Nah, ini adalah cerpenku yang entah keberapa juga.. hahaha... Let's enjoy it aja deh.. jangan lupa komentar yaa...
MY BROTHER’S LAST SMILE
“Kak Rio!” Rei kecil
membawa sepedanya mendekatiku. Maka kuperhatikan ia yang wajahnya membujuk.
“Bantu aku belajar
sepeda, yuk!” pintanya. Tangan Rei menarik-narik lenganku agar aku mengikutinya
menuju jalanan di depan rumah kami.
“Ayo naik! Aku pegang
dari belakang,” ujarku. Tapi Rei tak menurut. Ia menginginkan aku ikut
berboncengan dengannya. Aku turuti keinginannya dan segera naik ke atas
boncengan sepeda itu. Kemudian Rei mengayuh sepedanya dengan cepat.
“Jangan cepat-cepat!
Kamu baru saja bisa, Rei….” Nasihatku tidak diindahkan oleh Rei. Tapi, aku akui
kalau Rei memang pembelajar yang cepat. Ia segera bisa mengendarai sepeda meski
baru tiga hari kulatih.
“Rei! Kamu mau kemana?
Jangan ke jalan turunan itu!” tapi aku terlambat mencegahnya. Kami berada di
jalan turunan yang panjang sekarang.
Rei bersorak gembira
dan spontan melepas salah satu tangannya dari stang. Ia kehilangan kendali.
Sepeda yang kami naiki oleng dan terperosok ke selokan.
“Hiks…, hiks…,
sakiiit…,” tangis Rei. Ia berusaha berdiri. Pakaian dan tubuhnya basah oleh air
selokan, begitu pula aku.
Beberapa orang membantu
kami keluar dari selokan. Aku mengucapkan terimakasih kepada mereka kemudian
menuntun sepeda bersama Rei untuk bergegas pulang.
“Sudah! Sudah! Nggak usah
nangis!” ucapku menenangkan. Tapi Rei tetap menangis.
Ayah segera menghampiri
begitu kami sampai di depan pintu pagar halaman. Aku yakin, Ayah pasti marah
besar melihat kami basah kuyup begini. Aku menunduk ketakutan. Tapi, Rei masih
menangis.
“Sudah! Ayo, kita
bersihkan tubuhmu!” suara Ayah begitu mendekati kami. Ia mengangkat tubuh Rei,
menggendongnya. Kemudian Ayah berbalik kembali ke dalam rumah, meninggalkanku
yang masih berdiri menunduk. Kuangkat kepalaku, kulihat Rei terus menangis di
pelukan Ayah yang tetap berjalan tanpa mempedulikanku.
*******
Aku terbangun karena
terkejut. Kuperhatikan sekeliling. Kamar tidurku.
“Huft! Mimpi, ya?”.
Mimpi tentang masa kecilku. Ketika pertama kalinya kurasakan sepinya sendirian.
Hingga aku tumbuh dalam perasaan itu.
Terburu-buru kuturuni
tangga menuju ruang makan. Kulihat Rei di hadapanku, ia pun terburu-buru.
Sepertinya, bukan hanya aku yang bangun kesiangan pagi ini.
“Cepat sarapan, Rei!
Kamu harus berangkat sebentar lagi,” Ayah memanggil Rei seraya mebuatkan
sarapan untuknya. Tapi, ketika aku datang dan duduk di kursiku, Ayah diam.
Bahkan tidak menyapaku. Rasanya sedih. Rasa yang selalu kurasakan ketika
didekatnya.
“Ayo makan, kak!” Raya,
adik perempuanku, meletakkan roti buatannya di atas piringku. Aku tersenyum
menerimanya.
*******
Aku berjalan gontai di
lorong sekolah yang menuntunku ke lapangan basket. Seraya menunduk dalam,
merenungkan kesedihanku. Sedih? Kenapa aku sedih? Apa karena kejadian pagi
tadi? Tapi itu sering terjadi, kan? Tentu aku dapat menghadapinya.
“Kakak!” seseorang
menepuk bahuku.
“Hayo, melamun ya?” itu
Raya. Ia berjalan di hadapanku dengan matanya yang tetap menatapku. Kujawab
pertanyaan itu dengan gelengan kepala.
“Kak Rio mau kemana? Ke
lapangan basket, yuk!”
“Ngapain?”
“Kok, ngapain? Kemarin,
kan Kak Rei bilang ada pertandingan basket hari ini. Kita diminta nonton.”
“Oh, iya!” seruku
setelah ingat ajakan Rei kemarin.
