Cute Brown Spinning Flower

13.8.14

CERPEN: RAYA SERAKAH, NIH!

Ini cerpen gue yang entah keberapa. Met membaca aja deh. Gue bingung mau gimana komentar awalnya.. hahaha...

Tinggalin komentar kamu di bawah yaa :)
RAYA SERAKAH, NIH!
By : Ana Fitriana
Bip! Bip! Bip!
Suara handphone Raya untuk yang kesekian kalinya di jam istirahat ini. Ia buka handphone lipat itu dan membaca sms yang baru saja mendarat mulus di layar handphone-nya.
‘Sayang! Malam ini jalan bareng aku, yuk!’ isi pesan itu. Raya hanya tersenyum membacanya. Kemudian ia membalas pesan tersebut.
‘Maaf, Mahesa sayang! Aku ada PR yang  deadline-nya malam ini. Jadi gak bisa keluar rumah.’
“Gimana gue mau jalan sama lo kalo nanti malam gue jalan sama Raka,” gumamnya sendirian.
Bip! Bip! Bip!
Suara handphone Raya untuk kesekian kalinya di perjalan pulang. Pesan itu dari Reza, ia mengajak Raya nonton malam ini. Raya membalas bahwa ia harus membantu ibunya di dapur untuk acara pernikahan tetangganya besok. Selang sepuluh menit, handphone-nya berdering. Tertera nama Budi di layarnya. Ia angkat pangilan itu. Budi mengajaknya makan malam. Tapi Raya beralasan kalau ia akan pergi menemani ayahnya ke rumah saudara di luar kota. Begitu seterusnya Raya berdalih dengan alasan-alasan aneh kepada ketiga pacarnya yang lain ketika mereka mengajak bertemu dengannya.
“Malam ini giliran Raka, besok William, terus lusanya jalan sama Budi deh. Aduh, repot juga ya punya tujuh pacar. Tiap malam digilir. Hahaha,” ujarnya sendirian seraya cekikikan. Ia sedang bersiap-siap untuk menemui Raka yang sudah menunggu di ruang tamu.
Esok paginya, ketika Raya bersekolah, datang siswa baru di kelasnya. Namanya Rey. Parasnya yang tampan membuat Raya tertarik. Ia bermaksud untuk menjadikan Rey pacarnya yang kedelapan.
Hari berikutnya, Raya mulai melakukan pendekatan kepada Rey. Ia tak butuh waktu lama untuk membuat Rey menjadi pacarnya karena ternyata Rey juga tertarik kepada Raya. Sehingga, baru seminggu mereka pendekatan, Raya sudah jadian dengan Rey.
Satu bulan berlalu. Raya kini pacaran dengan delapan pria. Seringkali kedoknya hampir ketahuan. Tapi, bisa dibilang karena kepintarannya berdalih ia selalu selamat. Namun karena ia selalu keluar malam untuk bertemu kedelapan pacarnya secara bergantian, waktu belajarnya menjadi tersita. Hampir seluruh nilai di semua mata pelajaran turun drastis.
“Nilai-nilaimu terus turun. Kenapa, ya? Kamu belajar, kan?” tanya Rey yang melihat-lihat kertas ujian milik Raya.
“Iyalah. Kan aku belajarnya sama kamu. Soal-soalnya aja tuh yang tambah susah,” jawab Raya. Wajahnya ditekuk sedih.
“Jangan sedih, dong! Mukanya jadi jelek tuh, kalau cemberut. Nanti malam kita keluar makan malam, yuk!” ajak Rey kemudian.
Raya langsung mengangkat kepalanya dan tersenyum sumringah.
“Mau, mau,” jawab Raya semangat.
Maka malamnya mereka janjian bertemu di sebuah restaurant. Raya berangkat kesana dengan begitu senang. Sampai-sampai ia membatalkan janji untuk jalan bersama Takano.
“Raya? Raya, kan?” seseorang memanggil Raya ketika ia sedang duduk menunggu Rey di restaurant tempat mereka akan bertemu.
“Welvy? Lo ke sini juga?”
“Iya. Lo sendirian?”
“Enggak. Gue lagi nungguin Rey.”
“Kok, lo mau sih pacaran sama Rey. Dia, kan playboy. Tadi aja gue liat Rey lagi pergi sama pacarnya yang baru.”
Penjelasan Welvy mengejutkan Raya. Karena setahu Raya, Rey hanya memiliki satu pacar. Yaitu dirinya.
“Bohong. Nggak mungkin Rey selingkuh. Lo jangan memprovokasi gue, deh!” Raya bangkit dari duduknya dengan emosi.
