra. Apa kalian pernah bertemu?” jelas Ana.
“Sudah kubilang bukan begitu. Aku bermimpi bertemu Ira di gudang sekolah ini. Aku juga mengikuti Ira fieldtrip dan melaporkan kasus perampokan pada polisi dua minggu lalu,” jelas Fami.
“Benarkah?” tanya Irfan lagi.
“Sudah kubilang, kan, nggak mungkin kamu bermimpi seperti itu. Fieldtrip dan perampokan itu kita benar-benar mengalaminya, dan Ira yang melapor pada polisi,” tambah Ana lagi.
“Sebenarnya...,” Ira angkat bicara.
“Sebenarnya, bukan aku yang melaporkan perampokan itu pada polisi. Tapi Fami yang melakukannya. Karena saat itu, hanya aku saja yang dapat melihat dan mendengar Fami, makanya Fami memintaku untuk bilang kalau aku yang melapor.” Ira menjelaskan.
“Iya. Tepat seperti yang Ira katakan,” dukung Fami.
“Jadi, kau Fami yang itu?” tanya Ira kemudian. Matanya mulai berkaca-kaca.
Fami tersenyum. Ia pun mengangguk.
Ira berlari mendekati Fami dan memeluknya. Air matanya menitik perlahan. Ia bersyukur dipertemukan lagi oleh Fami yang selama ini dirindukannya. Bahkan ia dapat menyentuhnya. Fami benar-benar nyata sekarang.
“Jadi, mulai besok kita bisa pulang bareng. Yee!” seru Fami tiba-tiba.
“Pulang bareng? Ah! Jadi yang tadi pagi pindahan ke rumah sebelah itu keluargamu?” tanya Ira. Fami mengangguk sambil senyum-senyum. Mereka kembali berpelukan.
-tamat-

