Cute Brown Spinning Flower

7.7.16

The Beautiful of Friendship - Chapter 29

Senin pagi saat Ira hendak memakai sepatu untuk berangkat sekolah, terlihat kesibukan di rumah tetangganya yang telah lama kosong. Truk pengangkut barang terparkir di halaman dan beberapa orang mengangkut barang-barang ke dalamnya. Sepertinya ada keluarga yang pindah ke sana. Ira menjadi teringat pertanyaan Fami, saat ia pertama kali mengikuti Ira ke rumah.
“Itu rumah kosong, Ra?” tanya Fami.
“Iya. Kamu tinggal di sana aja, Fam!” jawab Ira.
“Lho, kenapa?”
“Kan bisa ketemu teman-temanmu... Hihihihi....” Ira memeragakan gaya hantu yang sedang menakut-nakuti.
“Aku bukan hantu tau...,” jawab Fami seraya menjulurkan lidah.
PAK!
Ira memukul pipinya. Ia berusaha mengendalikan diri, kalau tidak ia akan kembali menangis saat mengingat Fami. Ira menarik nafas dalam dan menghembuskannya kembali. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengikhlaskan kepergian Fami.
“Bu, aku pamit ya!” serunya saat hendak berangkat sekolah.
******
Saat Ira memasuki kelas, rupanya Irfani, Irfan dan Lara sudah datang terlebih dahulu. Mereka sedang bersenda gurau membicarakan sesuatu.
“Pagi semuanya,” sapa Ira seraya tersenyum riang. Ia menyimpan ransel di bangkunya.
“Lho, kok, nggak pada jawab?” tanyanya kemudian saat ia tak mendengar jawaban dari ketiga temannya itu. Mereka justru diam membeku memperhatikan Ira yang terbengong kebingungan. Sampai akhirnya Irfani melompat merangkul Ira.
“Ira...! Akhirnya kamu ketawa lagi,” ujar Irfani, melompat kegirangan saat memeluk Ira. Ia begitu senang mengetahui temannya kembali tersenyum.
“Haha, iya. Maaf, ya udah membuat kalian khawatir,” jawab Ira.
“Syukurlah. Aku pikir kau akan terus cemberut selamanya,” ujar Lara. Ira hanya tertawa saja menjawabnya.
“Udah nggak apa-apa, sekarang?” tanya Irfan. Ira tersenyum dan mengangguk.
****
Pada jam istirahat pertama, Ira bermaksud untuk berkunjung ke kelas Ana. Ia ingin mengucapkan terimakasih. Jika saja Ana tak mengunjunginya waktu itu, mungkin ia masih bersedih hingga saat ini. Meski pun Ira tak bisa memberikan apa-apa sebagai balasan, setidaknya Ana tahu bahwa ia kini dapat menerima keadaannya. Ketika, Ira sedang berjalan menuju kelas Ana, ia melihat Irfan di hadapannya.
“Irfan!” panggil Ira. Ia berlari kecil mendekati Irfan.
Irfan memutar tubuhnya, menghadap Ira.
“Eh, Ira. Ada apa?”
“Kamu mau ketemu, Ana kan? Barenglah. Aku juga mau ke sana,” jawab Ira saat telah di hadapan Irfan.
“Boleh. Ayo!” Irfan memutar tubuhnya kembali dan mulai berjalan. Ia memperhatikan Ira sepanjang perjalanan. Ira terlihat lebih ceria dari minggu sebelumnya.
“Ira kayaknya senang banget hari ini?” tanyanya kemudian.
“Oh, ya?” Ira menjawab dengan cengar-cengir.
Irfan kembali memperhatikan jalannya. Mereka hampir tiba di kelas Ana. Dari kejauhan Irfan dapat melihat Ana sedang bersenda gurau di depan kelas bersama seorang teman lelakinya. Irfan tak dapat melihat wajah lelaki tersebut karena posisinya yang membelakangi mereka. Ana terlihat begitu akrab dengannya.
“Lho, Irfan. Kok, kamu berhenti?” tanya Ira saat ia menyadari Irfan tertinggal olehnya.
Rupanya Ana menyadari kedatangan Ira dan Irfan saat itu.
“Irfan! Ira! Cepat kemari!” teriak Ana seraya melambaikan tangan.
Tiba-tiba Irfan berjalan cepat dan meninggalkan Ira. Ia menyelipkan diri diantara Ana dan teman lelakinya. Ira yang tadinya bengong atas apa yang dilakukan Irfan, kini mulai mengerti.
