Cute Brown Spinning Flower

30.5.16

The Beautiful of Friendship - Chapter 11

"Pergi! Pergi! Astagfirullah.. Bismillah.. Subhanallah..," Ira berteriak-teriak seraya menutup wajahnya. Anak laki-laki itu bukannya ketakutan, justru terbang mendekati Ira.
"Hahaha! Kok, kamu ketakutan? Aku kan bukan hantu. Hahaha!" ujar anak itu, ia terus tertawa hingga Ira berani membuka wajahnya.
"Jadi, kamu bukan hantu? Tapi, kok kamu nggak menapak ke tanah kakinya?" masih setengah ketakutan, Ira menunjuk kaki anak tersebut.
"Oh. Soalnya aku bisa melayang-melayang. Tapi, serius. Aku bukan hantu," anak tersebut menurunkan tubuhnya agar kakinya menempel lantai.
"Terus, kalau bukan hantu, kamu apa?"
"Hm, iya juga. Aku apa, ya?"
"Kok, malah nanya balik?" keluh Ira.
"Ya, sudahlah. Nggak usah terlalu dipikirkan. Ngomong-ngomong, terimakasih ya sudah mengeluarkanku dari dalam kotak. Sebagai ucapan terimakasih, mulai sekarang aku akan mengikutimu keeee...manapuuuunnnn.... Ok?!" anak laki-laki itu menjelaskan dengan penuh ekspresi.
Meskipun tidak mengerti, Ira mengangguk saja. Wajahnya kini dipenuhi tanda tanya.
"Oh, iya. Namamu siapa? Aku Fahmi," anak laki-laki itu mengulurkan tangannya.
"Ira," Ira pun mengulurkan tangannya. Ia bermaksud membalas ajakan jabat tangan dari Fahmi. Tapi tangannya tak dapat disentuh. Ira begitu terkejut ketika melihatnya.
"Ha... Hantuuu...!" Ira kembali menyembunyikan wajah dengan tangannya.
"Hei, hei! Sudah kubilang kan kalau aku bukan hantu."
"Tapi, kok tanganku bisa tembus?"
"Aku juga nggak terlalu ngerti kenapa bisa begitu. Hehehe. Kamu sendiri, kenapa bisa di tempat ini?" Fahmi balik bertanya.
"Oh, iya! Tadinya aku mau menghancurkan kayu ventilasi itu. Tapi, aku terjatuh dan sekarang kursi-kursinya...," Ira menunjuk lubang ventilasi dan runtuhan tumpukan kayu.
"Kenapa kamu mau menghancurkan lubang ventilasi?" tanya Fahmi.
"Supaya bisa keluar," jawab Ira singkat.
Fahmi melihat-lihat sekeliling. Mulai dari kayu lubang ventilasi dengan jejak sepatu, tumpukan kursi yang berantakan, hingga pintu besar di hadapannya.
"Kamu di kunci dengan temanmu di sini?" tanyanya.
"Iya," jawab Ira.
"Okelah. Kita keluar sekarang!" Fahmi melayang mendekati pintu gudang.
"Eh, gimana caranya?"
Fahmi menunjuk lubang kunci pintu gudang, muncul cahaya dari ujung jarinya menuju lubang tersebut. Tiba-tiba pintu gudang terbuka.
"Waaahhh! Terimakasih, ya Fahmi. Aku masuk kelas dulu" Ira menarik pintu tersebut dan segera berlari keluar dari dalam gudang. Ia meninggalkan Fahmi sendirian.