The Beautiful of Friendship - Chapter 28

Rencana perampok-perampok tersebut berhasil digagalkan. Pak Mazie meminta rekannya untuk membawa mereka menuju kantor polisi. Lara dan keluarganya dapat merasa aman sekarang.
“Terimakasih, Pak! Kami sekeluarga benar-benar mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya,” ujar Pak Dama pada Pak Mazie.
“Berterimakasihlah pada Tuhan dan seseorang yang melapor pada kami bahwa telah terjadi perampokan di rumah ini. Tanpanya, tentu kita tak mungkin datang tepat waktu,” balas Pak Mazie.
“Siapa, Pak yang melapor?” tanya Bu Dama.
“Kalau tidak salah, seorang anak perempuan bernama Ira, menelepon kami dan melaporkan perampokan ini,” jawab Pak Mazie.
“Aku?” tanya Ira. Lara segera menghampiri Ira dan memeluknya.
“Terimakasih Ira. Terimakasih semuanya,” ucap Lara. Ia melepaskan pelukannya.
Ira bingung. Ia sama sekali tak menelepon polisi. Tapi, bagaimana Pak Mazie bisa berkata kalau ia yang memanggil polisi?
“Iya, iya. Tapi aku nggak...,” Ira mencoba mengonfirmasi, kata-katanya terpotong saat Fami muncul di hadapannya.
“Aku yang menelepon, Ra. Aku menggunakan nama dan suaramu,” ujar Fami.
“Nggak kenapa, Ra?” tanya Lara.
“Nggak kenapa-kenapa, kok. Iya, sama-sama ya Lara,” jawab Ira sambil cengar-cengir. Tentunya nggak akan ada yang mempercayai jika ia katakan ada roh yang menyamar menjadi dirinya untuk menelepon polisi, kan?
“Baiklah, Pak! Kami permisi dulu,” pamit Pak Mazie.
“Sekali lagi, terimakasih banyak, Pak.” Balas Pak Dama. Beliau berjabat tangan dengan Pak Mazie sebelum memasuki mobil patrolinya.
*****
Lima hari kemudian.
“Ira! Ayo, berangkat bareng aku!” Lara memanggil Ira dari dalam mobilnya saat ia melihat Ira sedang berjalan menuju sekolah. Ia meminta supir untuk menepikan mobilnya.
“Nggak usah, La. Aku jalan saja,” tolak Ira.
“Udah, nggak apa-apa. Ayo!” Lara turun dari mobil dan menarik Ira masuk ke dalam mobil. Akhirnya Ira menurut dan mengikuti Lara.
Selama di dalam mobil, Ira hanya diam. Ia tak terlalu merespon Lara yang mengajaknya mengobrol.
“Kamu kenapa, Ra? Kok, murung? Lagi ada masalah, ya?” tanya Lara kemudian.
“Nggak apa-apa, kok La. Thanks ya udah nebengin,” jawab Ira. Ia menarik bibirnya dengan paksa agar terlihat tersenyum. Lara jadi bingung mesti bagaimana.
Tak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang sekolah. Lara dan Ira turun dari mobil dan bersama-sama berjalan menuju kelas. Rupanya Irfan dan Irfani sudah berada dalam kelas.
“Pagi, Ira dan Lara.” Sapa Irfan. Ira hanya menjawab dengan senyum saat melewati Irfan.
“Pagi juga Irfan,” jawab Lara.
“Ira! Lara! Irfan jadian sama Ana, lho,” ujar Irfani tiba-tiba.
“Ssstt! Irfani, jangan ribut-ribut!” irfan menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
“Wah, beneran? Traktiran, ya traktiran,” ucap Lara.
“Selamat ya, Irfan,” ucap Ira. Ia mengatakannya dengan nada yang lemah dan sangat tak bersemangat. Irfan, Irfani, dan Lara yang tadinya bercanda jadi ikut terdiam. Ira tak seperti biasanya, itulah yang mereka simpulkan.
Saat jam istirahat, Irfan menceritakan keadaan Ira pada Ana.
“Ira sama sekali nggak cerita?” tanya Ana. Irfan menggelengkan kepalanya.
“Dari kapan Ira seperti itu?” tanya Ana lagi.
“Dua atau tiga hari belakangan ini lah,” jawab Irfan. Ia menyeruput es jeruk yang dibelinya.
“Hm, kenapa ya?”
“Coba kamu ke rumahnya, besok sabtu atau minggu! Siapa tahu kalau sama kamu, Ira mau cerita.”
“Oke, deh.”
Esoknya, Ira masih memasang wajah murung. Sepulang sekolah, ia langsung masuk ke kamarnya dan tidak keluar sampai sore hari. Ibunya mulai merasa khawatir.
“Ira!  Makan siang dulu, sayang!” panggil Bu Nazar. Ia mengetuk pintu kamar Ira.
“Nanti saja, Bu.” Jawab Ira dari dalam kamarnya. Ia kembali menutup wajah dengan bantal, mencoba menahan air matanya. Banyak yang ia pikirkan empat hari belakangan ini. Tapi tak kunjung juga menemui jalan keluar. Ditambah ia tak dapat melakukan apa pun untuk memecahkan masalahnya itu. Hal tersebut menambah kesedihannya.
“Ira!”
Seseorang memanggil. Ira menyingkirkan bantalnya dan melihat arah datangnya suara.
“Ana? Kok, kamu bisa masuk?” tanya Ira. Ia mengusap-usap wajah agar tak terlihat seperti setelah menangis.
“Pintunya nggak terkunci, kok.” Jawab Ana.
Ira menatap pintu kamarnya. Rupanya ia lupa untuk mengunci pintu tersebut. Tapi, tetap saja, bagaimana Ana bisa masuk ke kamarnya tanpa menimbulkan suara sedikit pun?
“Ada perlu apa kemari?” tanya Ira sedikit terganggu.
“Aku tahu, mungkin kamu sedang ingin sendirian sekarang. Tapi, kalau sampai nggak makan, nanti tubuhmu bisa sakit, lho.” Ana mendekati Ira dan duduk di tepi ranjangnya. Ia menyimpan kotak makan yang Bu Nazar siapkan untuk makan siang Ira di meja dekat ranjang.
“Aku nggak lapar,” jawab Ira lirih. Ia kembali menundukkan kepala. Ana memperhatikan mimik wajah Ira yang kacau. Seperti merasa kehilangan.
“Kamu nggak cemburu, kan aku jadian sama Irfan?” tanya Ana tiba-tiba. Ira tertegun.
“Eh? Nggak kok, nggak. Bukan karena itu. Aku ikut senang atas jadiannya kalian,” jawab Ira. Ia memaksakan diri untuk tersenyum,
“Hehe, becanda kok, becanda.” Ujar Ana sambil cengar-cengir.
“Tapi, ya Ra. Menurutku, nggak usah berlarut-larut sedih hanya karena ditinggal seseorang kan?”
“Kok, kamu tahu?”
“Jadi, tebakanku benar, ya? Siapa, Ra? Mau cerita kepadaku?” tanya Ana.
Ira tak langsung menjawab. Ia berjalan mendekati meja belajarnya dan mengambil selembar kertas yang terlipat. Ia memberikan lembaran itu kepada Ana.
“Surat?” Ana membuka lembaran tersebut dan membaca isinya hingga selesai. Surat berisi ucapan selamat tinggal dari seseorang yang ditujukan pada Ira. Jadi, inikah yang belakangan ini Ira pikirkan? Pengirimnya...,
“Fami?”
“Aku bertemu dengannya saat terkurung di gudang sekolah. Ia selalu membantuku, bahkan saat aku dijauhi oleh teman-temanku sampai kasus di rumah Lara kemarin. Fami masih ada. Sampai lima hari yang lalu, aku temukan surat ini dan Fami nggak pernah muncul lagi.” Ira menangis.
Ana mendekati dan memeluknya. Ia sebenarnya tidak begitu mengerti yang dibicarakan oleh Ira. Jika Fami ini selalu bersama Ira, bahkan saat kasus perampokan di rumah Lara tempo hari, seharusnya Ana bertemu dengannya. Tapi, yang Ana tahu, hanya ia, Ira, Irfan dan Irfani yang berada di sana. Namun, jika Fami ini hanya khayalan Ira, kenapa perasaan Ira terasa begitu nyata?
“Sabar, ya Ra. Semua yang hilang pasti ada penggantinya,” hibur Ana.
-to be continued-

