THE PEACE EYES
Lima
tahun yang lalu, di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Setelah
koma selama dua hari, Ryo yang telah siuman merasakan suatu kejanggalan.
Tatapannya memperhatikan gundukan-gundukan selimut yang menutupi setengah tubuh
dan seluruh kakinya. Wajahnya mulai panik. Sangat cepat ia membuka selimut itu
meskipun perawat sudah berusaha mencegahnya. Mata Ryo terbelalak kaget. Sungguh
sulit ia mempercayai yang kini dilihatnya. Suatu kehampaan.
“KAKI
SAYA MANA, SUSTER? KAKI KANAN SAYA DIMANA? KENAPA GAK ADA?” Ryo histeris
mendapati tungkai bawahnya yang telah teramputasi. Tangannnya tak henti
menarik-narik lengan perawat yang berusaha menenangkannya. Teriakan demi
teriakan terus mengguncang ruangan tersebut jika saja dokter tak datang untuk
memberikan obat penenang pada Ryo.
********
Satu tahun yang lalu,
di sebuah rumah sakit di Bogor.
Raya dengan tangan yang
menggerayangi dinding, berjalan perlahan menuju sebuah ruangan berpintu putih
yang setengah terbuka. Ia tahu, ibunya di dalam sana. Nafas yang terengah tak
dapat menaklukannya untuk berhenti dan beristirahat.
“Nggak mungkin, Dok!
Anak saya nggak mungkin menderita leukemia,” sangkal Bu Eri. Wajahnya memucat,
sepucat warna kertas diagnosis yang digenggamnya.
“Tidak ada seorang pun
yang menginginkan ini terjadi, Bu. Namun, hasil uji lab mengatakan seperti itu.
Raya menderita leukemia stadium 2,” jawab Dokter Rei.
“Leukimia?” gumam Raya
dari daun pintu. Suaranya menarik perhatian Bu Eri dan Dokter Rei. Mata Raya
basah. Tak lama air matanya mulai menitik. Ia merasa melayang, berputar-putar
dalam dunia yang mulai mempermainkannya hingga ia tak mampu melawan. Tiba-tiba
selurunya menjadi gelap.
*******
Sekarang, di sebuah
jembatan di Bogor.
Seorang wanita berjalan
gontai tanpa alas kaki. Pakaiannya khas pasien yang menjalankan opname di rumah
sakit. Rambutnya tipis, lurus sebahu, tergerai dan sedikit berantakan. Matanya
mulai membengkak akibat air mata yang semalaman tak dapat ia bendung lagi.
Langkahnya terhenti di tengah jembatan setelah bersusah payah tertatih. Ia
menatap aliran sungai yang setengah deras dengan mantap. Tangannya memcengkram
tepi jembatan. Hatinya menciut. Tapi, ia tetapkan untuk tidak beranjak.
“Nggak. Aku nggak boleh
ragu. Aku harus melakukan ini. Aku nggak kuat terus-menerus menahan sakit itu,”
gumamnya dengan gemetar.
Kaki wanita itu mulai
naik pada sela-sela lubang persegi yang membatasi jembatan, membuat tubuhnya
semakin tinggi. Belum merasa cukup, ia melangkah naik sekali lagi pada lubang
persegi di atas lubang sebelumya. Tangannya direntangkan untuk menyeimbangkan
tubuhnya yang agak oleng. Lagi, kakinya melangkah naik pada lubang persegi yang
berada di atas lubang sebelumnya. Ia dapat merasakan betapa tingginya jembatan
saat melihat ke bawah.
“Ma! Raya harap,
setelah kepergian Raya, Mama gak akan sesusah ini lagi. Raya cuma bisa
merepotkan. Untuk terakhir, maafkan Raya.” Setelah mengatakan itu, Raya menarik
nafasnya dalam-dalam. Ia sempat ragu lagi, tapi… kepalanya digeleng-gelengkan.
‘Aku gak boleh mundur,’
batinnya. Setelah menghela nafasnya, ia mulai melemaskan seluruh tubuh dan
mencondongkannya ke depan. Matanya tertutup saat ia merasa pijakannya mulai
tergelincir.
“Selamat tinggal, Mama….”