24.5.16

The Beautiful of Friendship - chapter 10

😂😂😂
Writer mau curhat bentar boleh yaaa. Writer pengen banget nangis 😂😂😂Tapi juga pengen ketawa 😁😁😁. Ah, gak tau lagi. Udah masuk chapter 10 aja.. Huhuhu.. Penuh perjuangan nih buat sampe chapter 10.. Ya udahan ah nangis ma ketawanya.. Ini dia chapter 10.. Dozo kudasai 😇😇😇

The Beautiful of Friendship - chapter 10

BRAK! BRUK! BRUKH!
"Ha... Hampir saja menimpaku. Huft," Ira menghela nafas panjang saat menyadari dirinya terhindar dari tumpukan kursi yang terjatuh. Tubuhnya terjatuh cukup jauh dari tumpukan.
PLUK!
Sesuatu terjatub dari langit-langit, tepat mengenai kepala Ira. Sebuah kotak, sedikit lebih besar dari kotak musik, terjatuh ke hadapannya.
"Aduh. Kotak apa, nih?" Ira mengusap-usap bagian kepala yang sakit dengan tangannya, sementara tangan lainnya meraih kotak tersebut.
Tanpa pikir panjang, Ira membuka kotak di tangannya. Tiba-tiba keluar asap putih yang sangat banyak.
"Kyaa!" Ira berteriak dan melemparkan kotak dalam keadaan terbuka. Asap putih semakin banyak keluar, hampir menutupi seluruh gudang. Ira menutup hidungnya dan bergeser menjauh hingga pintu gudang, khawatir itu adalah asap beracun. Namun, beberapa detik kemudian, asap putih kembali masuk ke dalam kotak dengan cepat namun tidak seluruhnya. Sebagian asap membentuk sasuatu tepat di hadapan Ira. Sesuatu seperti seorang anak laki-laki.
"Ha... Hantu!"

-to be continued-

23.5.16

The Beautiful of Friendship - chapter 9

"Lara! Irfani! Buka pintunya!" Ira berteriak-teriak seraya memukul-mukul pintu gudang.
"Siapa saja di luar, buka pintunya! Tolong! Tolong!"
Tapi tak ada seorang pun yang datang. Lara, Irfani, dan yang lain telah kembali ke kelas karena terdengar suara bel masuk. Tak ada yang mengetahui keberadaan Ira selain mereka. Jika mereka berencana untuk mengurungnya, maka mereka tak akan membukakan pintu bahkan sampai pulang sekolah nanti.
"Gawat. Aku harus cari jalan lain," gumam Ira. Ia memperhatikan sekitar gudang. Matanya tertuju pada cahaya yang masuk dari celah-celah lubang ventilasi. Ventilasi yang terbuat dari kayu tersebut telah lapuk rupanya. Jika ia mendobrak lubang tersebut, tentu tubuhnya dapat dengan mudah melewati lubang tersebut.
"Tapi... Tingginya... Eh, tunggu. Kalau aku panjat kursi-kursi itu pasti bisa."
Rupanya tumpukan kursi tak terpakai tepat berada di bawah lubang ventilasi. Ira agak ragu untuk memanjatnya karena kursi-kursi tersebut sudah sangat lapuk. Bagaimana jika nanti ia terjatuh dan tertimpa kursi-kursi tersebut?
Tapi, ia tak boleh ragu. Ada juga kemungkinan ia bisa keluar dari gudang bila memanjat kursi-kursi itu, kan?
Pada akhirnya, Ira memanjat tumpukan kursi tersebut. Sangat hati-hati, hingga akhirnya ia berada tepat di depan lubang ventilasi.
"Haa... Berhasil. Sekarang, tinggal dobrak kayu ventilasi ini dan aku bisa keluar," pikir Ira. Ia mengangkat kakinya, mengambil ancang-ancang untuk mendobrak kayu ventilasi.
BAKH!
Ira menendang kayu tersebut. Namun rupanya kayu ventilasi masih sangat keras. Tendangannya hanya membuat tubuhnya kembali terpental ke belakang. Kakinya yang lain tidak terlalu kuat menahan, ditambah tumpukan kursi di bawahnya mulai bergoyang-goyang.
"Kalau begini, aku bisa jatuh...."
Tumpukan kursi kini ambruk.