The Beautiful of Friendship - Chapter 26

Boss perampok dan Dedet membawa Pak Dama, Lara, dan Irfan ke sebuah ruangan dekat dapur yang digunakan sebagai gudang. Di dalam sana ada dua orang perampok bertubuh kurus, yang satu tinggi dan yang lain lebih pendek, Bu Dama –Ibu Lara-, Irfani, dan Ana.
“Irfani? Ana? Mereka tertangkap,” batin Irfan. Ia didudukkan di samping Ana. Tangan dan kakinya diikat oleh perampok bertubuh kurus tinggi. Sedangkan Dedet mengikat Lara.
Irfan memberikan isyarat pada Ana, ia ingin mengetahui apakah mereka berhasil menghubungi polisi. Ana menggelengkan kepalanya. Rupanya ia dan Irfani tertangkap lebih dulu sebelum melapor pada polisi. Sedangkan, Ana mencoba menanyakan keberadaan Ira pada Irfan dengan menggunakan bahasa bibirnya. Irfan pun menjawabnya dengan menggeleng. Artinya, Ira masih berada di lokasi yang aman sekarang dan perampok-perampok ini belum mengetahui keberadaannya.
“Hoi! Ngobrolin apa bocah?” Boss perampok mengetahui bisik-bisik yang Ana dan Irfan lakukan. Ia menodongkan pistolnya pada kepala Irfan.
“Dedet! Kau bilang ada lima anak?”
“Iya, Boss. Sepertinya anak yang terakhir masih bersembunyi di sekitar rumah ini,” jawab Dedet.
“Kalau begitu, cari! Jangan diam saja!” bentak Boss perampok.
“B, baik, Boss.” Dedet keluar ruangan untuk mencari Ira.
“Gawat, nih. Kalau dibiarin, Ira juga bisa tertangkap. Aku harus melakukan sesuatu,” batin Ana. Ia mendapatkan ide.
“Boss-nya , Boss-nya!” panggil Ana.
“Apa, Bocah? Beraninya memanggilku seperti itu,” Boss perampok menodongkan pistolnya pada kepala Ana.
“Aku ingin buang air, nih.” Jawab Ana.
“Tidak!” Boss perampok menolak.
“Udah gak tahan. Kalau gak boleh, nanti aku buang air di sini.” ujar Ana lagi. Ia menggoyang-goyangkan kakinya dan memasang mimik ‘kebelet’-nya.
“Okei, okei! Pedet, antar dia ke kamar mandi!” Boss perampok memerintahkan anak buahnya yang bertubuh kurus pendek.
“Siap, Bos.” Jawab Pedet. Ia memaksa Ana berdiri dan mendorongnya keluar dari ruangan. Ia mengatar Ana sampai pintu kamar mandi.
“Cepat!” perintah Pedet. Ia mendorong Ana memasuki kamar mandi dan menutup pintunya.
Rupanya alasan buang air hanya akal-akalan Ana untuk bisa keluar mencari Ira. Ia mencari-cari barang yang dikira cukup keras agar bisa ia gunakan untuk melawan Pedet dan ia melihat pel lantai yang menggantung di dinding kamar mandi.
“Mungkin ini bisa,” gumamnya.
BUGH!
Suara gaduh terdengar dari luar kamar mandi. Tak lama, ada seseorang yang mencoba membuka pintu kamar mandi tersebut. Orang itu mengutak atik gagang pintu. Ana kembali waspada. Ia mengambil alat pel dan bersiaga untuk memukul orang yang mencurigakan tersebut. Saat pintu terbuka....
“Ira?!” serunya. Rupanya Ira berhasil lolos dari Dedet dan juga berhasil melumpuhkan Pedet. Ana melihat Pedet telah tak sadarkan diri di belakang Ira.
“Ana. Kamu nggak apa-apa?” tanya  Ira. Ana menganggukkan kepalanya. Ira kemudian membuka ikatan pada tangan Ana.
“Dimana yang lain?”
“Mereka di kurung di gudang. Di sana ada kedua orang tua Lara juga, dan maaf Ira.”
“Kenapa?” Ira bingung, kenapa Ana meminta maaf.
“Aku dan Irfani nggak berhasil menghubungi polisi,” jawab Ana.
“Tenang! Tenang! Kita piirkan lagi cara lain,” hibur Ira. Ia memperhatikan tubuh Pedet yang tertelungkup.

