Cute Brown Spinning Flower

7.7.16

The Beautiful of Friendship - Chapter 29

Senin pagi saat Ira hendak memakai sepatu untuk berangkat sekolah, terlihat kesibukan di rumah tetangganya yang telah lama kosong. Truk pengangkut barang terparkir di halaman dan beberapa orang mengangkut barang-barang ke dalamnya. Sepertinya ada keluarga yang pindah ke sana. Ira menjadi teringat pertanyaan Fami, saat ia pertama kali mengikuti Ira ke rumah.
“Itu rumah kosong, Ra?” tanya Fami.
“Iya. Kamu tinggal di sana aja, Fam!” jawab Ira.
“Lho, kenapa?”
“Kan bisa ketemu teman-temanmu... Hihihihi....” Ira memeragakan gaya hantu yang sedang menakut-nakuti.
“Aku bukan hantu tau...,” jawab Fami seraya menjulurkan lidah.
PAK!
Ira memukul pipinya. Ia berusaha mengendalikan diri, kalau tidak ia akan kembali menangis saat mengingat Fami. Ira menarik nafas dalam dan menghembuskannya kembali. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mengikhlaskan kepergian Fami.
“Bu, aku pamit ya!” serunya saat hendak berangkat sekolah.
******
Saat Ira memasuki kelas, rupanya Irfani, Irfan dan Lara sudah datang terlebih dahulu. Mereka sedang bersenda gurau membicarakan sesuatu.
“Pagi semuanya,” sapa Ira seraya tersenyum riang. Ia menyimpan ransel di bangkunya.
“Lho, kok, nggak pada jawab?” tanyanya kemudian saat ia tak mendengar jawaban dari ketiga temannya itu. Mereka justru diam membeku memperhatikan Ira yang terbengong kebingungan. Sampai akhirnya Irfani melompat merangkul Ira.
“Ira...! Akhirnya kamu ketawa lagi,” ujar Irfani, melompat kegirangan saat memeluk Ira. Ia begitu senang mengetahui temannya kembali tersenyum.
“Haha, iya. Maaf, ya udah membuat kalian khawatir,” jawab Ira.
“Syukurlah. Aku pikir kau akan terus cemberut selamanya,” ujar Lara. Ira hanya tertawa saja menjawabnya.
“Udah nggak apa-apa, sekarang?” tanya Irfan. Ira tersenyum dan mengangguk.
****
Pada jam istirahat pertama, Ira bermaksud untuk berkunjung ke kelas Ana. Ia ingin mengucapkan terimakasih. Jika saja Ana tak mengunjunginya waktu itu, mungkin ia masih bersedih hingga saat ini. Meski pun Ira tak bisa memberikan apa-apa sebagai balasan, setidaknya Ana tahu bahwa ia kini dapat menerima keadaannya. Ketika, Ira sedang berjalan menuju kelas Ana, ia melihat Irfan di hadapannya.
“Irfan!” panggil Ira. Ia berlari kecil mendekati Irfan.
Irfan memutar tubuhnya, menghadap Ira.
“Eh, Ira. Ada apa?”
“Kamu mau ketemu, Ana kan? Barenglah. Aku juga mau ke sana,” jawab Ira saat telah di hadapan Irfan.
“Boleh. Ayo!” Irfan memutar tubuhnya kembali dan mulai berjalan. Ia memperhatikan Ira sepanjang perjalanan. Ira terlihat lebih ceria dari minggu sebelumnya.
“Ira kayaknya senang banget hari ini?” tanyanya kemudian.
“Oh, ya?” Ira menjawab dengan cengar-cengir.
Irfan kembali memperhatikan jalannya. Mereka hampir tiba di kelas Ana. Dari kejauhan Irfan dapat melihat Ana sedang bersenda gurau di depan kelas bersama seorang teman lelakinya. Irfan tak dapat melihat wajah lelaki tersebut karena posisinya yang membelakangi mereka. Ana terlihat begitu akrab dengannya.