-to be continued-

22.5.16

The Beautiful of Friendship - chapter 8

Beberapa hari setelah kejadian kertas contekan, Ira merasakan perlakuan berbeda dari teman-teman sekelasnya. Satu persatu, mereka menjauhi Ira hingga akhirnya ia menjadi sering sendirian. Termasuk teman bermainnya dulu, Irfani dan Irfan. Irfani kini lebih sering bersama Lara dan Irfan selalu berusaha menghindar saat diajak mengobrol dengannya. Kini ia benar-benar sendirian.
"Ira! Ira! Ira!" Bu Nazar, Ibu Ira, berkali-kali memanggil nama anaknya saat sedang makan malam. Beliau bahkan menggoyang-goyang bahu Ira.
"Eh! Iya. Kenapa, Bu?" Ira sedikit terkejut saat tubuhnya terguncang.
"Ira, kenapa sayang? Kok, daritadi bengong? Makanannya juga gak dihabisin. Lagi ada masalah di sekolah?" tanya Bu Nazar, lembut. Ia mengusap-usap kepala Ira.
"Gak apa-apa, kok Bu." jawab Ira menutupi.
"Beneran nggak apa-apa?"
"Iya, Bu. Nggak apa-apa. Ibu nggak usah khawatir. Aku udah, ya Bu makannya. Masih ada PR," pamit Ira. Ia menutup sendok dan garpunya.
"Ya sudah. Belajar yang rajin, ya!"
Ira mengangguk. Ia beranjak dari meja makan dan berjalan memasuki kamarnya. Setelah mengunci pintu kamar, Ira membaringkan tubuhnya di ranjang. Air mata mulai mengalir di pipinya.
"Maaf Ibu. Ira nggak mau Ibu khawatir." gumamnya.
********
Esok hari saat istirahat sekolah, Ira berjalan sendirian menuju perpustakaan. Namun ia melihat Irfan sedang berdiri di pintu masuk perpustakaan, seperti menunggunya.
"Irfan?" panggil Ira.
Irfan menengok ke arah Ira dan menatapnya sebentar dengan wajah kebingungan. Tapi, tiba-tiba ia berlari menuju belakang sekolah.
"Eh, Irfan! Tunggu!" teriak Ira. Spontan Ira mengikuti Irfan. Langkahnya mulai melambat saat ia melihat Irfan telah berhenti berlari. Ia berjalan mendekati Irfan yang kini dihadapannya.
"Irfan, kenapa? Kok, kamu seperti sedang ada masalah?"
"Maaf." jawaban Irfan.
Tiba-tiba terdengar tepuk tangan seseorang. Lara dan Irfani muncul dari belakang Irfan, di susul Agil dan Tari dari belakang Ira. Ira langsung menyadari kalau ia dijebak oleh Lara.
"Good Irfan! Kamu memang berbakat jadi aktor," Lara menepuk-nepuk lengan Irfan.
"Lara, apa maksudnya ini?" teriak Ira.
Tapi Lara tak menjawab, ia memberi kode pada Agil dan Tari untuk membawa Ira mengikutinya.
Irfani membuka pintu gudang sekolah. Ira dipaksa memasuki gudang tersebut oleh Agil dan Tari. Ia di dorong ke dalam hingga jatuh tersungkur. Lara berdiri di hadapannya.
"Hahaha! Mampus, lo!" maki Lara.
"Lara, apa salah aku sampai kamu jahat begini?" tanya Ira, terdengar isak dari suaranya.
"Pikir aja sendiri! Ayo! Kita kunci dia di sini. Biar dia mikir," Lara membalikkan tubuhnya dan mulai keluar dari gudang.
"Lara! Tunggu! Jangan tinggalin aku sendirian di sini...," Ira berusaha bangun dan mengejar mereka.
Sayangnya pintu gudang telah tertutup. Bahkan ia bisa mendengar Irfani telah mengunci kembali pintu gudang tersebut. Mereka meninggalkan Ira dalam gudang.