The Beautiful of Friendship - Chapter 27

“Kurang ajar! Kemana pedet dan anak itu?” umpat Boss perampok. Ia memperhatikan arloji di pergelangan tangannya. Sudah sepuluh menit berlalu sejak Pedet mengantar Ana ke kamar mandi. Tak lama Ana muncul di depan pintu bersama Pedet. Namun, Pedet kini menutup kepalanya dengan sebuah topeng kain.
“Oh, sudah ke kamar mandinya bocah?” pertanyaan Boss perampok tak dijawab oleh Ana. Pedet mendudukan Ana di posisi awalnya.
Tiba-tiba terdengar suara deringan telepon rumah Lara. Boss perampok mendekati pintu gudang untuk mengamati keadaan sekitar. Kemudian ia melihat telepon rumah di meja dekat meja makan.
“Pedet! Joki! Awasi mereka!” perintahnya. Boss perampok keluar dari dalam gudang dan berjalan menuju telepon tersebut.
Pedet mundur beberapa langkah sehingga kini ia berada di belakang perampok yang bertubuh tinggi bernama Joki itu. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam pakaiannya. Sebuah gerusan coet yang terbuat dari batu. Pedet mendekati Joki dan memukulkan batu tersebut pada bahu Joki sebanyak tiga kali. Joki pun jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri.
“Kenapa kamu memukul temanmu sendiri?” tanya Pak Dama yang tak habis pikir.
Pedet  kemudian membuka topeng kainnya. Rupanya itu bukan Pedet, tapi Ira. Ia menyamar sebagai Pedet karena tubuh mereka yang hampir sama. Sehingga Boss peraampok pasti tak dapat membedakan jika wajah Ira ditutup.
“Ira...,” ucap teman-temannya hampir bersamaan. Ira memberikan tanda untuk tetap tenang.
Ia secepat mungkin melepaskan ikatan dari Pak Dama, Bu Dama, Lara, Irfani, Ana dan Irfan. Kemudian mereka mengikat Joki. Irfan mengintip ke arah telepon untuk mengamati Boss perampok.
“Boss perampok itu masih sibuk dengan telepon,” ucap Irfan.
“Kita bisa pergi lewat pintu belakang. Aku dan Ana sudah membuka kuncinya sehingga kita mudah keluar,” ujar Ira. Lara dan keluarganya tampak lega.
Mereka keluar satu persatu dari gudang tersebut. Diawali oleh Pak Dama, Bu Dama, Lara, kemudian Irfani. Sedangkan Irfan masih mengamati Boss perampok.
“Ana! Ayo! Giliranmu,” Irfan menggerakkan tangannya, mengisyaratkan Ana untuk segera keluar dari gudang.
“HEI! Berhenti kalian, bocah!” rupanya Boss perampok menyadari bahwa sanderanya telah bebas. Ia mengangkat pistolnya dan mengarahkan pada Ana yang saat itu baru saja keluar dari gudang.
“Ana, awas!”
DOR!
Tembakannya meleset. Irfan berhasil mendorong Ana sehingga terhindar dari bidikan. Boss perampok berlari mendekati gudang. Irfan membantu Ana bangun dan menariknya menuju pintu dapur.
“Irfan tunggu! Ira masih di dalam,” ujar Ana. Ia melepaskan pegangan Irfan dan kembali masuk ke dalam rumah. Irfan menyusulnya. Saat mereka tiba di pintu gudang...
Boss perampok berhasil menangkap Ira dan menjadikannya sandera.
“Ira!” seru Ana dan Irfan.
“Jangan mendekat! Atau kutembak kepala bocah ini,” ancam Boss Perampok. Ia menodongkan pistol pada kepala Ira. Sedangkan tangannya menahan tubuh Ira agar tak berontak.
Ira sangat ketakutan. Ia tak pernah berada di situasi seperti ini sebelumnya. Ana dan Irfan kesulitan menolong karena mereka dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Boss perampok itu dapat menarik pelatuk pistolnya kapan saja.
“Bagaimana ini? Apa aku akan mati? Aku belum minta maaf pada Ayah dan Bunda,” batin Ira. Ia memejamkan mata, semakin merasa ketakutan.
“Apa-apaan ini?” Boss perampok menggerutu kesakitan. Tangan yang ia gunakan untuk memegang pistol bergerak sendiri ke arahnya. Ira yang penasaran membuka mata dan melihat Fami menggerakkan tangan Boss tersebut.
“Fami?”
“Ira! Cepat pergi sekarang!” ujar Fami.
Ira mengigit lengan Boss perampok yang menahan tubuhnya. Boss perampok terkejut dan berteriak kesakitan. Ia mengangkat tangannya sehingga Ira bisa kabur. Ira berlari mendekati Ana dan Irfan.
“Ira! Cepat lari!” teriak Ana.
Sayangnya, Boss perampok berhasil menguasai tubuhnya kembali. Ia menyadari sanderanya lepas dan tanpa pikir panjang mengarahkan pistolnya pada tubuh Ira.
“Ira! Awas!” Fami berteriak.
DOR! DOR!
Cipratan darah mengotori lantai ruangan gudang. Begitu pun pistol yang terlempar dari tangan Boss perampok.
“Anak-anak! Kalian baik-baik saja?” Pak Mazie, kepala kepolisian Kendangjari berhasil melumpuhkan Boss perampok dengan menembak di tangan dan perutnya. Pak Mazie muncul di saat yang sangat tepat.
-to be continued-