“Lho, Irfan. Kok, kamu berhenti?” tanya Ira saat ia menyadari Irfan tertinggal olehnya.
Rupanya Ana menyadari kedatangan Ira dan Irfan saat itu.
“Irfan! Ira! Cepat kemari!” teriak Ana seraya melambaikan tangan.
Tiba-tiba Irfan berjalan cepat dan meninggalkan Ira. Ia menyelipkan diri diantara Ana dan teman lelakinya. Ira yang tadinya bengong atas apa yang dilakukan Irfan, kini mulai mengerti.
“Hoo, cemburu toh,” gumam Ira sambil cekikikan. Ia berjalan mendek saat Ana hendak memperkenalkan temannya tersebut.
“Kenalin! Ini....”
“Irfan. Pacarnya Ana,” potong Irfan. Ia menjulurkan tangannya kepada laki-laki itu. Ira kembali cekikikan melihat tingkah laku Irfan. Laki-laki itu membalas jabatan tangan Irfan.
“Aku sepupunya Ana, namaku Fami.” Ujarnya.
“Oh, sepupu toh.” Irfan menggaruk-garuk kepalanya. Wajah Irfan memerah malu.
“Fami?!” seru Ira.
Merasa namanya dipanggil, Fami menoleh ke arah Ira.
Ira terkejut. Fami yang kini di hadapannya mirip dengan Fami yang bertemu dengannya di gudang sekolah dulu. Tapi, bagaimana ini bisa terjadi? Apakah mereka Fami yang sama. Tapi, tidak mungkin.
“Hai, Ira! Bagaimana kabarmu? Ini aku, Fami.” ucap Fami.
“Bagaimana bisa?” gumam Ira. Ia memperhatikan Fami dengan tatapan tak percaya.
“Hei, Ira! Apa kau pernah bertemu dengan Fami sebelumnya? Anak ini terus-menerus menanyakanmu sejak ia bangun seminggu yang lalu,” jelas Ana. Ia menarik-narik kerah kemeja Fami agar tubuh Fami yang tinggi membungkuk dan sejajar dengannya.
“Bangun? Maksudnya gimana?” tanya Irfan.
“Fami mengalami kecelakaan tepat saat pergantian semester tahun ini dan menyebabkannya koma selama tiga bulan lebih, dan baru sadar minggu lalu. Saat aku menemuinya, ia langsung menanyakan keeadaanmu, Ra. Apa kalian pernah bertemu?” jelas Ana.
“Sudah kubilang bukan begitu. Aku bermimpi bertemu Ira di gudang sekolah ini. Aku juga mengikuti Ira fieldtrip dan melaporkan kasus perampokan pada polisi dua minggu lalu,” jelas Fami.
“Benarkah?” tanya Irfan lagi.
“Sudah kubilang, kan, nggak mungkin kamu bermimpi seperti itu. Fieldtrip dan perampokan itu kita benar-benar mengalaminya, dan Ira yang melapor pada polisi,” tambah Ana lagi.
“Sebenarnya...,” Ira angkat bicara.
“Sebenarnya, bukan aku yang melaporkan perampokan itu pada polisi. Tapi Fami yang melakukannya. Karena saat itu, hanya aku saja yang dapat melihat dan mendengar Fami, makanya Fami memintaku untuk bilang kalau aku yang melapor.” Ira menjelaskan.
“Iya. Tepat seperti yang Ira katakan,” dukung Fami.
“Jadi, kau Fami yang itu?” tanya Ira kemudian. Matanya mulai berkaca-kaca.
Fami tersenyum. Ia pun mengangguk.
Ira berlari mendekati Fami dan memeluknya. Air matanya menitik perlahan. Ia bersyukur dipertemukan lagi oleh Fami yang selama ini dirindukannya. Bahkan ia dapat menyentuhnya. Fami benar-benar nyata sekarang.
“Jadi, mulai besok kita bisa pulang bareng. Yee!” seru Fami tiba-tiba.
“Pulang bareng? Ah! Jadi yang tadi pagi pindahan ke rumah sebelah itu keluargamu?” tanya Ira. Fami mengangguk sambil senyum-senyum. Mereka kembali berpelukan.
-tamat-

0 komen:

Posting Komentar