“Tenang dulu Raya! Kalau lo gak percaya, gue bisa tunjukin foto-fotonya kok.” Welvy membuka galeri handphone-nya dan menunjukkannya pada Raya. Foto-foto tersebut menunjukkan Rey sedang berjalan bersama seorang cewe sambil berpegangan tangan. Selain itu ada juga pose ketika cewe tersebut mencium pipi Rey dan Rey membukakan pintu mobil untuknya.
Seketika, Raya langsung marah. Ia meminta Welvy untuk mengirim foto-foto bukti itu ke handphone-nya dan langsung keluar dari restaurant.
“Dasar Rey sial! Berani-beraninya dia selingkuh.”
Esok paginya, ketika Rey menjemput Raya untuk berngkat sekolah bersama, Raya berjalan mendekati Rey dengan garang. Ia langsung menunjukkan Rey foto-foto yang ia dapat dari Welvy dan meminta penjelasan pada Rey.
“Tenang, Raya! Tenang! Aku akan jelaskan semuanya. Jadi aku harap kamu tenang dulu, ya!” Rey menahan tangan Raya yang sejak tadi memukul-mukulnya.
Raya menurunkan tangannya dan mencoba untuk tenang.
“Aku sebenarnya ingin memberitahu hal ini dari awal ke kamu. Sebenarnya kamu itu pacarku yang kesebelas.”
“Jadi, selama ini kamu bohongin aku?” Raya mencoba memukul Rey lagi.
“Dengar aku dulu!” Rey menghentikan lagi gerakan tangan Raya.
“Tapi, setelah pacaran sama kamu, kamu begitu baik banget sama aku. Jadi, niatku yang awalnya hanya main-main, kini aku jadi cinta beneran sama kamu Raya. Dan aku berniat untuk memutuskan kesepuluh pacarku lainnya supaya aku bisa terus sama kamu.”
“Beneran?” tanya Raya. Ia mulai lebih tenang dari sebelumnya.
Rey mengangguk.
“Kalau gitu, besok kamu harus putusin mereka semua. Aku nggak mau tahu.”
“Harus besok? Tapi, kan aku juga butuh waktu dan menyiapkan alasan untuk….”
“Kalau kamu nggak bisa, kita putus sekarang. Dan anggap aku gak pernah kenal sama kamu!” ancam Raya. Ia membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan Rey.
“Tunggu, Raya!” Rey menarik lengan Raya.
“Oke. Aku akan turuti permintaan kamu. Tapi, please! Jangan tinggalin aku!”
Raya berbalik, ia tersenyum pada Rey dan menarik lengan yang sejak tadi menggengamnya. Raya mendaratkan satu kecupan di pipi kirinya Rey.
Tiga hari kemudian, Raya terpaksa berjalan sendiri saat pulang sekolah karena Rey sedang mengikuti ekstrakulikuler. Selain itu, ia juga ada janji dengan Dicky, salah satu pacarnya yang lain. Tapi, ketika Raya melewati salah satu gang yang agak sepi, jalannya dihalangi oleh lima orang wanita yang sebaya dengannya. Karena merasa ada yang tak beres dan ia tak ingin membawa dirinya ke dalam masalah, Raya berbalik hendak mencari jalan lain. Namun, ternyata sudah ada lima wanita lagi yang menghalangi. Raya mulai panik. Seluruh jalan menuju rumahnya telah diblokir oleh kesepuluh wanita itu. Ia sama sekali tak mengenali mereka satu pun. Sehingga tak habis pikir alasan mereka melakukan hal ini kepadanya.
“Lo, Raya kan?” tanya salah satu wanita di hadapannya.
“Iya,” jawab Raya polos.
“Ternyata biasa aja, tuh. Cantikkan juga kita semua,” ujar wanita yang menggunakan rok mini.
“Udah! Hajar aja dia sekarang!”
Setelah komando tersebut, kessepuluh wanita itu menyeret Raya ke bagian gang yang lebih sepi. Mereka mengeroyok Raya hingga wajah, kaki dan tangannya luka-luka dan lebam. Berkali-kali Raya berusaha melawan. Tapi, karena jumlah yang tak seimbang, perlawanannya mudah dihentikan.
Seseorang yang kebetulan melewati gang tersebut mendengar suara ribut-ribut itu. Ia menghampiri sumber suara dan mengenali Raya. Rupanya ia adalah Rio, teman sekelas Raya. Melihat pertikaian yang tak adil itu, Rio segera menghampiri mereka.
“Hei! Apa-apan kalian?” Rio berlari ke tengah-tengah kerumunan. Ia mencoba mengeluarkan Raya dari sana. Cukup sulit memang menghentikan wanita-wanita ganas tersebut. Mereka terlihat sangat tidak menyukai Raya sehingga dengan mudahnya melukai.