“JANGAAANNN!” seseorang
berlari mendekati Raya dan menarik tubuhnya jatuh ke tengah jembatan. Orang
tersebut melingkarkan lengannya pada tubuh Raya yang mulai memberontak karena
percobaan bunuh dirinya gagal.
“Lepaskan aku!
Lepaskan! Aku mau mati aja. Aku udah gak mau hidup lagi. Lepaskan aku!
Lepaskan! Lepas…kan…,” tubuh Raya yang bergerak berontak itu seketika melemah.
Isaknya tak lagi terdengar. Ia pingsan. Tapi, orang yang menolongnya tak segera
melepaskan kedua lengannya dari tubuh Raya. Ia tatap wajahnya yang pucat dan
kelelahan itu.
******
Mata Raya
bergerak-gerak sesaat sebelum bangun dari ketidaksadarannya. Rasanya cukup lama
juga ia tertidur. Ketika matanya telah terbuka, ia mendapati wanita setengah
baya sedang memijat-mijat kakinya. Jari tangannya bergerak-gerak meraba
kulit-kulit sofa yang rasanya mulai rusak.
“Alhamdulillah. Non
sudah bangun,” ujar wanita paruh baya itu.
“Saya dimana?” tanya
Raya. Ia berusaha duduk dan menahan kepalanya yang terasa berkunang-kunang.
“Non ada di rumah Bibi.
Tadi Den Ryo yang membawa Non kemari,” jawabnya lagi, memperkenalkan diri
sebagai Bibi.
“Ryo?” gumam Raya.
Otaknya sulit berpikir, ia hanya ingat saat hendak terjatuh dari jembatan tadi
ada seseorang yang menariknya. Seorang pria. Setelah itu, ia tak ingat apapun
lagi.
TUK! TUK! Raya
mendengar sesuatu dari pintu yang mengarah pada ruangan lain dari rumah itu.
Seperti suara kayu yang dipukul-pukulkan pada lantai. Tapi, ini suaranya
berirama. Seperti… suara langkah seseorang.
Tak lama, dari ruangan
gelap dimana suara tersebut berasal, muncul seorang pria. Tinggi, dengan rambut
pendeknya yang terjatuh dan berponi. Wajahnya oval dibalut kulitnya yang
kecoklatan. Matanya tak terlalu sipit, namun tampak selalu berbinar. Tubuhnya
cukup atletis. Tangan kirinya membawa gelas berisi air putih hangat. Namun,
tangan kanannya menggenggam sesuatu yang biasa Raya lihat di rumah sakit dan
sering digunakan sebagai pembantu jalan. Sebuah kruk. Ketika Raya memperhatikan
bagian kaki kanan pria itu, ia mengerti mengapa terdapat kruk di tangannya.
“Eh, sudah bangun ya?”
suaranya. Perlahan ia melangkah, meskipun terlihat agak kesulitan karena harus
menyeimbangakan tangan kirinya agar air di gelas tak tumpah. Ia memberikan
gelas tersebut pada Bibi.
“Ini Non. Diminum
dulu!” ucap Bibi menyuguhkan gelas itu pada Raya. Ia sedikit ragu menerimanya.
“Minumlah! Kamu
kayaknya capek banget,” ujar pria itu. Bibirnya tersenyum.
‘Sepertinya mereka
orang baik-baik,’ pikir Raya. Segera ia ambil minuman dari tangan Bibi dan
meminumnya. Raya benar-benar haus. Ia berikan gelas kosong itu pada Bibi.
“Minum lagi, Non?”
tanya Bibi takjub. Raya menggelengkan kepalanya. “Baiklah kalo begitu. Bibi ke
belakang dulu,” pamit Bibi seraya beranjak pergi. Ia memasuki ruangan gelap tempat
pria tadi keluar.
Raya kembali menunduk.
Matanya sendu. Namun ia tak mengerti apa yang sedang ia pikirkan. Bahkan ia tak
menyadari seseorang yang kini telah duduk di sampingnya, di tempat yang tadi Bibi
duduki.
“Hei! Kenapa kamu
mencoba bunuh diri?” tanyanya tanpa basa-basi.
