“Mimi, aku sungguh
merindukanmu. Maafkan kesalahanku, Mi!” suaraku lirih. Aku ingat tujuh tahun
lalu, saat kelas dua SMP. Aku mengenal Mimi dan perasaannya melalui Puput.
“Bon! Mimi suka sama
kamu,” ucap Puput tiba-tiba.
“Ha?!” aku terkejut.
“Nggak usah becanda, deh!” gurauku.
“Serius. Aku nggak becanda.
Mimi sendiri yang bilang.”
“Kok, bisa sih?”aku
tetap menanggapinya dengan bergurau.
Puput mengangkat kedua
bahunya. Tak mengerti.
Aku yang kini
mengetahui perasaan Mimi, sungguh bersimpati. Ia benar-benar memberikan
perhatian yang lebih terhadapku. Hingga pada akhirnya, aku tak mungkin
membohongi diri sendiri. Aku pun menyukai Mimi.
Rasa itu sungguh sulit
hilang. Dadaku berdebar setiap Mimi mendekati. Mataku pun tak kuasa ceria
sebelum melihat Mimi tertawa. Maka, ketika pulang sekolah itu kudekati
kelasnya. Aku melirik ke dalam. Mimi memperhatikan seksama keterangan guru di
hadapannya melalui bangku baris pertama. Simpul senyum terlukis di wajahku.
Tiba-tiba, Mimi
melihatku. Kuperhatikan ia yang memberi isyarat. “Tunggu aku, ya!” mungkin
begitulah maknanya. Aku langsung mengangguk setuju untuk menunggunya hingga
keluar kelas.
Dua menit, empat menit,
sepuluh menit kemudian kelas Mimi bubar. Aku perhatikan seksama, mencari-cari
wajah cantik Mimi di antara kerumunan teman sekelasnya. Oh! Itu dia.
Tanpa banyak bicara,
Mimi mendekatiku. Kurasakan jantung ini berdegup kencang. Ia menatapku dalam,
dapat kulihat dari sorot matanya. Keringatku mulai mengucur. Ia angkat
tangannya mendekati lenganku. Lembut yang kurasa saat tangan itu mengusap
lengan ini. Ia genggam tanganku. Tapi, aku merasakan sesuatu di balik genggaman
itu. Sesuatu yang Mimi berikan. Sepucuk surat.
Malamnya, kubaca surat
pemberian Mimi. Bagai orang gila, aku tertawa dan berbicara sendiri. Sungguh
berbunga-bunga hati ini. Hanya saja tak kutemukan dalam paragraf manapun
kalimat yang kucari. Sebuah pernyataan yang amat kunanti. Meski kecewa, tapi tak
apa. Akan kutulis balasan untuknya.
Sebuah surat membuatku
dan Mimi mendekat. Kami yang selalu bertemu di sekolah menjadi bertambah akrab.
Tapi, tak ada apapun antara kami. Meskipun aku mengetahui perasaan Mimi dan ia
pun mengetahui perasaanku. Tak satupun bernyali untuk mendahului.
“Boni! Aku dengar kamu
pacaran sama Mimi, ya?” pertanyaan Puput membuatku tersedak. Jus jeruk yang aku
seruput muncrat berantakan di atas meja kantin.
“Kamu dengar dari
siapa?” aku balik bertanya.
“Dari kakak-kakak kelas
tiga, sih. Tapi kayaknya satu sekolah udah tahu, deh. Benar nggak?”
“Nggak, kok. Aku dekat
sama Mimi, tuh cuma sebatas kepengurusan OSIS aja. Yah, secara aku ketua OSIS
dan Mimi bagian dari seksi kerohanian. Bukannya sebentar lagi ada peringatan
Hari Besar Islam?” jelasku mencoba meyakinkan Puput yang manggut-manggut.
Meskipun begitu, aku penasaran. Siapa orang yang menyebarkan gosip tentang hubunganku dan Mimi?
Rupanya tak cukup hanya
seluruh siswa, seluruh guru pun kini tahu gosip itu. Hal tersebut membuatku dan
Mimi tak nyaman.
“Mungkin seharusnya
kita nggak usah terlalu dekat, deh Bon.”
Ucap Mimi suatu hari. “Aku merasa nggak enak sama semuanya.”
“Kok, nggak enak?
Kenapa?” sedikit terkejut aku mendengarnya.
Mimi menggelengkan
kepala. “Aku merasa setiap sudut di sekolah selalu membicarakan kita. Aku pikir,
bila kita menjaga jarak mungkin semua itu akan berakhir,” jawabnya.
“Menjaga jarak, ya?” tanyaku
sedih.
Mimi mengangguk pelan,
matanya layu. Apakah kebersamaan kami akan berakhir?
Sepertinya benar.
Perasaanku pada Mimi benar-benar berakhir, mengiringi jarangnya kesempatanku
untuk berkomunikasi dengannya. Bulan-bulan terakhir di kelas tiga SMP, hatiku
berpindah haluan. Ada orang lain yang aku cintai. Meskipun terbatas pula
akhirannya.