“CUKUP! GUE BILANG CUKUP!” teriak Rio kemudian. Ia menengahi mereka agar tak melukai Raya lebih jauh. Wanita-wanita itu menghentikan kegilaannya dan terburu-buru pergi pada arah yang sama.
“Lo gak apa-apa, Raya?” Rio membantu Raya berdiri. Ia melihat banyak bekas cakaran di wajah dan tangan Raya, bahkan hingga mengeluarkan darah. Raya hanya bisa menangis menahan perih dari luka-lukanya.
Rio mengantar Raya ke rumah sakit. Rupanya ada pendarahan dalam yang cukup parah di tubuh Raya, membuatnya harus tinggal di rumah sakit untuk beberapa hari. Selama itu, tak ada satu pun pacarnya yang menjenguk. Saat Raya mencoba menghubungi lewat sms atau pun menelepon, semua pacarnya mengatakan bahwa mereka tak ada waktu untuk menjenguknya. Justru Rio yang hampir setiap hari menjenguknya, meski pun hanya untuk mengantarkan buah-buahan kesukaan Raya.
Setelah Raya keluar dari rumah sakit, satu persatu pacarnya meminta putus. Alasannya karena Raya tak cantik lagi seperti dulu. Kini wajahnya penuh bekas luka. Bahkan, Rey pun memintanya putus.
“Bukannya kamu bilang, kamu jatuh cinta sama aku?”
“Itu, kan dulu. Waktu wajahmu masih cantik. Lagipula seluruh pacar kamu juga minta putus, kan!” jawab Rey. Ia kemudian meninggalkan Raya sendirian. Rupanya Rey sudah mengetahui bahwa Raya memiliki pacar lain selain dirinya.
“Rey! Jangan tinggalin aku, Rey!” Raya menangis. Ia marah dan benci pada dirinya sendiri yang telah berubah menjadi buruk rupa. Kini tak ada lagi satu pun pria yang melirik wajah buruk rupanya.
Seseorang mendekat. Orang itu memberikan sapu tangan putih kepada Raya.
“Rio?” ujar Raya saat mendongakkan kepalanya. Ia ambil sapu tangan itu dan mengusap air mata di wajahnya.
“Lo gak apa-apa?” tanya Rio kemudian. Ia membantu Raya membersihkan air matanya.
“Kenapa? Lo masih baik sama gue? Padahal wajah gue udah berubah menjadi buruk rupa.”
“Apa wajah menjadi ukuran seseorang untuk melakukan kebaikan?”
“Tapi, mereka bilang wajah gue menjadi buruk rupa sekarang. Karena itulah kenapa semua orang kini menjauh dari gue.”
“Bagaimana pun wajah lo, gue rasa nggak masalah. Asalkan lo masih punya hati yang kuat dan cantik, pasti semuanya dapat melihat dan mau berteman lagi dengan lo. Percaya sama gue!”
“Iya. Lo benar. Terimakasih Rio. Lo ternyata selalu memperhatikan gue, ya?”
“Sama-sama,” Rio sedikit memalingkan wajahnya yang kemerahan karena mendapat pujian dari Raya.
“Kalau begitu, lo mau jadi pacar gue?”
“Apa?” pertanyaan Raya benar-benar membuat Rio terkejut.
“Gue janji, akan berubah. Gue nggak akan main-main lagi seperti dulu. Seharusnya gue sadar, kalau selama ini ternyata banyak orang yang memperhatikan gue, tapi gue justru nggak menganggap mereka sedikit pun. Tapi, gue janji, kali ini gue nggak akan begitu lagi. Jadi, maukah lo jadi pacar gue?” jelas Raya. Ia mengatakannya dengan tekad pada hatinya.
Agak lama Rio terdiam.
“Terimakasih. Sejujurnya, gue pun pernah menginginkan untuk bisa pacaran dengan lo. Gue kagum sama kegigihan lo yang bisa bertahan dari masalah keluarga yang menimpa lo setahun lalu. Tapi…,” Rio mengarahkan pandangannya pada seseorang yang sedang berdiri di samping bangku taman sekolah. Orang itu melambaikan tangan kepadanya.
“Ana?”
“Iya. Gue udah pacaran dengannya selama dua tahun. Jadi, maaf. Gue nggak bisa nerima lo jadi pacar gue,” jelas Rio tegas. Kemudian ia pamit kepada Raya dan berlari menuju tempat Ana berdiri. Mereka terlihat begitu dekat.
Raya hanya bisa melihat pemandangan itu dari jauh. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia angkat tangannya yang masih menggenggam sapu tangan milik Rio dan memandanginya.
“Hati yang kuat dan cantik, ya?” dirinya bergumam. Tak lama, terpintas senyum di bibirnya.