Raya tersentak. Ia
angkat wajahnya menatap pria disampingnya itu. Matanya teduh. Seperti tak ada
kata susah pada hidupnya. Ia baru sadar kalau pria tersebut ternyata hampir
sebaya dengannya.
“Kamu Ryo?” suara Raya
lirih. Mendengar namanya disebut, Ryo hanya tersenyum. Tapi, diluar dugaan,
Raya justru menangis.
*********
“Dunia ini benar-benar
gak adil. Kenapa aku? Kenapa harus aku yang terkena penyakit itu?” ungkap Raya
pada Ryo yang duduk di sampingnya. Mereka berada di teras rumah Bibi sekarang.
Raya biarkan ingatannya
mengambang, berkelana menyusuri lorong-lorong waktu, menuju suatu tempat yang
ia kunjungi setahun lalu. Sebuah kantor sempit milik seorang dokter. Di sanalah
ia dapatkan vonis leukemia itu. Tubuhnya menggigil ketakutan. Meskipun surya
sore itu begitu indah, hatinya justru diselimuti awan-awan gelap. Sedih.
“Mereka gak merasakan
yang aku rasa. Sakit. Dingin. Saat obat-obat itu mengalir dalam tubuhku. Aku
hanya bisa menangis. Mengapa mereka tega melakukan itu padaku? Semua yang aku
miliki, telah direnggut oleh penyakit itu. Rambutku perlahan rontok, wajahku
membengkak. Bahkan, dua minggu lagi aku harus menjalani operasi. Aku takut.
Operasi itu pasti jauh lebih sakit daripada saat obat-obat keras yang
disuntikkan pada tubuhku,” terang Raya tentang perasaannya. Ia tutup wajahnya
dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan air mata.
“Tapi gak perlu sampai
bunuh diri, kan? Justru kalau kamu melakukan itu, kamu akan kehilangan
segalanya…,” komentar Ryo dengan hati-hati.
“KAMU GAK NGERTI, RYO!
Gimana rasanya jadi sebuah beban. KAMU GAK NGERTI!” jawab Raya setengah
membentak setelah menurunkan kedua tangannya.
Ryo terkejut mendapati
reaksi Raya. Namun, ia maklum. Pasti tak mudah bagi Raya untuk menerima semua
pukulan itu. Sesaat, ia tersenyum.
“Yah. Aku emang gak
ngerti,” ujar Ryo.
“Tapi, apa besok kamu
bisa ikut aku ke suatu tempat? Aku yakin, di tempat itu kamu gak akan merasakan
sakit. Bukankah lagipula, kamu harus pulang. Sekarang sudah hampir malam. Apa
perlu aku antar?” tawarnya.
Raya terdiam. Ya, ia
harus kembali ke rumah sakit. Ia sadar, tindakan kabur dari sana pasti membuat orang
tuanya khawatir. Sebenarnya, bukan leukemia itu yang merepotkan, tapi dirinya.
“Hm… sepertinya
menarik,” jawab Raya. “Boleh, deh!” tambahnya menyanggupi. Dalam pikirannya
tersusun rencana untuk kabur lagi dari rumah sakit besok.
Ryo tersenyum. Ia raih
kruk aluminium di sampingnya dan menggunakannnya untuk berdiri.
“Kalau begitu, aku
tunggu kamu di sini esok pagi,” ucap Ryo. Ia menatap kesungguhan di mata Raya.
********
Keesokan paginya. Nafas
Raya terengah-engah saat mendekati rumah Bibi. Ia lihat Ryo berdiri di
depannya. Tersenyum dengan matanya yang berbinar-binar. Ia sadar, sejak kemarin
tak sedikit pun terlihat wajah Ryo yang sendu karena kaki yang tak sempurna.
Benar. Ia dan Ryo memiliki persamaan. Yaitu, ketidaksempurnaan. Hanya saja
ketidaksempurnaan Ryo sungguh terlihat, tapi ia tidak. Bahkan bisa dikatakan ia
tidak memiliki ketidaksempurnaan sama sekali bila saja ia tidak
mengungkapkannya.
“Hei! Lagi mikirin apa,
sih?” tanya Ryo menyadarkan Raya yang bengong.
“Eh? Nggak, kok!” jawab
Raya. Nafasnya agak berat. Ia kelelahan.