“Hoo, cemburu toh,” gumam Ira sambil cekikikan. Ia berjalan mendek saat Ana hendak memperkenalkan temannya tersebut.
“Kenalin! Ini....”
“Irfan. Pacarnya Ana,” potong Irfan. Ia menjulurkan tangannya kepada laki-laki itu. Ira kembali cekikikan melihat tingkah laku Irfan. Laki-laki itu membalas jabatan tangan Irfan.
“Aku sepupunya Ana, namaku Fami.” Ujarnya.
“Oh, sepupu toh.” Irfan menggaruk-garuk kepalanya. Wajah Irfan memerah malu.
“Fami?!” seru Ira.
Merasa namanya dipanggil, Fami menoleh ke arah Ira.
Ira terkejut. Fami yang kini di hadapannya mirip dengan Fami yang bertemu dengannya di gudang sekolah dulu. Tapi, bagaimana ini bisa terjadi? Apakah mereka Fami yang sama. Tapi, tidak mungkin.
“Hai, Ira! Bagaimana kabarmu? Ini aku, Fami.” ucap Fami.
“Bagaimana bisa?” gumam Ira. Ia memperhatikan Fami dengan tatapan tak percaya.
“Hei, Ira! Apa kau pernah bertemu dengan Fami sebelumnya? Anak ini terus-menerus menanyakanmu sejak ia bangun seminggu yang lalu,” jelas Ana. Ia menarik-narik kerah kemeja Fami agar tubuh Fami yang tinggi membungkuk dan sejajar dengannya.
“Bangun? Maksudnya gimana?” tanya Irfan.
“Fami mengalami kecelakaan tepat saat pergantian semester tahun ini dan menyebabkannya koma selama tiga bulan lebih, dan baru sadar minggu lalu. Saat aku menemuinya, ia langsung menanyakan keeadaanmu, Ra. Apa kalian pernah bertemu?” jelas Ana.
“Sudah kubilang bukan begitu. Aku bermimpi bertemu Ira di gudang sekolah ini. Aku juga mengikuti Ira fieldtrip dan melaporkan kasus perampokan pada polisi dua minggu lalu,” jelas Fami.
“Benarkah?” tanya Irfan lagi.
“Sudah kubilang, kan, nggak mungkin kamu bermimpi seperti itu. Fieldtrip dan perampokan itu kita benar-benar mengalaminya, dan Ira yang melapor pada polisi,” tambah Ana lagi.
“Sebenarnya...,” Ira angkat bicara.
“Sebenarnya, bukan aku yang melaporkan perampokan itu pada polisi. Tapi Fami yang melakukannya. Karena saat itu, hanya aku saja yang dapat melihat dan mendengar Fami, makanya Fami memintaku untuk bilang kalau aku yang melapor.” Ira menjelaskan.
“Iya. Tepat seperti yang Ira katakan,” dukung Fami.
“Jadi, kau Fami yang itu?” tanya Ira kemudian. Matanya mulai berkaca-kaca.
Fami tersenyum. Ia pun mengangguk.
Ira berlari mendekati Fami dan memeluknya. Air matanya menitik perlahan. Ia bersyukur dipertemukan lagi oleh Fami yang selama ini dirindukannya. Bahkan ia dapat menyentuhnya. Fami benar-benar nyata sekarang.
“Jadi, mulai besok kita bisa pulang bareng. Yee!” seru Fami tiba-tiba.
“Pulang bareng? Ah! Jadi yang tadi pagi pindahan ke rumah sebelah itu keluargamu?” tanya Ira. Fami mengangguk sambil senyum-senyum. Mereka kembali berpelukan.
-tamat-

The Beautiful of Friendship - Chapter 28

Rencana perampok-perampok tersebut berhasil digagalkan. Pak Mazie meminta rekannya untuk membawa mereka menuju kantor polisi. Lara dan keluarganya dapat merasa aman sekarang.
“Terimakasih, Pak! Kami sekeluarga benar-benar mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya,” ujar Pak Dama pada Pak Mazie.
“Berterimakasihlah pada Tuhan dan seseorang yang melapor pada kami bahwa telah terjadi perampokan di rumah ini. Tanpanya, tentu kita tak mungkin datang tepat waktu,” balas Pak Mazie.
“Siapa, Pak yang melapor?” tanya Bu Dama.