“Kalau begitu, ayo
cepat ke lapangan basket!” Raya menarik lenganku dan memaksaku untuk
mengikutinya.
*****
“Yeah! Masuk lagi!” teriakan Raya setiap grup
basket Rei mencetak angka. Suaranya benar-benar mengganggu telingaku. Tapi,
perhatianku terfokus pada Rei. Larinya terlihat limbung. Ada yang tidak beres
sepertinya.
BRUK!
“Kak Rei?!” jerit Raya ketika melihat Rei
terjatuh. Rei ambruk tak sadarkan diri ketika sedang mendrible bola mendekati
ring lawan. Aku dan Raya berlari turun dari panggung penonton untuk
mendekatinya. Pertandingan terhenti sementara.
*****
PLAK!
Tamparan mendarat di pipi kiriku. Sakit.
“Ayah? Kenapa?” aku memandang Ayah, tak
mengerti.
“Seharusnya kamu dapat melindungi adikmu! Sudah
berapa kali Ayah katakan. Jaga Rei! Kamu benar-benar tidak berguna,” marah Ayah.
PLAK!
Ia menamparku sekali lagi. Lebih sakit.
“Sekali lagi Ayah dengar Rei terluka, Ayah tak
akan segan-segan menghukummu. Mengerti?”
“I, iya, Yah.” Jawabku mengangguk pelan seraya
menahan sakit. Ayah memutar tubuhnya dan pergi meninggalkanku. Saat itu
kuberanikan mendongakan wajah. Kulihat Rei yang telah sadar dan Raya yang sejak
tadi menjaganya, tengah memperhatikanku. Tanpa menghiraukan mereka, aku segera
beranjak dari sana.
“Rio!” kudengar suara Rei memanggil. Tapi, aku tak pedulikan itu.
Kunaiki tangga hingga lantai tiga rumah, kemudian
kulangkahkan kaki memasuki suatu ruangan penuh lukisan buatan Mama. Kubuka
pintu kaca menuju beranda. Terlihat hamparan laut di sana dengan kapal-kapalnya
yang akan bergemelap ketika malam tiba dan cakrawala yang seakan memotong
langit. Aku selalu merasakan keberadaan Mama dan perasaannya yang hampir selalu
menghabiskan waktunya di sini. Sebelum Mama meninggal.
Pipiku nyeri akibat tamparan tadi. Rasanya ada
tetesan yang mengalir di daguku. Ketika kusentuh, ternyata darah. Tapi, darah
itu tak sedikitpun membuatku panik. Entah sudah berapa tamparan yang ayah
berikan padaku karena kelalaianku menjaga Rei.
“Ma…,” terlintas senyum Mama yang mampu menenangkan
tangisku saat kecil dulu. Sampai saat ini bayangan itu masih terlihat jelas. Aku
juga ingat, kalimat yang selalu diucapkannya. Tak penah kulupakan hingga
sekarang. Kalimat yang membuatku bertahan hingga saat ini.
“Aku tidak sendirian. Mama akan selalu hidup
dalam hatiku,” begitulah kalimatnya.
“Rio!” kudengar suara Rei. Ia mendekatiku begitu
aku menoleh padanya dan memberikanku sapu tangan putih. Aku terima sapu tangan
itu dan segera mengusapkannya pada daguku, tentunya dengan menahan sakit.
“Maaf. Rio! Gara-gara aku, Ayah marah besar
padamu.” Permintaan maaf Rei membuatku tersentak. Ia menatapku.
“Sudahlah! Sudah biasa, kok. Ouch!” bicaraku
kacau karena menahan sakit di pipi. Tapi, aku paksakan tersenyum dan membalas
tatapannya. Sepertinya, Rei benar-benar khawatir.
“Aku gak apa-apa, Rei!” tambahku. Seketika raut
wajah Rei berubah sedikit tenang. Kemudian ia memutar tubuhnya, matanya menatap
lautan biru yang kini mulai gelap karena mega mendung memayunginya. Ia sangga
tubuhnya dengan tangan yang dilipatkan menempel pada batas beranda.
“Aku sama sekali nggak ingat wajah Mama. Alasan
kenapa Mama selalu berada di sini, ataupun suaranya. Aku hanya ingat sebuah
ruangan putih, sepi. Berkali-kali aku memasuki ruangan itu, sendirian.
