Cute Brown Spinning Flower

7.7.16

The Beautiful of Friendship - Chapter 28

Rencana perampok-perampok tersebut berhasil digagalkan. Pak Mazie meminta rekannya untuk membawa mereka menuju kantor polisi. Lara dan keluarganya dapat merasa aman sekarang.
“Terimakasih, Pak! Kami sekeluarga benar-benar mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya,” ujar Pak Dama pada Pak Mazie.
“Berterimakasihlah pada Tuhan dan seseorang yang melapor pada kami bahwa telah terjadi perampokan di rumah ini. Tanpanya, tentu kita tak mungkin datang tepat waktu,” balas Pak Mazie.
“Siapa, Pak yang melapor?” tanya Bu Dama.
“Kalau tidak salah, seorang anak perempuan bernama Ira, menelepon kami dan melaporkan perampokan ini,” jawab Pak Mazie.
“Aku?” tanya Ira. Lara segera menghampiri Ira dan memeluknya.
“Terimakasih Ira. Terimakasih semuanya,” ucap Lara. Ia melepaskan pelukannya.
Ira bingung. Ia sama sekali tak menelepon polisi. Tapi, bagaimana Pak Mazie bisa berkata kalau ia yang memanggil polisi?
“Iya, iya. Tapi aku nggak...,” Ira mencoba mengonfirmasi, kata-katanya terpotong saat Fami muncul di hadapannya.
“Aku yang menelepon, Ra. Aku menggunakan nama dan suaramu,” ujar Fami.
“Nggak kenapa, Ra?” tanya Lara.
“Nggak kenapa-kenapa, kok. Iya, sama-sama ya Lara,” jawab Ira sambil cengar-cengir. Tentunya nggak akan ada yang mempercayai jika ia katakan ada roh yang menyamar menjadi dirinya untuk menelepon polisi, kan?
“Baiklah, Pak! Kami permisi dulu,” pamit Pak Mazie.
“Sekali lagi, terimakasih banyak, Pak.” Balas Pak Dama. Beliau berjabat tangan dengan Pak Mazie sebelum memasuki mobil patrolinya.
*****
Lima hari kemudian.
“Ira! Ayo, berangkat bareng aku!” Lara memanggil Ira dari dalam mobilnya saat ia melihat Ira sedang berjalan menuju sekolah. Ia meminta supir untuk menepikan mobilnya.
“Nggak usah, La. Aku jalan saja,” tolak Ira.
“Udah, nggak apa-apa. Ayo!” Lara turun dari mobil dan menarik Ira masuk ke dalam mobil. Akhirnya Ira menurut dan mengikuti Lara.
Selama di dalam mobil, Ira hanya diam. Ia tak terlalu merespon Lara yang mengajaknya mengobrol.
“Kamu kenapa, Ra? Kok, murung? Lagi ada masalah, ya?” tanya Lara kemudian.
“Nggak apa-apa, kok La. Thanks ya udah nebengin,” jawab Ira. Ia menarik bibirnya dengan paksa agar terlihat tersenyum. Lara jadi bingung mesti bagaimana.
Tak lama kemudian, mereka sampai di depan gerbang sekolah. Lara dan Ira turun dari mobil dan bersama-sama berjalan menuju kelas. Rupanya Irfan dan Irfani sudah berada dalam kelas.
“Pagi, Ira dan Lara.” Sapa Irfan. Ira hanya menjawab dengan senyum saat melewati Irfan.
“Pagi juga Irfan,” jawab Lara.
“Ira! Lara! Irfan jadian sama Ana, lho,” ujar Irfani tiba-tiba.
“Ssstt! Irfani, jangan ribut-ribut!” irfan menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
“Wah, beneran? Traktiran, ya traktiran,” ucap Lara.
“Selamat ya, Irfan,” ucap Ira. Ia mengatakannya dengan nada yang lemah dan sangat tak bersemangat. Irfan, Irfani, dan Lara yang tadinya bercanda jadi ikut terdiam. Ira tak seperti biasanya, itulah yang mereka simpulkan.
Saat jam istirahat, Irfan menceritakan keadaan Ira pada Ana.
“Ira sama sekali nggak cerita?” tanya Ana. Irfan menggelengkan kepalanya.
“Dari kapan Ira seperti itu?” tanya Ana lagi.