-THE END-

31.7.14

FREE MOBILE PHONE AND GADGET - GRATIS HANDPHONE DAN GADGET LAIN

Kamu bisa kok dapatkan handphone atau gadget lain secara gratis. Caranya mudah, ikuti aja tutorial di bawah ini:
1. Klik alamat di bawah ini

http://www.xpango.com/?ref=93191862

2. Setelah itu, keluar halaman seperti di bawah. Isi kotak registrasi berwarna hijau yg ada tulisan 'sign-up now!'.

3. Klik "get started", akan keluar halaman seperti di bawah ini:

4. isi bagian yang kosong. Pastikan reffeal ID-nya adalah 93191862 dan ceklis di kotak 'term & conditions'. lalu klik 'register now'

5. akan muncul pemberitahuan bahwa ada e-mail konfirmasi. Masuk ke inbox e-mail kamu dan klik alamat untuk registrasi ulang.

6. proses registrasi selesai. kamu akan mendapatkan reffeal ID kamu dan mendapatkan link pribadi kamu sendiri. promosikan link dan reffeal ID-nya.

klik di sini:
http://www.xpango.com/?ref=93191862

2.3.14

SOMETHING BEHIND ME

There's something behind me. With long hair and long white dress. There's nobody behind me when I take this picture. So who is she?

Then, I know till I edit that picture. It is an effect of 360's camera....

Hahahaha....
Just kidding...

But I hope, I'll never get that experience...

Please Enjoy My Blog!
^_^

6.1.14

MATAHARIKU

Terikmu sinari bumi ini
Menghangatkanku
Memberikan kesehatan

Bagiku kaulah sumber alam ini
Memberi manfaat kepada semua orang

Matahariku
Terima kasih atas pemberianmu
Tanpamu, kami tak tahu yg akan terjadi

Tapi, mengapa kau marah pada kami
Apa karena kelakuan kami ini ?..
Kelakuan yang selama ini bisa melukai kami ?..
Tapi apa daya
Yang selama ini kami lakui
Hanyalah perbuatan orang-orang yg tak bertanggung jawab

Kau marah karena kelakuan kami
Kau menyinari kami dengan sengatan sinarmu
Kemarahanmu bagaikan bom atom yang dapat menghancurkan bumi ini

Maaf.. Maafkan kami
Atas segala kelakuan kami ini
Kami hanya serpihan pasir
yang dapat kau hancurkan dalam hitungan detik

Hal yang kami takuti
Kehilangan mu
matahariku
Yang memberikan kehidupan di dunia ini

by: Nie Meid (Dini Meiyana)

PUISI: SENDIRI DI SINI

Banyaknya orang di dunia ini
Sampai ku tak tahu siapa-siapa mereka
Tak tahu apa saja yang mereka lakukan