Karenanya, saat sembuh, aku sangat senang. Tapi, sekarang, apakah aku harus
memasuki ruangan itu lagi? Padahal, jika aku sembuh, Ayah pasti akan berhenti
membedakanmu, kan?” ucap Rei tanpa sekalipun menatapku. Matanya nanar dan
berkaca-kaca.
“Kamu bicara apaan, sih? Aku nggak apa-apa
juga,” kudorong bahu Rei pelan.
“Tapi, itu sakit kan?” Rei menepuk pipiku pelan.
“Ouch! Jangan di tepuk, dong!” erangku
kesakitan.
“Tuh, benar kan?” Kemudian Rei tertawa
terbahak-bahak. Begitu pula aku. Meskipun sakit, tapi saat paling membahagiakan
ini tak akan pernah aku lewatkan.
*******
“Ayah! Tunggu, Ayah!” aku belari keluar rumah
mengejar Ayah yang akan mengantar Raya dan Rei ke sekolah dengan mobilnya.
Tapi, aku terlambat. Mereka telah meninggalkanku. Aku hanya terpaku menatap
sedan kecil tersebut seraya mengatur nafasku yang tersengal-sengal.
‘Padahal, jika aku sembuh, Ayah pasti akan
berhenti membedakanmu, kan?’. Kalimat Rei kemarin masih terngiang ditelingaku.
“Nggak mungkin, nggak mungkin. Nggak mungkin
Ayah membedakanku. Itu salah,” aku menyanggah kalimat itu berkali-kali. Mencoba
tidak percaya pada kata-kata Rei. Karena memang tidak akan mungkin itu terjadi.
Ayah membedakanku dengan Rei dan Raya hanya karena mereka sakit? Lucu sekali.
*******
“Ouch! Pelan-pelan, Raya!” keluhku ketika Raya
mengobati memar di wajahku.
“Ini juga udah pelan, kak. Tahanlah!” jawab
Raya, tangannya tetap mengusap-usapkan sapu tangan basah pada wajahku.
Terang saja sakit. Entah berapa kali Ayah
menamparku karena aku lalai menjaga Rei. Rei terjatuh dari tangga ketika di sekolah.
Jika aku ada di dekatnya, tentunya tak akan kubiarkan. Tapi, aku tahu kejadian
itu setelah seseorang memberitahukan bahwa Rei berada di ruang UKS. Katanya, Rei
tiba-tiba pingsan ketika menuruni tangga. Karena tak ada seorang pun di
sekitarnya, maka tubuhnya yang lemas itu terjatuh berguling-guling ke bawah.
Ini semua terjadi karena kanker darah Rei kambuh
lagi. Ayah memintaku untuk melindunginya. Tapi, aku tak bisa selalu ada di
sampingnya, kan? Kali ini, Ayah pasti akan mengurungku di kamar selama dua
hari. Meski hukuman ini lebih baik daripada hukuman tidur di luar rumah, tetap
saja, sendirian.
“Raya!” suara Ayah, mengejutkan. Ia meminta Raya
untuk meninggalkanku. Sebelum pergi, Raya menatap ke arahku. Ia tampaknya ragu
dan khawatir. Tapi, aku yakinkan bahwa aku baik-baik saja. Raya tersenyum dan
ia beranjak keluar dari kamarku.
Kutatap wajah Ayah, merah padam. Ia mencabut
kunci dari pintu kamarku, menutup pintunya, kemudian menguncinya dari luar.
Mengurungku di dalam, sendirian.
*******
‘Padahal, jika aku sembuh, Ayah pasti akan
berhenti membedakanmu, kan?’
‘Seharusnya kamu dapat melindungi adikmu! Sudah
berapa kali Ayah katakan. Jaga Rei! Kamu benar-benar tidak berguna.’
Mataku menatap lurus pada layar handphone dan jari-jariku asyik
memainkan keypad-nya. Tapi, pikiranku
sibuk dengan kalimat Rei dan Ayah tempo hari. Kalimat-kalimat yang benar-benar
menampar batinku. Sesak rasanya dada ini jika mengingatnya. Tapi, aku sulit
menghilangkan keduanya dari otakku.
“Rei?” gumamku ketika melihat ia keluar dari
kelasnya. Aku sengaja bersembunyi dan mengawasinya diam-diam dari jauh, untuk
mencegah Rei dari bahaya. Sesuai perintah Ayah.
Rei terlihat kebingungan. Matanya berputar
memperhatikan sekitar, seperti ada yang dicarinya. Segera ku bersembunyi di
balik dinding agar ia tak menemukanku. Setelah sepertinya dirasa aman, ia
melanjutkan perjalanannya.