“Kalau tidak salah, seorang anak perempuan bernama Ira, menelepon kami dan melaporkan perampokan ini,” jawab Pak Mazie.
“Aku?” tanya Ira. Lara segera menghampiri Ira dan memeluknya.
“Terimakasih Ira. Terimakasih semuanya,” ucap Lara. Ia melepaskan pelukannya.
Ira bingung. Ia sama sekali tak menelepon polisi. Tapi, bagaimana Pak Mazie bisa berkata kalau ia yang memanggil polisi?
“Iya, iya. Tapi aku nggak...,” Ira mencoba mengonfirmasi, kata-katanya terpotong saat Fami muncul di hadapannya.
“Aku yang menelepon, Ra. Aku menggunakan nama dan suaramu,” ujar Fami.
“Nggak kenapa, Ra?” tanya Lara.
“Nggak kenapa-kenapa, kok. Iya, sama-sama ya Lara,” jawab Ira sambil cengar-cengir. Tentunya nggak akan ada yang mempercayai jika ia katakan ada roh yang menyamar menjadi dirinya untuk menelepon polisi, kan?
“Baiklah, Pak! Kami permisi dulu,” pamit Pak Mazie.
“Sekali lagi, terimakasih banyak, Pak.” Balas Pak Dama. Beliau berjabat tangan dengan Pak Mazie sebelum memasuki mobil patrolinya.
*****
Lima hari kemudian.
“Ira! Ayo, berangkat bareng aku!” Lara memanggil Ira dari dalam mobilnya saat ia melihat Ira sedang berjalan menuju sekolah. Ia meminta supir untuk menepikan mobilnya.
“Nggak usah, La. Aku jalan saja,” tolak Ira.
“Udah, nggak apa-apa. Ayo!” Lara turun dari mobil dan menarik Ira masuk ke dalam mobil. Akhirnya Ira menurut dan mengikuti Lara.
Selama di dalam mobil, Ira hanya diam. Ia tak terlalu merespon Lara yang mengajaknya mengobrol.
“Kamu kenapa, Ra? Kok, murung? Lagi ada masalah, ya?” tanya Lara kemudian.
“Nggak apa-apa, kok La. Thanks ya udah nebengin,” jawab Ira. Ia menarik bibirnya dengan paksa agar terlihat tersenyum. Lara jadi bingung mesti bagaimana.
Tak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang sekolah. Lara dan Ira turun dari mobil dan bersama-sama berjalan menuju kelas. Rupanya Irfan dan Irfani sudah berada dalam kelas.
“Pagi, Ira dan Lara.” Sapa Irfan. Ira hanya menjawab dengan senyum saat melewati Irfan.
“Pagi juga Irfan,” jawab Lara.
“Ira! Lara! Irfan jadian sama Ana, lho,” ujar Irfani tiba-tiba.
“Ssstt! Irfani, jangan ribut-ribut!” irfan menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
“Wah, beneran? Traktiran, ya traktiran,” ucap Lara.
“Selamat ya, Irfan,” ucap Ira. Ia mengatakannya dengan nada yang lemah dan sangat tak bersemangat. Irfan, Irfani, dan Lara yang tadinya bercanda jadi ikut terdiam. Ira tak seperti biasanya, itulah yang mereka simpulkan.
Saat jam istirahat, Irfan menceritakan keadaan Ira pada Ana.
“Ira sama sekali nggak cerita?” tanya Ana. Irfan menggelengkan kepalanya.
“Dari kapan Ira seperti itu?” tanya Ana lagi.
“Dua atau tiga hari belakangan ini lah,” jawab Irfan. Ia menyeruput es jeruk yang dibelinya.
“Hm, kenapa ya?”
“Coba kamu ke rumahnya, besok sabtu atau minggu! Siapa tahu kalau sama kamu, Ira mau cerita.”
“Oke, deh.”
Esoknya, Ira masih memasang wajah murung. Sepulang sekolah, ia langsung masuk ke kamarnya dan tidak keluar sampai sore hari. Ibunya mulai merasa khawatir.
“Ira!  Makan siang dulu, sayang!” panggil Bu Nazar. Ia mengetuk pintu kamar Ira.
“Nanti saja, Bu.” Jawab Ira dari dalam kamarnya. Ia kembali menutup wajah dengan bantal, mencoba menahan air matanya. Banyak yang ia pikirkan empat hari belakangan ini. Tapi tak kunjung juga menemui jalan keluar. Ditambah ia tak dapat melakukan apa pun untuk memecahkan masalahnya itu. Hal tersebut menambah kesedihannya.