Mereka sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri
Tidak memperdulikan orang lain di sekelilingnya
Tapi apa daya
Itulah manusia
Selalu sibuk sendiri

Kadang ku merasa sendiri
Di tengah-tengah keramaian
Tapi mengapa harus itu yang ku alami

Hidup sendiri di dunia ini
Hal yang tak mudah bagiku
Tapi ku harus tegar agar ku hidup lama di dunia ini

by: Nie Meid (Dini Meiyana)

CERPEN: CINTA DALAM SESAL

“Mimi, aku sungguh merindukanmu. Maafkan kesalahanku, Mi!” suaraku lirih. Aku ingat tujuh tahun lalu, saat kelas dua SMP. Aku mengenal Mimi dan perasaannya melalui Puput.
“Bon! Mimi suka sama kamu,” ucap Puput tiba-tiba.
“Ha?!” aku terkejut. “Nggak usah becanda, deh!” gurauku.
“Serius. Aku nggak becanda. Mimi sendiri yang bilang.”
“Kok, bisa sih?”aku tetap menanggapinya dengan bergurau.
Puput mengangkat kedua bahunya. Tak mengerti.
Aku yang kini mengetahui perasaan Mimi, sungguh bersimpati. Ia benar-benar memberikan perhatian yang lebih terhadapku. Hingga pada akhirnya, aku tak mungkin membohongi diri sendiri. Aku pun menyukai Mimi.
Rasa itu sungguh sulit hilang. Dadaku berdebar setiap Mimi mendekati. Mataku pun tak kuasa ceria sebelum melihat Mimi tertawa. Maka, ketika pulang sekolah itu kudekati kelasnya. Aku melirik ke dalam. Mimi memperhatikan seksama keterangan guru di hadapannya melalui bangku baris pertama. Simpul senyum terlukis di wajahku.
Tiba-tiba, Mimi melihatku. Kuperhatikan ia yang memberi isyarat. “Tunggu aku, ya!” mungkin begitulah maknanya. Aku langsung mengangguk setuju untuk menunggunya hingga keluar kelas.
Dua menit, empat menit, sepuluh menit kemudian kelas Mimi bubar. Aku perhatikan seksama, mencari-cari wajah cantik Mimi di antara kerumunan teman sekelasnya. Oh! Itu dia.
Tanpa banyak bicara, Mimi mendekatiku. Kurasakan jantung ini berdegup kencang. Ia menatapku dalam, dapat kulihat dari sorot matanya. Keringatku mulai mengucur. Ia angkat tangannya mendekati lenganku. Lembut yang kurasa saat tangan itu mengusap lengan ini. Ia genggam tanganku. Tapi, aku merasakan sesuatu di balik genggaman itu. Sesuatu yang Mimi berikan. Sepucuk surat.
Malamnya, kubaca surat pemberian Mimi. Bagai orang gila, aku tertawa dan berbicara sendiri. Sungguh berbunga-bunga hati ini. Hanya saja tak kutemukan dalam paragraf manapun kalimat yang kucari. Sebuah pernyataan yang amat kunanti. Meski kecewa, tapi tak apa. Akan kutulis balasan untuknya.
Sebuah surat membuatku dan Mimi mendekat. Kami yang selalu bertemu di sekolah menjadi bertambah akrab. Tapi, tak ada apapun antara kami. Meskipun aku mengetahui perasaan Mimi dan ia pun mengetahui perasaanku. Tak satupun bernyali untuk mendahului.
“Boni! Aku dengar kamu pacaran sama Mimi, ya?” pertanyaan Puput membuatku tersedak. Jus jeruk yang aku seruput muncrat berantakan di atas meja kantin.
“Kamu dengar dari siapa?” aku balik bertanya.
“Dari kakak-kakak kelas tiga, sih. Tapi kayaknya satu sekolah udah tahu, deh. Benar nggak?”
“Nggak, kok. Aku dekat sama Mimi, tuh cuma sebatas kepengurusan OSIS aja. Yah, secara aku ketua OSIS dan Mimi bagian dari seksi kerohanian. Bukannya sebentar lagi ada peringatan Hari Besar Islam?” jelasku mencoba meyakinkan Puput yang manggut-manggut. Meskipun begitu, aku penasaran. Siapa orang yang menyebarkan gosip tentang  hubunganku dan Mimi?
Rupanya tak cukup hanya seluruh siswa, seluruh guru pun kini tahu gosip itu. Hal tersebut membuatku dan Mimi tak nyaman.
“Mungkin seharusnya kita nggak usah terlalu dekat, deh Bon.”  Ucap Mimi suatu hari. “Aku merasa nggak enak sama semuanya.”
“Kok, nggak enak? Kenapa?” sedikit terkejut aku mendengarnya.
Mimi menggelengkan kepala. “Aku merasa setiap sudut di sekolah selalu membicarakan kita. Aku pikir, bila kita menjaga jarak mungkin semua itu akan berakhir,” jawabnya.