“Istirahat dulu, deh!”
saran Ryo.
“Ng…nggak usah. Aku
nggak apa-apa, kok.” Raya menyanggah. Ryo sadar, wajah Raya memucat. Tapi Raya
tak mau menyadari itu.
“Ya, sudah. Ayo
berangkat!” ajak Ryo.
“Kemana?”
“Ke tempat yang nggak
membuatmu sakit,” jawaban Ryo seperti yang dikatakannya kemarin.
*********
Perjalanan yang cukup
jauh memaksa Raya untuk membantu Ryo. Awalnya Raya merasa risih, namun seiring
waktu ia mulai mengerti. Padahal sesungguhnya Ryo bisa melakukannya sendiri,
mengingat ia sering mengunjungi tempat tersebut. Namun, Ryo biarkan Raya
melakukan apa yang ia inginkan.
“Maaf, ya. Kamu jadi
repot gara-gara aku,” Ryo meminta maaf ketika Raya menyerahkan kruknya setelah
mereka turun dari sebuah angkutan umum.
“Nggak apa-apa, kok.”
Jawab Raya dengan tersenyum. Wajahnya yang pucat terlihat lebih berkilau
tertimpa sinar matahari pagi dari sudut kanannya. “Kita udah sampai belum, ya?’
tanyanya kemudian.
“Udah, kok.” Jawab Ryo
seraya mengangguk. “Gedungnya ada di balik toko ini,” lanjutnya seraya menunjuk
toko di hadapan mereka.
Raya mengatur nafas,
seakan meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Kemudian ia melangkah
mendahului Ryo yang mengikutinya memasuki sebuah gang kecil di samping toko
tersebut. Dalam dada yang berdebar, tempat apa sebenarnya yang ingin sekali Ryo
tunjukkan kepadanya. Sudah sejak keberangkatan mereka, ia memikirkan banyak hal
tentang tempat yang akan ia kunjungi. Tak luput pikiran buruk terus-menerus
mendatanginya, mengingat Ryo adalah orang yang baru saja ia kenal, yang bisa
dikatakan sebagai penyelamat nyawanya, atau perenggut hak atas kebebasannya?
Tapi, ia buang semua pikiran itu.
“Selamat datang di
Gelanggang Olahraga SAHABAT,” sambut Ryo seraya membuka pintu di hadapan kami.
Cahaya matahari sedikit
menghalangi pandangan Raya. Namun, ketika matanya mulai terbiasa dengan itu,
sebuah lapangan sepak bola yang hijau dan luas menyambutnya. Ryo mengajak Raya
ke sebuah tempat pelatihan atlet. Tapi, Raya merasa ada sesuatu yang berbeda
pada atlet-atlet yang berlatih di gelanggang olahraga ini.
“Ha?” Raya terkejut.
Kedua tangannya spontan menutup mulutnya yang ternganga. Rupanya, atlet yang
berlatih di sini adalah atlet-atlet yang ‘luar biasa’.
“Ayo masuk!” ajak Ryo
kemudian. Ia mempersilakan Raya mendahuluinya untuk memasuki gelanggang
olahraga itu.
Rupanya bukan hanya
lapangan sepak bola saja di dalamnya. Ada pula lintasan lari, lapangan tolak
peluru, lapangan basket, lapangan volley, lapangan bulu tangkis, lapangan
tenis, dan lainnya. Seluruhnya tak ada yang kosong. Semua terpakai untuk
berlatih atlet-atlet ‘luar biasa’ itu.
“Yoo, Ryo. Kau baru
datang, kawan?” seorang lelaki mendekati mereka dengan susah payah. Karena
kedua tangannya harus memutar roda dari kursi roda yang ia duduki. Setelah posisinya
sampai di hadapan Ryo, ia mengangkat tangannya dan bersalaman dengan Ryo.
“Ya. Begitulah,” jawab
Ryo dengan tubuh yang bertopang pada kruknya karena goncangan dari tangan
temannya agak berlebihan. Namun, mereka
terlihat menikmati cara tersebut.
“He? Siapa itu, Ryo?” Tanya
lelaki tersebut seraya melirik pada Raya.
“Oh, iya! Ini teman
baruku. Namanya Raya,” jawab Ryo. Ia menyejajarkan diri dengan Raya.