1.7.16

The Beautiful of Friendship - Chapter 25

Ira, Ana, Irfan, Lara dan Irfani kembali menyusun rencana mereka. Setelah berhasil melumpuhkan empat dari tujuh orang perampok, mereka berencana membagi kelompok menjadi dua. Ana dan Irfani melapor pada polisi, sedangkan  Ira, Lara dan Irfan berusaha menyelamatkan orang tua Lara.
“Kok, kosong ya?” gumam Irfan saat mengintip ke dalam ruangan yang kata Lara kamar orang tuanya.
“Kosong gimana maksudnya?” tanya Ira.
“Nggak ada siapapun di dalam.” Jawab Irfan.
Tak lama kemudian terdengar suara langkah mendek. Mereka masuk ke dalam kamar. Lara dan Irfan bersembunyi di bawah ranjang, sedangkan Ira masuk ke dalam lemari pakaian.
“Katakan! Dimana brankasnya?” bentak Boss perampok seraya menodongkan pistol ke arah Ayah Lara, Pak Dama.
“A, ada di dalam kamar,’ jawab Pak Dama.
Pak Dama dan tiga orang perampok memasuki kamar. Mereka mendekati lemari pakaian tempat Ira bersembunyi. Ira merasakan suara langkah mereka mendekat ke arahnya.
“Gawat, aku akan tertangkap.” Batin Ira.
“Kyaaa! Kecoaa!” suara teriakan Lara saat seekor kecoa lewat di depan wajahnya. Spontan ia keluar dari pesembunyian.
Boss perampok yang terkejut melepaskan tembakan ke arah Lara.
DOR!
Tembakan meleset. Rupanya Irfan berhasil menarik tubuh Lara sehingga dapat terhindar dari tembakan. Boss perampok berhenti menembak saat mengetahui ada dua anak di hadapannya.
“Lara!” panggil Pak Dama.
“Dedet! Apa anak-anak ini yang kau maksud?” tanya Bossperampok pada anak buahnya yang bertubuh besar. Orang itu adalah perampok yang tadi berhasil Irfan lumpuhkan.
“Benar, Bos. Mereka dua dari lima anak-anak itu.”
“Ikat mereka! Satukan dengan yang lain!” perintah Boss perampok.
Dedet menarik lengan Lara dan Irfan. Ia menyeret mereka keluar dari kamar orang tua Lara. Irfan berusaha melawan, tapi Dedet terlalu kuat. Ia bahkan tak segan-segan memberikan pukulan pada Irfan saat ia berontak.
- To be continued –