“Menjaga jarak, ya?” tanyaku sedih.
Mimi mengangguk pelan, matanya layu. Apakah kebersamaan kami akan berakhir?
Sepertinya benar. Perasaanku pada Mimi benar-benar berakhir, mengiringi jarangnya kesempatanku untuk berkomunikasi dengannya. Bulan-bulan terakhir di kelas tiga SMP, hatiku berpindah haluan. Ada orang lain yang aku cintai. Meskipun terbatas pula akhirannya.
Namun, hidup terus mencari jalannya. Aku dan Mimi harus berpisah karena perbedaan sekolah. Ia memilih SMA di luar kota. Jauh dari SMA yang kumasuki.
Lama tak kudengar kabar dari Mimi. Hingga suatu saat aku diceritakan bahwa Mimi telah berulang kali gagal melukis kisah asmara dengan beberapa laki-laki. Rupanya semua itu hanyalah pelampiasan rasa sakit hatinya padaku yang dengan mudah membiarkan cinta Mimi termakan waktu. Oh! Bodohnya aku selama ini. Aku membiarkan Mimi tergantung dalam harapan kosong akan kelengkapan hatinya.
Rasa bersalahku membangkitkan lagi cinta itu. Meski dingin, tapi manis. Cinta itu tak pernah terkubur akhirnya. Walau datang beribu-ribu cinta lain yang berusaha menutupi, akan kutangkis demi cintaku pada Mimi. Aku tak ingin sesal yang kedua kali. Maka, tak satupun terajut kisah mesraku hingga masa SMA terakhiri.
Pendidikan baru yang aku mulai, mengawali langkah pertamaku untuk mendekati Mimi kembali. Aku coba membangun komunikasi dengannya. Walau sulit menatanya.
Maka suatu malam, saat aku sedang menelepon Mimi.
“Mi! Sebentar, ya! Ada panggilan masuk,” izinku pada Mimi yang sedang asik bicara.
“Oh! Ya udah, deh. Diangkat dulu!” jawabnya.
Aku hold panggilan Mimi untuk menjawab panggilan masuk yang nomornya tak kukenal tersebut. Tapi saat kujawab, seseorang di seberang justru memutuskannya. Aku terheran-heran.
“Siapa, Bon?” Tanya Mimi begitu aku unhold panggilannya.
“Nggak tahu. Nomor baru,” jawabku. “Eh, Mimi! Kamu mau cari tahu nggak tadi nomor siapa? Tolong, ya! Aku lagi dilanda krisis ekonomi, nih.” Aku memohon.
“Pake kesulitan ekonomi segala,” Mimi menertawaiku. “Iya, deh. Sebutin nomornya!”
Sesuai permintaan Mimi. Aku sebutkan nomor itu.
Satu menit, dua menit, lima menit panggilanku diholding oleh Mimi. Maka setelah tersambung kembali ….
“Siapa, Mi?” tanyaku penuh penasaran.
“Orang nyasar,” jawab Mimi singkat.
“Oh!”
“Bon! Udah dulu, ya! Aku ada kuliah pagi besok. Lagian juga udah malam,” pamit Mimi tiba-tiba.
“Eh! Ya, udah kalau besok kamu ada kuliah pagi,” jawabku.
“Assalamu’alaikum,” salam Mimi.
“Waalaikumsalam.”
Trek! Mimi memutuskan panggilanku.
Aku merasa ada yang aneh pada Mimi. Kenapa tiba-tiba ia memutuskan untuk menghentikan obrolan?  Ada apa sebenarnya?
Sejak telepon hari itu, kabar Mimi menghilang. Jangankan menelepon atau mengirim pesan padaku, pesan-pesanku saja tak pernah dibalasnya. Begitu pun saat kutelepon dia, tak sekalipun diangkatnya.
“Ada apa denganmu, Mimi?” batinku.
Lama waktu berlalu. Hingga saat tiba waktuku mengetahui kebenaran dari masa lalu.  Nomor yang aku minta Mimi untuk menyelidikinya ternyata milik seorang wanita. Pada Mimi, ia mengaku bahwa dirinya adalah kekasihku. Jadi, itu alasan Mimi menjauhiku?
“Aku nggak boleh diam saja. Mimi harus tahu yang sesungguhnya. Orang itu bukan kekasihku,” tekadku.
Tak buang waktu, aku segera menghubungi Mimi. Syukurlah kali ini ia mengangkat panggilanku.
“Halo, Milik?” bukaku. “Aku ingin menjelaskan sesuatu. Orang itu, yang nomornya aku minta padamu untuk kamu cari tahu, benar-benar bukan pacarku. Berani sumpah, saat itu aku nggak punya pacar satupun.”
“Iya. Aku tahu, Bon.” Suara Mimi lirih dan dingin.
“Kamu percaya sama aku, kan?”
“Aku percaya sama kamu,” jawaban Mimi belum meyakinkanku.
“Mimi! Kamu nggak percaya, ya?”
“Aku percaya, kok. Kalau begitu sudah dulu, ya! Ada tugas yang lagi aku kerjain. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”