Namun, hidup terus
mencari jalannya. Aku dan Mimi harus berpisah karena perbedaan sekolah. Ia
memilih SMA di luar kota. Jauh dari SMA yang kumasuki.
Lama tak kudengar kabar
dari Mimi. Hingga suatu saat aku diceritakan bahwa Mimi telah berulang kali
gagal melukis kisah asmara dengan beberapa laki-laki. Rupanya semua itu
hanyalah pelampiasan rasa sakit hatinya padaku yang dengan mudah membiarkan
cinta Mimi termakan waktu. Oh! Bodohnya aku selama ini. Aku membiarkan Mimi
tergantung dalam harapan kosong akan kelengkapan hatinya.
Rasa bersalahku
membangkitkan lagi cinta itu. Meski dingin, tapi manis. Cinta itu tak pernah terkubur
akhirnya. Walau datang beribu-ribu cinta lain yang berusaha menutupi, akan
kutangkis demi cintaku pada Mimi. Aku tak ingin sesal yang kedua kali. Maka,
tak satupun terajut kisah mesraku hingga masa SMA terakhiri.
Pendidikan baru yang
aku mulai, mengawali langkah pertamaku untuk mendekati Mimi kembali. Aku coba
membangun komunikasi dengannya. Walau sulit menatanya.
Maka suatu malam, saat
aku sedang menelepon Mimi.
“Mi! Sebentar, ya! Ada
panggilan masuk,” izinku pada Mimi yang sedang asik bicara.
“Oh! Ya udah, deh.
Diangkat dulu!” jawabnya.
Aku hold panggilan Mimi untuk menjawab
panggilan masuk yang nomornya tak kukenal tersebut. Tapi saat kujawab,
seseorang di seberang justru memutuskannya. Aku terheran-heran.
“Siapa, Bon?” Tanya
Mimi begitu aku unhold panggilannya.
“Nggak tahu. Nomor
baru,” jawabku. “Eh, Mimi! Kamu mau cari tahu nggak tadi nomor siapa? Tolong,
ya! Aku lagi dilanda krisis ekonomi, nih.” Aku memohon.
“Pake kesulitan ekonomi
segala,” Mimi menertawaiku. “Iya, deh. Sebutin nomornya!”
Sesuai permintaan Mimi.
Aku sebutkan nomor itu.
Satu menit, dua menit, lima
menit panggilanku diholding oleh
Mimi. Maka setelah tersambung kembali ….
“Siapa, Mi?” tanyaku
penuh penasaran.
“Orang nyasar,” jawab
Mimi singkat.
“Oh!”
“Bon! Udah dulu, ya!
Aku ada kuliah pagi besok. Lagian juga udah malam,” pamit Mimi tiba-tiba.
“Eh! Ya, udah kalau
besok kamu ada kuliah pagi,” jawabku.
“Assalamu’alaikum,”
salam Mimi.
“Waalaikumsalam.”
Trek! Mimi memutuskan
panggilanku.
Aku merasa ada yang
aneh pada Mimi. Kenapa tiba-tiba ia memutuskan untuk menghentikan obrolan? Ada apa sebenarnya?
Sejak telepon hari itu,
kabar Mimi menghilang. Jangankan menelepon atau mengirim pesan padaku,
pesan-pesanku saja tak pernah dibalasnya. Begitu pun saat kutelepon dia, tak
sekalipun diangkatnya.
“Ada apa denganmu,
Mimi?” batinku.
Lama waktu berlalu.
Hingga saat tiba waktuku mengetahui kebenaran dari masa lalu. Nomor yang aku minta Mimi untuk
menyelidikinya ternyata milik seorang wanita. Pada Mimi, ia mengaku bahwa
dirinya adalah kekasihku. Jadi, itu alasan Mimi menjauhiku?
“Aku nggak boleh diam
saja. Mimi harus tahu yang sesungguhnya. Orang itu bukan kekasihku,” tekadku.
Tak buang waktu, aku
segera menghubungi Mimi. Syukurlah kali ini ia mengangkat panggilanku.
“Halo, Milik?” bukaku.
“Aku ingin menjelaskan sesuatu. Orang itu, yang nomornya aku minta padamu untuk
kamu cari tahu, benar-benar bukan pacarku. Berani sumpah, saat itu aku nggak
punya pacar satupun.”
“Iya. Aku tahu, Bon.”
Suara Mimi lirih dan dingin.
“Kamu percaya sama aku,
kan?”
“Aku percaya sama
kamu,” jawaban Mimi belum meyakinkanku.
“Mimi! Kamu nggak
percaya, ya?”
“Aku percaya, kok.
Kalau begitu sudah dulu, ya! Ada tugas yang lagi aku kerjain.
Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Trek! Mimi memutuskan
panggilanku. Nada marah yang kurasa pada setiap ucapannya tadi. Mungkinkah
hatinya terlalu sakit akibat sayatan sembiluku yang membekas dalam? Hingga rasa
cintanya padaku harus mengalir ke luar, membuatnya beku dan terdiam. Kini,
sesal yang kurasakan.
0 komen:
Posting Komentar