“Rama,” ujar lelaki itu.
Ia mengulurkan tangannya ke hadapan Raya, mengajaknya bersalaman.
Raya merasa risih
membalasnya. Baru pertama kali ini ia melihat seseorang yang menggunakan kursi
roda. Tapi, ia beranikan diri untuk membalas uluran tangan Rama.
“Raya,” ucapnya seraya
berjabatan dengan Rama.
*******
Ryo mengajak Raya
berjalan-jalan mengelilingi lapangan. Ia banyak bercerita tentang pengalamannya
sebagai atlet. Ketika dirinya berlatih setiap pagi hingga petang setiap hari.
Karena ketekunannya itu, maka ia dinobatkan sebagai pelari tercepat dari atlet
lari yang lain. Kemudian ia mengikuti olimpiade atletik untuk atlet-atlet ‘luar
biasa’. Pada olimpiade tersebut, Ryo keluar sebagai pemenang pada cabang
olahraga lari. Saat itu, apa yang diyakininya terbukti. Bahwa, seseorang yang
memiliki bentuk tubuh yang tidak sempurna pun tetap bisa berprestasi.
“Setelah itu, nama dan
fotoku masuk koran nasional, lho.” Ryo mengakhiri ceritanya. Wajahnya begitu
bahagia mengingat masa-masa tersebut.
“Wah! Hebat,” puji
Raya.
“Sekarang, coba
bayangkan! Pasti banyak hal yang bisa dilakukan dengan tubuh yang sempurna,
kan?” Tanya Ryo.
Raya menunduk.
“Memang banyak hal yang
bisa dilakukan. Tapi, tubuhku lemah. Lelah sedikit saja, sudah sulit untuk
bergerak.” Jawabnya. Matanya berkaca-kaca, rasanya sedih membayangkan bahwa
dirinya tak berguna.
“Karenanya, berusahalah
untuk sembuh! Aku percaya, jika kita berusaha dengan keras tentu apa yang kita
inginkan akan tercapai, kan?” Tanya Ryo lagi.
“Iya. Memang benar,”
Raya masih menunduk. Ia sepertinya memikirkan sesuatu. Mungkin, ia sedang
mencoba mempercayai apa yang juga dipercaya oleh Ryo. Tak ada salahnya
berusaha, toh? Meskipun operasi itu memang menyakitkan, tapi itulah salah satu
jalan baginya untuk sembuh. Karena lari pun percuma saja bukan?
“Ryo! Hari rabu, dua
minggu lagi, aku akan menjalani operasi transplantasi sumsum tulang. Aku ingin
dirimu ada di sana saat itu. Karena, kalau ada Ryo, entah kenapa aku merasa
lebih semangat untuk hidup. Bisakah?” ujar Raya.
“Tentu saja,” jawab
Ryo. Ia tersenyum lebar karena Raya sudah mendapatkan semangat hidupnya
kembali.
*******
Dua minggu setelah hari
itu, Raya bersiap-siap menjalani operasi ransplantasi sumsum tulang. Meskipun
awalnya agak menyeramkan, tapi ia sudah bertekad untuk melakukannya. Tambah
pula, Ryo datang menengok. Maka semakin percaya dirilah Raya akan tekadnya. Akhirnya
operasi dimulai. Keluarga Raya menunggu di luar ruang operasi dengan khawatir.
Beberapa jam kemudian, operasi
selesai. Dokter mengatakan bahwa operasi Raya telah berhasil dilakukan. Namun,
datang kabar buruk dari orang yang mendonorkan sumsum tulangnya kepada Raya.
“Mama?” gumam Raya saat
melihat Bu Eri ketika sadar dari tidurnya.
“Syukurlah kau bangun,
nak. Apa yang kau rasakan?” Tanya Bu Eri.
“Aku…, ingin
berterimakasih pada pendonorku, Ma.” Jawab Raya.
Bu Eri diam sejenak.
“Baiklah. Mama akan
mengantarkanmu padanya saat kau sudah lebih baik,” ujarnya.