-to be continued-

18.5.16

The Beautiful of Friendship - chapter 7

Saat istirahat berikutnya, Ira berjalan gontai menuju kantin. Beberapa anak terlihat mengolok-oloknya, tapi ia tak memedulikannya. Di kepalanya masih terngiang kata-kata Bu Osa tadi pagi. Kini Ira hanya terdudum lemas seraya memutar-mutar sedotan minumannya di salah satu kursi pojok kantin.
"Hai, Ra! Kamu gak apa-apa, kan?" Irfan muncul di hadapannya.
"Gak usah ngeledek. Emangnya gak sakit difitnah kayak gitu. Kertas itu bukan punya aku, Fan. Kamu percaya, kan sama aku?" emosi Ira langsung meluap.
"Percaya, kok. Tapi siapa yang simpan kertas itu di laci meja kamu, ya Ra?"
"Gak tau deh, Fan. Temen-temen kelas juga gak percaya sama pernyataanku."
"Mereka percaya, kok sama kamu. Sebelum...," Irfan memotong kata-katanya.
Ira penasaran. Irfan memperlihatkan gelagat yang aneh.
"Sebelum apa?"
"Sebelum Lara bilang kalau dia ngelihat kamu memasukan kertas ke laci meja...,"
"Lara?!"
Irfan mengangguk. Kini Ira mulai mengerti mengapa kertas tersebut bisa di laci mejanya. Tapi, ia tak memiliki bukti apa pun untuk menyalahkan Lara.
"Ra, aku ke toilet dulu, ya." pamit Irfan.
Ira mengangguk. Irfan segera berlari menuju toilet yang agak jauh dari kantin. Sementara Ira kembali pada lamunannya.
******
Saat keluar dari toilet pria, Irfan mendengar suara tertawa dari samping toilet wanita.
"Lara?!" batin Irfan.
"Haha... Terjebak juga tuh Ira. Bu Osa juga percaya lagi. Gampang banget mereka ditipu," ucap Lara.
"Iya, tuh. Gampang ketipu," timpal Algi.
"Padahal kita hanya menyimpan kertas di laci meja, kukira takkan berhasil, ternyata sukses... BESAR!" ucap Tari dengan nada yang cukup tinggi.
"Ssssstttt!" Lara dan Algi menutup mulut Tari dengan tangannya.
"Gak usah teriak kali. Kalau terdengar orang lain gimana?"
"Oh, iya. Maaf! Maaf!"
Irfan mendengar percakapan tersebut dengan amat jelas. Rupanya semua dugaannya benar. Lara menjebak Ira saat ulangan pagi tadi. Ia berpikir untuk memberitahukan Ira mengenai hal ini.
BRUK!
Tempat sampah di samping toilet pria terjatuh. Rupanya Irfan menyenggol tempat sampah tersebut saat terburu-buru untuk beranjak dari sana.
"Siapa itu?" teriak Lara. Ia bergegas mendekat sumber suara dan menemukan Irfan di sana.
"Eh, Lara!" seru Irfan.
"Oohh... Jadi dari tadi kamu nguping pembicaraan kita?"
"Nggak, kok, nggak." Irfan mengelak.
Lara menari kerah baju Irfan.
"He, Irfan. Kalau kamu berani macam-macam, saudaramu yang akan terkena akibatnya. Ngerti kamu?!"
"Ok, ok! Aku ngerti. Tapi tolong jangan libatkan Irfani," pinta Irfan.
Lara melepaskan kerah baju Irfan.
"Boleh saja. Tapi, ada syaratnya. Kamu harus ikuti semua yang aku perintahkan...,"
-- to be continued --