Sekitar lima belas menit aku ikuti Rei. Hingga
kami sampai di sebuah pemakaman umum. Rei masuk ke dalamnya, begitu pula aku.
Ia terus berjalan menuju makam yang akan dikunjunginya. Tak lama ia berhenti,
ia telah sampai di makam tujuannya. Itu, kan… makam Mama.
“Ma!” suara Rei. Ia berlutut di samping makam.
Tangannya mengusap-usap batu nisan. Beberapa saat ia diam, kemudian mengambil
sesuatu dari dalam ranselnya. Itu seikat bunga. Rei menaruhnya di atas makam.
“Ma, kumohon. Jangan ambil kebahagiaan Rio. Ia cuma
punya satu kebahagiaan. Cuma dari Mama,” Rei membicarakan tentangku. Tapi, aku
tidak mengerti apa maksud kata-kata itu.
“Maafkan aku, Ma. Aku nggak bisa menjaga yang
Mama berikan dan nggak bisa memenuhi harapan Mama, untuk terus sehat. Karena
sakit itu datang lagi, Ma.” Kalimat Rei ini, rasanya tidak asing.
Seketika pikiranku kembali ke masa lalu. Aku
pernah mendengar kalimat itu dari Mama. Sehari sebelum operasi transplantasi Rei.
“Hanya ini yang dapat aku berikan. Aku harap ia
dapat selalu sehat dan tak pernah merasakan penderitaan seperti ini saat dewasa
nanti,” begitu kalimat Mama. Ia mengatakannya seraya mengusap lembut kepalaku. Kemudian,
setelah hari itu aku tidak pernah melihat wajah Mama lagi hingga kini. Mama
meninggal saat operasi Rei dan aku tak tahu apa penyebabnya.
“Tapi, terimakasih Ma. Dengan sumsum ini, aku
dapat menikmati hidupku lebih lama bersama Ayah, Rio, dan Raya,” suara Rei
lagi. Aku tercengang mendengarnya.
Jadi, Mama meninggal karena mendonorkan sumsum
tulangnya kepada Rei. Mama yang baru saja sembuh dari luka kecelakaannya,
melakukan itu. Kenapa? Kenapa tak ada seorang pun yang memberitahukanku?
Padahal, hanya Mama yang aku miliki dalam hidup.
“Ri… Rio? Sejak kapan kamu di sini? Kamu dengar
semuanya?” tanya Rei. Ia terkejut melihatku yang telah berdiri di belakangnya.
“Kenapa… KENAPA NGGAK PERNAH MEMBERITAHUKU?”
teriakku penuh gejolak. Kutatap mata Rei.
“Rio, aku nggak bermaksud untuk
menyembunyikannya.” Rei melangkah maju.
“Jangan mendekat!” cegahku. Kukepalkan tangan,
benar-benar ingin menghajarnya. Tapi, Rei adalah saudara kembarku dan hal
tersebut tak akan mengembalikan Mama. Namun, amarah ini….
“Lakukan, Rio! Aku tahu betapa hancurnya hatimu.
Lakukan saja!” ucap Rei, pasrah. Ia memejamkan matanya.
Mataku terbelalak. Ini kesempatanku untuk
membalasnya, kan? Kuangkat tanganku. Ingin rasanya kuhajar wajah itu, wajah
yang sama denganku. Wajah Rei, adik kembarku yang juga memiliki bagian tubuh
Mama di tubuhnya. Tapi,….
“AKU NGGAK BISA MELAKUKAN INI!”
“Rio!” Rei berlari mengejarku yang melarikan diri.
Aku tak akan pernah bisa melukainya. Semarah apa
pun diriku pada Rei, sebenci apa pun diriku pada Rei, sekecewa apa pun diriku
pada Rei, meski pun hati ini hancur karena Rei, ia tetap adik kembarku. Apa pun
yang akan aku lakukan padanya, tidak akan pernah mengembalikan Mama. Aku tahu.
Saat itulah, hatiku menjadi lebih sakit. Hingga kurasakan aliran air di pipiku
menderas ketika aku menyekanya.
“Rio! AWAS!” teriakan Rei menyadarkanku. Ketika
hendak menoleh kepadanya, kulihat sebuah mobil hitam melaju kencang ke arahku.
Suara klaksonnya menyelimuti seluruh kesadaranku. Tapi, samar kulihat Rei
berlari mendekat.
BRAKK!!
*******
PLAK!
“Kau masih saja membiarkan Rei terluka, bahkan
ini amat parah dari sebelumnya. Bukankah sudah Ayah perintahkan. Lindungi Rei!