*******
Beberapa hari pasca
operasi, kesehatan Raya semakin membaik. Karenanya ia dapat keluar dari rumah
sakit lebih cepat. Saat itu, ia menagih janji yang pernah dikatakan Bu Eri
padanya. Ia ingin sekali bertemu dengan pendonornya dan mengucapkan terimaksih
karena telah berbagi kehidupan untuknya. Jika tidak, Raya pasti akan menyesal
seumur hidup.
“Mama! Kenapa
mengajakku ke pemakaman? Apa kita akan mengunjungi Papa dahulu?” Tanya Raya
saat turun dari mobil. Tapi, Bu Eri tak segera menjawabnya.
“Di sini,” ujar Bu Eri
begitu sampai di depan sebuah makam.
“Ini makam siapa, Ma?
Kenapa letaknya di samping makam Papa?” Tanya Raya dengan polosnya.
“Ini…,” Bu Eri berlutut
di samping makam tersebut. Air matanya menitik deras. Ia mengusap-usap batu
nisan makam tersebut.
Ryo, tulisan di batu
nisan itu.
“Ini makam kakakmu. Ia
juga yang mendonorkan sumsum tulangnya padamu,” lanjutnya.
Raya begitu terkejut. Benarkah
ini makam kakaknya? Karena selama ini, yang ia ketahui, bahwa ia adalah anak
tunggal di keluarganya.
“Mama bohong, kan?
Bukankah aku tidak memiliki saudara, Ma?” tanyanya.
“Maafkan Mama, Raya!
Mama tidak pernah sanggup menceritakannya padamu. Dua minggu yang lalu, kakakmu
datang ke rumah sakit dan menyatakan bersedia mendonorkan sumsum tulangnya
padamu. Tapi, ketika operasi, ia tak mampu bertahan.” Jawab Bu Eri.
Raya berlutut di
samping ibunya. Otaknya sulit untuk berpikir mengetahui kenyataan yang ada di
hadapannya. Apakah Ryo kakaknya sama dengan orang yang megajaknya ke gelanggang
olahraga tempo hari?
“Tapi, sebelum Ryo
pergi, ia bersyukur dapat bertemu denganmu sebelum operasi,” lanjut Bu Eri.
“Ma! Apakah Kak Ryo
memiliki luka amputasi pada kaki kanannya?”
Bu Eri membenarkan
pertanyaan Raya. Saat itulah Raya tak mampu lagi membendung air matanya. Ia yakin,
Ryo yang menyelamatkan dirinya dari putus asa, yang mendengarkan keluh kesahnya,
dan yang menjadi pendorong semangat hidupnya adalah kakaknya sendiri. Karena
itulah, mengapa ia begitu tenang saat melihat mata Ryo. Mata itulah yang selalu
menemaninya ketika ia masih kecil.
*******
Lima tahun yang lalu,
keluarga Raya mengalami kecelakaan tragis yang menyebabkan Pak Satoru, suami Bu
Eri, meninggal. Sedangkan tungkai kanan bagian bawah Ryo remuk, sehingga harus
di amputasi. Raya mengalami shock hebat.
Karena itulah, ketika ia melihat Ryo dengan lukanya, ia terus menerus
berteriak. Kemudian, Bu Eri meminta Bibi, pramuwisma di rumah keluarganya,
untuk mengurus Ryo saat Raya terapi. Namun, dalam perjalanannya, Raya
benar-benar melupakan kenangan-kenangan tentang kecelakaan tersebut, termasuk
melupakan Ryo.
Tiba-tiba Raya mulai sakit-sakitan.
Berulang kali ia masuk keluar rumah sakit. Karena harus menjaga Raya, Bu Eri
sekali lagi menitipkan Ryo pada Bibi. Satu tahun berlalu, hingga akhirnya tak
sengaja mereka bertemu. Ryo langsung menyadari bahwa Raya adalah adiknya.
Selama ini, ia tak mengetahui kabar apa pun tentang adiknya tersebut. Saat
mengetahui penderitaan Raya, ia segera menemui Bu Eri dan menyanggupi diri
untuk menjadi pendonor sumsum tulang bagi Raya.
“Dengan mendonorkan
sumsum tulangku, bukankah berarti aku bisa menjaga Raya selama hidupnya?”
begitulah harapan Ryo.
*******
0 komen:
Posting Komentar