2.5.16

The Beautiful of Friendship - chapter 6

Esoknya, Ira melihat Irfan berjalan sendirian saat memasuki kelas. Padahal biasanya ia selalu berangkat bersama-sama dengan Irfani.
"Jadi, Irfani masih sakit." batin Ira. Ia menundukkan wajahnya memikirkan kejadian kemarin, saat ia berkunjung ke rumah Irfani.
"Ira!"
"Ah! I, iya Fan!" Ira terkejut. Panggilan Irfan membuat ia terbangun dari lamunannya. Irfan memperhatikan Ira sejenak.
"Kemarin kamu nggak menemui Irfani, ya? Kenapa?" tanya Irfan.
Ira tak langsung menjawab. Sebenarnya ia ingin memberitahu Irfan tentang perkataan Lara kemarin. Tapi, ia takut hal tersebut justru menambah masalah.
"Jawab pertanyaanku, Ra!" Irfan memaksa.
"Nggak kenapa-kenapa, kok. Aku cuma nggak mau Irfani tambah emosi gara-gara aku datang," jawab Ira sekenanya.
"Kamu nggak bohong, kan?"
"Nggak, kok."
Irfan masih memperhatikan Ira yang memalingkan matanya. Ia merasa Ira menyembunyikan sesuatu.
"Baguslah kalau gitu. Tapi kalau ada apa-apa, cerita aja." Irfan menghentikan interogasinya.
"Iya. Thanks ya."
Beberapa menit kemudian bel masuk berbunyi. Bu Osa segera memasuki kelas diiringi anak-anak yang berlarian menuju bangkunya. Beliau mengumumkan bahwa hari ini akan diadakan ulangan matematika. Bu Osa membagikan soal ulangan dan segera memulai setelah seluruh anak kelas siap.
Ira mengerjakan soal-soal ulangan dengan serius. Ia sudah mempelajari materi ulangan hari ini sejak dua hari yang lalu. Sehingga Ira tak terlalu sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
"Ups! Ada yang salah," batinya saat salah menulis persamaan matematika. Ia meraba-raba laci meja untuk mengambil penghapusnya. Namun, tanganya meyentuh sesuatu seperti kertas yang dilipat-lipat. Karena penasaran, ia mengeluarkan lipatan kertas dari laci.
"Apa ini?" gumamnya. Tanpa curiga, Ir membuka lipatan kertas tersebut. Di dalamnya tertulis jawaban-jawaban ulangan matematika. Mata Ira terbelalak. Ia tak pernah membuat kertas contekan seperti ini.
"Ada apa, Ira?" tegur Bu Osa saat melihat Ira berhenti mengerjakan ulangan.
Ira berusaha menyembunyikan kertas tersebut.
"Nggak ada apa-apa, Bu."
"Kertas apa itu? Bisa Ibu lihat?" Bu Osa berjalan mendekat dan meminta Ira memberikan kertas yang dipegangnya. Ira memberikan kertas tersebut pada Bu Osa. Beliau geleng-geleng kepala saat melihat isi kertas.