“Ira!”
Seseorang memanggil. Ira menyingkirkan bantalnya dan melihat arah datangnya suara.
“Ana? Kok, kamu bisa masuk?” tanya Ira. Ia mengusap-usap wajah agar tak terlihat seperti setelah menangis.
“Pintunya nggak terkunci, kok.” Jawab Ana.
Ira menatap pintu kamarnya. Rupanya ia lupa untuk mengunci pintu tersebut. Tapi, tetap saja, bagaimana Ana bisa masuk ke kamarnya tanpa menimbulkan suara sedikit pun?
“Ada perlu apa kemari?” tanya Ira sedikit terganggu.
“Aku tahu, mungkin kamu sedang ingin sendirian sekarang. Tapi, kalau sampai nggak makan, nanti tubuhmu bisa sakit, lho.” Ana mendekati Ira dan duduk di tepi ranjangnya. Ia menyimpan kotak makan yang Bu Nazar siapkan untuk makan siang Ira di meja dekat ranjang.
“Aku nggak lapar,” jawab Ira lirih. Ia kembali menundukkan kepala. Ana memperhatikan mimik wajah Ira yang kacau. Seperti merasa kehilangan.
“Kamu nggak cemburu, kan aku jadian sama Irfan?” tanya Ana tiba-tiba. Ira tertegun.
“Eh? Nggak kok, nggak. Bukan karena itu. Aku ikut senang atas jadiannya kalian,” jawab Ira. Ia memaksakan diri untuk tersenyum,
“Hehe, becanda kok, becanda.” Ujar Ana sambil cengar-cengir.
“Tapi, ya Ra. Menurutku, nggak usah berlarut-larut sedih hanya karena ditinggal seseorang kan?”
“Kok, kamu tahu?”
“Jadi, tebakanku benar, ya? Siapa, Ra? Mau cerita kepadaku?” tanya Ana.
Ira tak langsung menjawab. Ia berjalan mendekati meja belajarnya dan mengambil selembar kertas yang terlipat. Ia memberikan lembaran itu kepada Ana.
“Surat?” Ana membuka lembaran tersebut dan membaca isinya hingga selesai. Surat berisi ucapan selamat tinggal dari seseorang yang ditujukan pada Ira. Jadi, inikah yang belakangan ini Ira pikirkan? Pengirimnya...,
“Fami?”
“Aku bertemu dengannya saat terkurung di gudang sekolah. Ia selalu membantuku, bahkan saat aku dijauhi oleh teman-temanku sampai kasus di rumah Lara kemarin. Fami masih ada. Sampai lima hari yang lalu, aku temukan surat ini dan Fami nggak pernah muncul lagi.” Ira menangis.
Ana mendekati dan memeluknya. Ia sebenarnya tidak begitu mengerti yang dibicarakan oleh Ira. Jika Fami ini selalu bersama Ira, bahkan saat kasus perampokan di rumah Lara tempo hari, seharusnya Ana bertemu dengannya. Tapi, yang Ana tahu, hanya ia, Ira, Irfan dan Irfani yang berada di sana. Namun, jika Fami ini hanya khayalan Ira, kenapa perasaan Ira terasa begitu nyata?
“Sabar, ya Ra. Semua yang hilang pasti ada penggantinya,” hibur Ana.
-to be continued-

The Beautiful of Friendship - Chapter 26

Boss perampok dan Dedet membawa Pak Dama, Lara, dan Irfan ke sebuah ruangan dekat dapur yang digunakan sebagai gudang. Di dalam sana ada dua orang perampok bertubuh kurus, yang satu tinggi dan yang lain lebih pendek, Bu Dama –Ibu Lara-, Irfani, dan Ana.
“Irfani? Ana? Mereka tertangkap,” batin Irfan. Ia didudukkan di samping Ana. Tangan dan kakinya diikat oleh perampok bertubuh kurus tinggi. Sedangkan Dedet mengikat Lara.
Irfan memberikan isyarat pada Ana, ia ingin mengetahui apakah mereka berhasil menghubungi polisi. Ana menggelengkan kepalanya. Rupanya ia dan Irfani tertangkap lebih dulu sebelum melapor pada polisi. Sedangkan, Ana mencoba menanyakan keberadaan Ira pada Irfan dengan menggunakan bahasa bibirnya. Irfan pun menjawabnya dengan menggeleng. Artinya, Ira masih berada di lokasi yang aman sekarang dan perampok-perampok ini belum mengetahui keberadaannya.