Trek! Mimi memutuskan panggilanku. Nada marah yang kurasa pada setiap ucapannya tadi. Mungkinkah hatinya terlalu sakit akibat sayatan sembiluku yang membekas dalam? Hingga rasa cintanya padaku harus mengalir ke luar, membuatnya beku dan terdiam. Kini, sesal yang kurasakan.

4.1.14

CERPEN: BABA DAN LALA

Di suatu taman bunga, hiduplah seekor laba-laba bernama Baba yang memiliki kemampuan merajut jaringnya dengan indah. Tidak hanya itu, Baba juga mampu membuat sarangnya menjadi berlapis-lapis. Tidak seperti laba-laba lainnya yang hanya membuat satu lapis sarang saja untuk rumahnya.
Karena kemampuannya tersebut, banyak laba-laba lain yang berdecak kagum dengan hasil karyanya. Hal tersebut membuat Baba semakin bangga. Ia merasa tidak ada laba-laba lain yang mampu membuat sarang seindah yang ia buat.
“Hm… sarangku begitu bagus,” puji Baba pada dirinya sendiri ketika ia telah selesai merajut sarangnya satu tingkat lagi. “Dengan begini, aku bisa dapat banyak serangga dan akan banyak laba-laba lain yang akan memujiku,” tambahnya semakin bangga.
“Baba!” tiba-tiba seseorang mengejutkannya. Itu Lala, sahabat Baba.
“Eh, kamu Lala? Aku sampai kaget.” Ujar Baba.
Lala terkekeh.
“Hehe…iya, deh. Maaf. Kamu baru membuat sarang lagi, ya?” tanya Lala.
“Iya. Tambah keren, kan sarangku?” Baba menepuk-nepuk dadanya. “Nanti, pasti akan banyak serangga yang kudapat, dan juga akan banyak laba-laba yang akan memujiku karena kemampuanku ini. Haha….”
“Eh, Baba! Gak boleh sombong,” nasihat Lala. “Seharusnya, Baba menggunakan kemampuannya untuk membantu sesama. Misalnya, membagi serangga yang telah didapat dengan teman-teman lain yang tidak mendapatkan makanan.”
“Ih! Apaan sih, La? Kan serangga-serangga itu tersangkutnya di sarangku. Untuk apa aku bagi ke laba-laba lain,” bantah Baba tidak mendengarkan nasihat Lala.
“Ya udah, deh. Terserah kamu aja. Aku cuma mau mengingatkanmu…,” ucap Lala.
“Udah, deh! Gak usah sok bijak! Lebih baik, kamu urusi saja sarangmu itu!” bentak Baba.
Lala kemudian meninggalkan Baba sendirian. Baba sama sekali tak peduli dengan Lala yang sakit hati karena kata-katanya. Ia mulai merajut kembali jaring-jaringnya.
Keesokan harinya, terjadi peristiwa yang menyedihkan. Lala menangis sejadi-jadinya karena sarang yang telah ia buat semalaman tiba-tiba saja hancur dalam sekejap. Banyak laba-laba mengerumuni Lala dan merasa kasihan terhadapnya.
Baba yang melihat kerumunan laba-laba dari sarangnya merasa penasaran dan turun untuk melihat apa yang terjadi. Ketika Baba sampai dalam kerumunan, Lala melihat sahabatnya itu.
“Baba…,sarangku rusak, Baba…,” isak Lala.