"Kertasnya Ibu ambil. Setelah selesai ulangan, kamu ikut Ibu ke kantor!" ujar Bu Osa.
"Tapi Bu, itu bukan milik saya...," Ira melakukan pembelaan.
"Kita bicarakan hal ini di kantor ya, Ira. Yang lain lanjut kerjakan ulangan!" Bu Osa kembali ke mejanya.
Suasana kelas kembali tenang. Sangat berbeda dengan isi hati Ira. Konsentrasinya terpecah, tidak lagi menjawab soal-soal di hadapannya. Ia benar-benar tak percaya ada seseorang yang mencoba memfitnah dirinya. Rasanya Ira ingin sekali menangis. Apa kesalahannya hingga ada yang tega melakukan hal tersebut? Matanya mulai basah. Tapi, ia tahan agar tak ketahuan teman-temannya. Sampai akhirnya, Bu Osa memberi tanda bahwa waktu ujian berakhir. Teman-teman mulai mengumpulkan lembar jawaban dari ulangan tersebut, begitu pun Ira.
"Ayo, Ira!" Bu Osa mengajak Ira saat hendak menuju ruang guru.
Ira berjalan gontai mendekati beliau. Seluruh teman sekelas menatapnya dengan tatapan sinis, ada juga yang kasihan, tapi semua itu tak ada artinya bagi Ira. Tak satu pun yang mau membantunya, kan?
********
"Ibu benar-benar tak menyangka. Siswa dengan nilai terbaik di kelas, ternyata menyontek." Ucap Bu Osa.
"Tapi, Bu. Kertas itu bukan milik saya," jawab Ira.
"Kalau bukan milikmu, terus milik siapa? Kertas ini ada di laci mejamu, kan?"
"Iya, Bu. Tapi, saya benar-benar nggak menyontek."
"Sudahlah. Hari ini, kamu, Ibu maafkan. Tapi lain kali kalau ketahuan kamu menyontek lagi, Ibu akan beri hukuman. Sekarang, kembali ke kelasmu!"
Ira tak menjawab apa pun. Ia hanya mengangguk dan segera berjalan keluar dari ruang guru dengan menunduk. Ia merasa tak melakukan kesalahan apa pun, hanya karena selembar kertas dan semuanya menjadi kacau. Ia hanya ingin kembali ke bangkunya.
"Whuuuu!" sorakan teman-temannya saat Ira memasuki kelas.
"Wah! Ternyata nilai bagusnya gara-gara nyontek, ya?" ucap Tari mengolok-olok Ira.
"Iya tuh. Dasar tukang nyontek." Timpal Nino.
"Kita panggil dia 'Si Penyontek' aja yuk, teman-teman! Hahaha!" tambah Algi.
"Ha.. Ha.. Ha.. Ayoo...!" seluruh kelas kembali menertawakan Ira. Tapi, Ira tak membalas sama sekali. Ia hanya dapat mendengarkan dan menunduk sedih di bangkunya.