“Dua atau tiga hari belakangan ini lah,” jawab Irfan. Ia menyeruput es jeruk yang dibelinya.
“Hm, kenapa ya?”
“Coba kamu ke rumahnya, besok sabtu atau minggu! Siapa tahu kalau sama kamu, Ira mau cerita.”
“Oke, deh.”
Esoknya, Ira masih memasang wajah murung. Sepulang sekolah, ia langsung masuk ke kamarnya dan tidak keluar sampai sore hari. Ibunya mulai merasa khawatir.
“Ira!  Makan siang dulu, sayang!” panggil Bu Nazar. Ia mengetuk pintu kamar Ira.
“Nanti saja, Bu.” Jawab Ira dari dalam kamarnya. Ia kembali menutup wajah dengan bantal, mencoba menahan air matanya. Banyak yang ia pikirkan empat hari belakangan ini. Tapi tak kunjung juga menemui jalan keluar. Ditambah ia tak dapat melakukan apa pun untuk memecahkan masalahnya itu. Hal tersebut menambah kesedihannya.
“Ira!”
Seseorang memanggil. Ira menyingkirkan bantalnya dan melihat arah datangnya suara.
“Ana? Kok, kamu bisa masuk?” tanya Ira. Ia mengusap-usap wajah agar tak terlihat seperti setelah menangis.
“Pintunya nggak terkunci, kok.” Jawab Ana.
Ira menatap pintu kamarnya. Rupanya ia lupa untuk mengunci pintu tersebut. Tapi, tetap saja, bagaimana Ana bisa masuk ke kamarnya tanpa menimbulkan suara sedikit pun?
“Ada perlu apa kemari?” tanya Ira sedikit terganggu.
“Aku tahu, mungkin kamu sedang ingin sendirian sekarang. Tapi, kalau sampai nggak makan, nanti tubuhmu bisa sakit, lho.” Ana mendekati Ira dan duduk di tepi ranjangnya. Ia menyimpan kotak makan yang Bu Nazar siapkan untuk makan siang Ira di meja dekat ranjang.
“Aku nggak lapar,” jawab Ira lirih. Ia kembali menundukkan kepala. Ana memperhatikan mimik wajah Ira yang kacau. Seperti merasa kehilangan.
“Kamu nggak cemburu, kan aku jadian sama Irfan?” tanya Ana tiba-tiba. Ira tertegun.
“Eh? Nggak kok, nggak. Bukan karena itu. Aku ikut senang atas jadiannya kalian,” jawab Ira. Ia memaksakan diri untuk tersenyum,
“Hehe, becanda kok, becanda.” Ujar Ana sambil cengar-cengir.
“Tapi, ya Ra. Menurutku, nggak usah berlarut-larut sedih hanya karena ditinggal seseorang kan?”
“Kok, kamu tahu?”
“Jadi, tebakanku benar, ya? Siapa, Ra? Mau cerita kepadaku?” tanya Ana.
Ira tak langsung menjawab. Ia berjalan mendekati meja belajarnya dan mengambil selembar kertas yang terlipat. Ia memberikan lembaran itu kepada Ana.
“Surat?” Ana membuka lembaran tersebut dan membaca isinya hingga selesai. Surat berisi ucapan selamat tinggal dari seseorang yang ditujukan pada Ira. Jadi, inikah yang belakangan ini Ira pikirkan? Pengirimnya...,
“Fami?”
“Aku bertemu dengannya saat terkurung di gudang sekolah. Ia selalu membantuku, bahkan saat aku dijauhi oleh teman-temanku sampai kasus di rumah Lara kemarin. Fami masih ada. Sampai lima hari yang lalu, aku temukan surat ini dan Fami nggak pernah muncul lagi.” Ira menangis.
Ana mendekati dan memeluknya. Ia sebenarnya tidak begitu mengerti yang dibicarakan oleh Ira. Jika Fami ini selalu bersama Ira, bahkan saat kasus perampokan di rumah Lara tempo hari, seharusnya Ana bertemu dengannya. Tapi, yang Ana tahu, hanya ia, Ira, Irfan dan Irfani yang berada di sana. Namun, jika Fami ini hanya khayalan Ira, kenapa perasaan Ira terasa begitu nyata?
“Sabar, ya Ra. Semua yang hilang pasti ada penggantinya,” hibur Ana.
-to be continued-

0 komen:

Posting Komentar