“Iya. Aku tahu,” balas Baba dengan nada mengejek. “Itu semua, kan salahmu. Siapa yang suruh membuat sarang jelek dan tidak kokoh?”
Lala terkejut mendengar jawaban Baba tersebut. Padahal, selama ini Baba adalah sahabat baiknya. Tapi sikapnya berubah setelah banyak laba-laba yang memuji dan mengagumi kemampuan merajutnya.
“Aku gak mau tolong kamu untuk membuat sarang baru. Karena kemarin kamu udah mengatakan aku pelit,” ujar Baba setengah berteriak. Kemudian ia berbalik dan berjalan dengan angkuhnya menuju sarang yang ia banggakan itu.
“Terserah kamu saja, Baba! Kamu pasti akan terima akibatnya,” balas Lala kesal. Tangisnya semakin keras. Beberapa laba-laba datang mendekatinya dan berusaha menenangkan. Ada pula yang menawarkan bantuan kepada Lala.
Malamnya, angin sepoi mengoyang-goyangkan tangkai bunga penyangga sarang Baba. Ia sedang berbaring santai setelah makan malam. Wajahnya mengkerut memikirkan sesuatu. Ia menolehkan kepalanya ke arah sarang Lala yang telah koyak. Terbesit rasa bersalah pada dirinya saat mengingat kata-katanya siang tadi.
“Lala pasti sakit hati…,” pikirnya. Tapi ia geleng-gelengkan kepala berusaha melupakan semua itu. “Salah Lala sendiri mengatakan aku pelit. Ia pantas mendapatkannya.” Karena lelah, Baba akhirnya tertidur.
ZRUGG!
Terdengar suara aneh di sekitar sarang Baba. Baba terbangun. Ia meningkatkan kewaspadaannya dan mencari darimana sumber suara tersebut.  Tapi, taman bunga itu begitu gelap. Sehingga Baba kesulitan untuk melihat.
ZRUGG!
Suara terdengar lagi. Tubuh Baba penuh dengan keringat karena ketakutan. Matanya awas memperhatikan sekelilingnya. Hingga tak disadari, sebuah kaki raksasa menginjak salah satu tangkai bunga yang ia gunakan sebagai tiang penyangga sarangnya.
TUSS!
Setengah sarang Baba hancur. Ia menyerang kaki raksasa itu dengan jaringnya namun sama sekali tidak berpengaruh. Justru kaki tersebut mengangkatnya tinggi-tinggi.
“TOLOOONG!” teriak Baba yang berayun-ayun pada jaringnya. Seketika jaring tersebut putus. Ia jatuh ke arah sarangnya, membuat sarang tersebut hancur dan tubuhnya jatuh ke tanah. Tia-tiba, sebuah tangkai bunga menimpa tubuhnya.
“TOLONG! TOLOOONG!” Baba berteriak minta tolong berkali-kali, namun tak ada satu tetangga pun yang berani mendekati karena ketakutan.
“Baba! Baba!” Lala berlari mendekati Baba dan mengangkat tangkai bunga yang menimpa tubuh kawannya itu. Ia pun membalut luka Baba dengan jaringnya.
“Lala, aku minta maaf karena tidak menolongmu kemarin hanya karena keegoisanku. Padahal, Lala mengajariku hal baik.” Baba menangis dan meminta maaf pada Lala.
“Nggak apa-apa kok…, yang penting Baba udah mengerti sekarang.” Jawab Lala dengan lapang dada. Kemudian sepasang sahabat tersebut saling berpelukan.
*****