*** to be continued ***

1.5.16

The Beautiful of Friendship - chapter 5

Ira tergesa-gesa melepas sepatunya saat hendak memasuki rumah. Ia hanya mengucap salam pada ibunya saat berpapasan di ruang tamu. Tanpa menengok sedikit pun, Ira berlari memasuki kamarnya. Ia melemparkan ransel sekolahnya dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Air matanya menitik.
"Hari ini kacau banget, sih." keluhnya. Ia menarik nafas panjang, berusaha menenangkan emosi. Tapi, ia teringat sesuatu. Ia bangun dari baringannya dan mengambil buku tulis dari ransel. Itu bukunya Irfani.
"Aku lupa lagi kembalikan buku Irfani. Sepertinya memang aku harus menemuinya langsung," gumamnya.
Esoknya saat di sekolah, Ira tidak melihat Irfani datang ke sekolah bersama Irfan.
"Irfani kemana, Fan?" tanyanya.
"Sakit?"
"Iya. Semalam dia demam."
"Gara-gara aku, ya?" gumam Ira hampir tak terdengar oleh Irfan.
"Kenapa, Ra?"
"Ah, nggak kom. Nggak kenapa-kenapa. Thanks, ya." Ira kembali ke kursinya. Ia berpikir untuk menjenguk Irfani pulang sekolah nanti.
Setelah berganti pakaian dan membeli beberapa buah-buahan sebagai buah tangan, Ira berangkat menuju rumah Irfani. Tak lupa juga buku Irfani yang ia pinjam.
Sesampainya Ira di rumah Irfani, ia menekan bel di samping pintu. Beberapa detik menunggu, Ira menekannya kembali. Tiba-tiba pintu terbuka.
"Ira?" itu Irfan.
"Irfani ada kan, Fan? Aku mau ngembaliin bukunya," Ira menunjukkan buku Irfani.
"Ada. Yuk, masuk!"
Irfan membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Ira masuk ke dalam.
"Kalau aku tau Ira juga mau mampir, bareng aja tadi pas pulang sekolah," ujar Irfan seraya menutup pintu.
"Emang ada yang ke sini?"
"Iya. Lara. Sekarang dia di kamar Irfani. Ira langsung ke kamarnya aja!"
"Oke Fan. Makasih, yak."
Ira berjalan menuju kamar Irfani yang letaknya di lantai dua rumah tersebut. Rupanya pintu kamar Irfani sedikit terbuka. Ia bisa melihat Lara dan Irfani sedang mengobrol di dalam. Sesaat sebelum Ira mengetuk pintu, terdengar suara Lara mengatakan sesuatu tentang dirinya.
"Ni, kamu tau nggak? Ira tuh ya sebenarnya jahat lho," ucap Lara.
"Jahat? Maksudnya?" tanya Irfani.
"Kemarin tuh aku lihat dengan mataku sendiri, Ira sengaja menumpahkan minumannya ke kamu."
"Tapi kata Irfan, Ira bilang ada yang mendorong badannya."
"Itu sih alasan Ira aja. Kamu kan gak tahu kalau dia sengaja menumpahkan atau nggak. Ya, kan?"
"Iya juga, sih. Tapi, kenapa coba?"
"Pasti dia iri tuh sama kamu. Nilai ulangan harian matematika kamu kan lebih besar dari dia."
"Gara-gara nilai doang?"
"Ya, kan bisa aja di depan kamu dia baik. Tapi, kan kamu gak tau di belakangnya gimana."
"Terus aku mesti gimana?"
"Menurutku, kamu jangan terlalu dekat sama dia. Orang kayak gitu nggak usah ditemani!"
"Iya juga, ya. Thanks ya, Ra. Kamu memang temanku yang paling baik, deh."
Ira benar-benar tak percaya akan hal yang baru di dengarnya. Apa maksud Lara menjelek-jelekkan dirinya sampai seperti itu? Mata Ira mulai berkaca. Ia menutup mulut agar suara isaknya tak terdengar. Ia kembali menuruni tangga dan berlari menuju kamar Irfan.
"Fan! Irfan!" Ira mengetu pintu kamar Irfan pelan.
Irfan membuka pintu kamarnya.
"Ini. Aku titip untuk Irfani, ya." Ira memberikan buku dan buah-buahan yang di bawanya.
"Lho, kok? Nggak langsung ke Irfani aja?" Irfan menerima buah dan buku tersebut. Ia memperhatikan Ira yang tak segera menjawab pertanyaannya.
"Kamu kenapa, Ra?" tanya Irfan saat mengetahui Ira tengah menangis.
"Aku nggak apa-apa. Aku pamit, ya. Thanks, Fan." Ira segera berlari meninggalkan rumah Irfani.
Meskipun Irfan merasa ada yang aneh, tapi ia tidak mengejarnya. Akhirnya Irfan memutuskan untuk bertanya langsung pada Irfani.
"Ni!" Irfan membuka pintu kamar Irfani.
"Ih! Irfan! Ketuk dulu kalau mau masuk!" balas Irfani sedikit gusar. Tapi tak diindahkan oleh Irfan.
"Ira kenapa?" tanyanya langsung.
"Ira? Memang Ira ke sini?" tanya Irfani.
"Kamu gak tahu?"
Irfani menggeleng. Irfan mulai mengerti alasan Ira menangis.
"Nih, dari Ira. Aku minta satu, ya!" Irfan memberikan buah-buahan dan buku yang Ira titipkan padanya.
"Ini semua punyaku tahu...," Irfani menarik buah yang Irfan ambil.
Saat itu Irfan menyadari kalau Lara tak sedikitpun memberikan komentar tentang Ira yang berkunjung. Ia merasa bahwa Lara mengetahui sesuatu.