Kau benar-benar anak yang tidak berguna.”
PLAK!
Suara amarah Ayah? Suara itu membuatku membuka
mata. Aku berada di suatu ruangan yang sering dikatakan Rei. Putih. Kulihat
pada jendela ruangan ini. Ada aku dan Ayah di luarnya. Aku, ada di luar sana?
PLAK!
“Ayah sungguh kecewa padamu, Rio. Jika terjadi
sesuatu pada Rei, semua adalah kesalahanmu. Saat Rei sembuh, Ayah ingin matamu
tak sedetikpun melepasnya. Mengerti?”
“Aku mengerti, Yah. Aku mengerti apa yang selalu
Rio rasakan dari Ayah,” jawab Rei.
Mata Ayah terbelalak. Ia terkejut karena yang
ada di hadapannya bukanlah aku, tapi Rei. Rei menyamarkan tanda yang
membedakannya denganku.
“Rei? Kamukah itu?” Tanya Ayah dengan suara yang
telah melembut kembali. Tangannya mencoba menyentuh wajah Rei.
PLAK!
Rei menepis tangan Ayah dengan keras.
“Aku nggak butuh kebaikan Ayah. Bagaimana dengan
Rio, Yah? Apa Ayah nggak khawatir sedikit pun dengan Rio?” ujarnya.
Ayah menurunkan tangannya yang kuyakin terasa
sakit. Mungkin lebih sakit daripada setiap tamparannya di pipiku. Namun mata
Ayah tetap menatap Rei dengan syahdu. Tak ada rasa amarah. Sebuah tatapan yang
tak pernah kudapatkan.
“Rio seorang kakak, Rei. Kakak yang harus
menjaga setiap adiknya. Lagipula, kau sakit. Siapa yang bisa menjagamu kecuali
Rio? Ayah tak bisa selalu bersamamu,” jawab Ayah dengan nada ramahnya.
“Begitu juga Rio, Yah! Jika memang sakit yang
aku miliki ini alasan Ayah membedakan kami, maka Rio lebih pantas mendapatkan
itu, Yah! ” balas Rei.
“Rio?” wajah Ayah berubah menyeramkan.
“Dia satu-satunya anak yang beruntung dari kau
dan Raya, tak ada yang perlu dilindungi dari dirinya…,” lanjut Ayah.
“AYAH SALAH! RIO-LAH YANG HARUS DILINDUNGI!”
teriak Rei.
“KAU BERANI MEMBANTAH AYAH?” Ayah mengangkat
tangannya hendak menampar Rei, untuk pertama kalinya.
“AYAH, JANGAN!”
PLAK!
Aku berlari kehadapan Ayah, menggantikan Rei
menerima tamparannya. Sakit sekali, hingga tubuhku terjatuh ke arah Rei. Bahkan
perban yang menutupi luka di kepalaku terbuka. Beberapa tetes darah muncrat
dari luka itu.
“Rio! Apa yang kau lakukan?” Rei panik
melihatku.
“Rei? Kamu nggak apa-apa, kan? Maaf. Aku nggak
bisa melindungimu,” ucapku lirih seraya mengusap darah beku di dagunya. Kurasakan
lengan Rei menyangga tubuhku yang terbaring.
“Bodoh! Buat apa kamu minta maaf? Aku yang
seharusnya berterimakasih. Terimakasih, Kak Rio.” Ucapan Rei menyunggingkan
senyum di bibirku. Itu panggilannya padaku ketika kami kecil.
Kurasakan luka di kepalaku kembali mengeluarkan
darah. Sepertinya lebih banyak. Alirannya perlahan membanjiri wajahku. Mata Rei
terbelalak menyaksikannya.
“Dokter! Kita harus panggil dokter, Ayah.” Panik
Rei.
Sepertinya Ayah tak mendengarkan Rei. Ia masih
memperhatikan tangannya yang terkena cipratan darah ketika menamparku. Wajahnya
pucat. Seperti ada kenangan pahit yang menghampiri pikirannya. Matanya menatap
wajahku penuh ketakutan.
“Ayah!” panggil Rei lebih keras. Barulah Ayah
memberikan perhatiannya.
“Cepat panggilkan dokter!”
Ayah langsung berbalik hendak memanggil dokter.
Tapi kutahan kakinya. Ia menatapku ketika kugelengkan kepala.
“Kenapa?” tanya Rei sedikit gusar. Ayah berlutut
di sampingku, di hadapan Rei.