“Hoi! Ngobrolin apa bocah?” Boss perampok mengetahui bisik-bisik yang Ana dan Irfan lakukan. Ia menodongkan pistolnya pada kepala Irfan.
“Dedet! Kau bilang ada lima anak?”
“Iya, Boss. Sepertinya anak yang terakhir masih bersembunyi di sekitar rumah ini,” jawab Dedet.
“Kalau begitu, cari! Jangan diam saja!” bentak Boss perampok.
“B, baik, Boss.” Dedet keluar ruangan untuk mencari Ira.
“Gawat, nih. Kalau dibiarin, Ira juga bisa tertangkap. Aku harus melakukan sesuatu,” batin Ana. Ia mendapatkan ide.
“Boss-nya , Boss-nya!” panggil Ana.
“Apa, Bocah? Beraninya memanggilku seperti itu,” Boss perampok menodongkan pistolnya pada kepala Ana.
“Aku ingin buang air, nih.” Jawab Ana.
“Tidak!” Boss perampok menolak.
“Udah gak tahan. Kalau gak boleh, nanti aku buang air di sini.” ujar Ana lagi. Ia menggoyang-goyangkan kakinya dan memasang mimik ‘kebelet’-nya.
“Okei, okei! Pedet, antar dia ke kamar mandi!” Boss perampok memerintahkan anak buahnya yang bertubuh kurus pendek.
“Siap, Bos.” Jawab Pedet. Ia memaksa Ana berdiri dan mendorongnya keluar dari ruangan. Ia mengatar Ana sampai pintu kamar mandi.
“Cepat!” perintah Pedet. Ia mendorong Ana memasuki kamar mandi dan menutup pintunya.
Rupanya alasan buang air hanya akal-akalan Ana untuk bisa keluar mencari Ira. Ia mencari-cari barang yang dikira cukup keras agar bisa ia gunakan untuk melawan Pedet dan ia melihat pel lantai yang menggantung di dinding kamar mandi.
“Mungkin ini bisa,” gumamnya.
BUGH!
Suara gaduh terdengar dari luar kamar mandi. Tak lama, ada seseorang yang mencoba membuka pintu kamar mandi tersebut. Orang itu mengutak atik gagang pintu. Ana kembali waspada. Ia mengambil alat pel dan bersiaga untuk memukul orang yang mencurigakan tersebut. Saat pintu terbuka....
“Ira?!” serunya. Rupanya Ira berhasil lolos dari Dedet dan juga berhasil melumpuhkan Pedet. Ana melihat Pedet telah tak sadarkan diri di belakang Ira.
“Ana. Kamu nggak apa-apa?” tanya  Ira. Ana menganggukkan kepalanya. Ira kemudian membuka ikatan pada tangan Ana.
“Dimana yang lain?”
“Mereka di kurung di gudang. Di sana ada kedua orang tua Lara juga, dan maaf Ira.”
“Kenapa?” Ira bingung, kenapa Ana meminta maaf.
“Aku dan Irfani nggak berhasil menghubungi polisi,” jawab Ana.
“Tenang! Tenang! Kita piirkan lagi cara lain,” hibur Ira. Ia memperhatikan tubuh Pedet yang tertelungkup.

The Beautiful of Friendship - Chapter 27

“Kurang ajar! Kemana pedet dan anak itu?” umpat Boss perampok. Ia memperhatikan arloji di pergelangan tangannya. Sudah sepuluh menit berlalu sejak Pedet mengantar Ana ke kamar mandi. Tak lama Ana muncul di depan pintu bersama Pedet. Namun, Pedet kini menutup kepalanya dengan sebuah topeng kain.
“Oh, sudah ke kamar mandinya bocah?” pertanyaan Boss perampok tak dijawab oleh Ana. Pedet mendudukan Ana di posisi awalnya.
Tiba-tiba terdengar suara deringan telepon rumah Lara. Boss perampok mendekati pintu gudang untuk mengamati keadaan sekitar. Kemudian ia melihat telepon rumah di meja dekat meja makan.
“Pedet! Joki! Awasi mereka!” perintahnya. Boss perampok keluar dari dalam gudang dan berjalan menuju telepon tersebut.