“Aku melihat Mama datang. Ia meminta diriku
untuk ikut dengannya,” jawabku. Rei terlihat terkejut.
“Ayah…. Bolehkah aku ikut dengan Mama?” tanyaku
lagi. Aku mulai sulit menggerakkan tungkaiku. Rasanya seluruh udara di
sekitarku menjadi dingin. Kuperhatikan wajah Ayah, matanya basah. Ada aliran
air di pipinya ketika ia mengangguk.
“Rio! Jangan pergi! Ayah! Cepat panggilkan
dokter! Kak Rio pasti selamat, kan? Ayah!” Rei mengguncang-guncang bahu Ayah.
Kugenggam tangan Rei yang menyangga tubuhku untuk mendapatkan perhatiannya.
“Nggak apa-apa Rei. Aku akan selalu bersamamu,
kok. Seperti Mama yang selalu menyertaimu,” ucapku. Kurasakan sesuatu mengalir
melewati wajahku. Bukan air mata, tapi darah dari lukaku yang terus menderas.
“Rio! Bertahan, Rio! Ayah, lakukan sesuatu,
Yah!” Rei semakin panik.
“Ayah akan panggilkan dokter,” ucap Ayah. Ia
beranjak bangun, namun Rio menarik pakaiannya.
“Maafkan aku, Ayah! Aku tidak menjadi anak yang
seperti Ayah harapkan. Maafkan aku karena tidak bisa menjaga Rei hingga akhir,”
ujarku.
“Sudahlah, nak! Kau sudah melakukan segalanya.
Ayahlah yang salah karena terlalu memaksakanmu, Rio. Kau mau kan, memaafkan
Ayahmu ini?” tanya Ayah.
Segera kuanggukkan kepalaku untuk menjawab
pertanyaan tersebut. Entah mengapa, tapi hatiku terasa bahagia. Luka di kepala
ini pun menjadi tak berarti karena kebahagiaan itu. Inilah pertama kalinya Ayah
memperhatikanku. Tapi, mataku lelah sekali. Mungkin aku bisa tidur sebentar. Rei
tentunya tak keberatan membiarkan lengannya menjadi alas tidurku, kan? Perlahan
kututup mataku dan mulai bermimpi. Mama memanggilku berkali-kali, semakin lama
semakin dekat, tangan lembutnya mengajakku untuk pergi.
“Rio! Sadarlah, Rio! Buka matamu!” Rei berteriak
seraya mengguncang-guncang tubuhku. Aku terbangun dari tidurku yang belum
benar-benar pulas. Kulihat wajah Rei, wajah yang sama sepertiku, basah dan
merah.
“Ayah akan menemui dokter,” suara Ayah, kemudian
ia berlari meninggalkan kami.
‘Rei, kenapa menangis? Aku akan bertemu dengan
Mama. Aku akan menyampaikan perasaanmu padanya. Aku berjanji,’ kalimat yang
ingin kukatakan pada Rei. Sulit sekali kuucapkan karena rasa lelah ini.
‘Maaf Rei, tapi Mama sudah menungguku lama di
sana. Aku harus segera menghampirinya. Kita pasti akan bertemu lagi. Karenanya,
jangan ucapkan selamat tinggal, ya.’ Kututup mataku untuk beristirahat.
Mama kini di hadapanku. Kuraih tangannya yang
lembut itu. Segera saja ia menggenggam tanganku dan mengajakku terbang dengan
sayapnya. Saat terbang itu, tampak gambaran yang muncul. Itu adalah aku ketika
kecil. Ketika sendiri di rumah menunggu kepulangan Mama dari rumah sakit
setelah menjenguk Rei yang dirawat karena kanker darah. Sedangkan, Ayah tetap
di sana untuk menjaganya. Tapi, sekarang aku tidak sendiri lagi. Karena Mama
akan selalu ada di sampingku. Selamanya.
*******
Malam itu, Rio meninggal dunia di dekapanku. Ia
meninggal karena kekurangan darah akibat lukanya yang sulit menutup. Setelah
diselidiki, rupanya ia menderita hemofilia. Stadium awal memang. Tapi, untuk
luka sebesar itu, tentu saja darahnya akan sulit untuk membeku dengan cepat.
Nenek dari Mama adalah pembawa hemofilia.
Sepertinya semua berawal dari sana. Karena itulah Mama tidak hanya pembawa
kanker darah, tapi juga pembawa hemofilia. Sepertinya, darah kami sudah
ditakdirkan untuk semua ini.