Pedet mundur beberapa langkah sehingga kini ia berada di belakang perampok yang bertubuh tinggi bernama Joki itu. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam pakaiannya. Sebuah gerusan coet yang terbuat dari batu. Pedet mendekati Joki dan memukulkan batu tersebut pada bahu Joki sebanyak tiga kali. Joki pun jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri.
“Kenapa kamu memukul temanmu sendiri?” tanya Pak Dama yang tak habis pikir.
Pedet  kemudian membuka topeng kainnya. Rupanya itu bukan Pedet, tapi Ira. Ia menyamar sebagai Pedet karena tubuh mereka yang hampir sama. Sehingga Boss peraampok pasti tak dapat membedakan jika wajah Ira ditutup.
“Ira...,” ucap teman-temannya hampir bersamaan. Ira memberikan tanda untuk tetap tenang.
Ia secepat mungkin melepaskan ikatan dari Pak Dama, Bu Dama, Lara, Irfani, Ana dan Irfan. Kemudian mereka mengikat Joki. Irfan mengintip ke arah telepon untuk mengamati Boss perampok.
“Boss perampok itu masih sibuk dengan telepon,” ucap Irfan.
“Kita bisa pergi lewat pintu belakang. Aku dan Ana sudah membuka kuncinya sehingga kita mudah keluar,” ujar Ira. Lara dan keluarganya tampak lega.
Mereka keluar satu persatu dari gudang tersebut. Diawali oleh Pak Dama, Bu Dama, Lara, kemudian Irfani. Sedangkan Irfan masih mengamati Boss perampok.
“Ana! Ayo! Giliranmu,” Irfan menggerakkan tangannya, mengisyaratkan Ana untuk segera keluar dari gudang.
“HEI! Berhenti kalian, bocah!” rupanya Boss perampok menyadari bahwa sanderanya telah bebas. Ia mengangkat pistolnya dan mengarahkan pada Ana yang saat itu baru saja keluar dari gudang.
“Ana, awas!”
DOR!
Tembakannya meleset. Irfan berhasil mendorong Ana sehingga terhindar dari bidikan. Boss perampok berlari mendekati gudang. Irfan membantu Ana bangun dan menariknya menuju pintu dapur.
“Irfan tunggu! Ira masih di dalam,” ujar Ana. Ia melepaskan pegangan Irfan dan kembali masuk ke dalam rumah. Irfan menyusulnya. Saat mereka tiba di pintu gudang...
Boss perampok berhasil menangkap Ira dan menjadikannya sandera.
“Ira!” seru Ana dan Irfan.
“Jangan mendekat! Atau kutembak kepala bocah ini,” ancam Boss Perampok. Ia menodongkan pistol pada kepala Ira. Sedangkan tangannya menahan tubuh Ira agar tak berontak.
Ira sangat ketakutan. Ia tak pernah berada di situasi seperti ini sebelumnya. Ana dan Irfan kesulitan menolong karena mereka dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Boss perampok itu dapat menarik pelatuk pistolnya kapan saja.
“Bagaimana ini? Apa aku akan mati? Aku belum minta maaf pada Ayah dan Bunda,” batin Ira. Ia memejamkan mata, semakin merasa ketakutan.
“Apa-apaan ini?” Boss perampok menggerutu kesakitan. Tangan yang ia gunakan untuk memegang pistol bergerak sendiri ke arahnya. Ira yang penasaran membuka mata dan melihat Fami menggerakkan tangan Boss tersebut.
“Fami?”
“Ira! Cepat pergi sekarang!” ujar Fami.
Ira mengigit lengan Boss perampok yang menahan tubuhnya. Boss perampok terkejut dan berteriak kesakitan. Ia mengangkat tangannya sehingga Ira bisa kabur. Ira berlari mendekati Ana dan Irfan.
“Ira! Cepat lari!” teriak Ana.
Sayangnya, Boss perampok berhasil menguasai tubuhnya kembali. Ia menyadari sanderanya lepas dan tanpa pikir panjang mengarahkan pistolnya pada tubuh Ira.
“Ira! Awas!” Fami berteriak.
DOR! DOR!
Cipratan darah mengotori lantai ruangan gudang. Begitu pun pistol yang terlempar dari tangan Boss perampok.
“Anak-anak! Kalian baik-baik saja?” Pak Mazie, kepala kepolisian Kendangjari berhasil melumpuhkan Boss perampok dengan menembak di tangan dan perutnya. Pak Mazie muncul di saat yang sangat tepat.
-to be continued-