Cute Brown Spinning Flower

7.7.16

The Beautiful of Friendship - Chapter 27

“Kurang ajar! Kemana pedet dan anak itu?” umpat Boss perampok. Ia memperhatikan arloji di pergelangan tangannya. Sudah sepuluh menit berlalu sejak Pedet mengantar Ana ke kamar mandi. Tak lama Ana muncul di depan pintu bersama Pedet. Namun, Pedet kini menutup kepalanya dengan sebuah topeng kain.
“Oh, sudah ke kamar mandinya bocah?” pertanyaan Boss perampok tak dijawab oleh Ana. Pedet mendudukan Ana di posisi awalnya.
Tiba-tiba terdengar suara deringan telepon rumah Lara. Boss perampok mendekati pintu gudang untuk mengamati keadaan sekitar. Kemudian ia melihat telepon rumah di meja dekat meja makan.
“Pedet! Joki! Awasi mereka!” perintahnya. Boss perampok keluar dari dalam gudang dan berjalan menuju telepon tersebut.
Pedet mundur beberapa langkah sehingga kini ia berada di belakang perampok yang bertubuh tinggi bernama Joki itu. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam pakaiannya. Sebuah gerusan coet yang terbuat dari batu. Pedet mendekati Joki dan memukulkan batu tersebut pada bahu Joki sebanyak tiga kali. Joki pun jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri.
“Kenapa kamu memukul temanmu sendiri?” tanya Pak Dama yang tak habis pikir.
Pedet  kemudian membuka topeng kainnya. Rupanya itu bukan Pedet, tapi Ira. Ia menyamar sebagai Pedet karena tubuh mereka yang hampir sama. Sehingga Boss peraampok pasti tak dapat membedakan jika wajah Ira ditutup.
“Ira...,” ucap teman-temannya hampir bersamaan. Ira memberikan tanda untuk tetap tenang.
Ia secepat mungkin melepaskan ikatan dari Pak Dama, Bu Dama, Lara, Irfani, Ana dan Irfan. Kemudian mereka mengikat Joki. Irfan mengintip ke arah telepon untuk mengamati Boss perampok.
“Boss perampok itu masih sibuk dengan telepon,” ucap Irfan.
“Kita bisa pergi lewat pintu belakang. Aku dan Ana sudah membuka kuncinya sehingga kita mudah keluar,” ujar Ira. Lara dan keluarganya tampak lega.
Mereka keluar satu persatu dari gudang tersebut. Diawali oleh Pak Dama, Bu Dama, Lara, kemudian Irfani. Sedangkan Irfan masih mengamati Boss perampok.
“Ana! Ayo! Giliranmu,” Irfan menggerakkan tangannya, mengisyaratkan Ana untuk segera keluar dari gudang.
“HEI! Berhenti kalian, bocah!” rupanya Boss perampok menyadari bahwa sanderanya telah bebas. Ia mengangkat pistolnya dan mengarahkan pada Ana yang saat itu baru saja keluar dari gudang.
“Ana, awas!”
DOR!
Tembakannya meleset. Irfan berhasil mendorong Ana sehingga terhindar dari bidikan. Boss perampok berlari mendekati gudang. Irfan membantu Ana bangun dan menariknya menuju pintu dapur.
“Irfan tunggu! Ira masih di dalam,” ujar Ana. Ia melepaskan pegangan Irfan dan kembali masuk ke dalam rumah. Irfan menyusulnya. Saat mereka tiba di pintu gudang...
Boss perampok berhasil menangkap Ira dan menjadikannya sandera.
“Ira!” seru Ana dan Irfan.
“Jangan mendekat! Atau kutembak kepala bocah ini,” ancam Boss Perampok. Ia menodongkan pistol pada kepala Ira. Sedangkan tangannya menahan tubuh Ira agar tak berontak.
Ira sangat ketakutan. Ia tak pernah berada di situasi seperti ini sebelumnya. Ana dan Irfan kesulitan menolong karena mereka dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Boss perampok itu dapat menarik pelatuk pistolnya kapan saja.
“Bagaimana ini? Apa aku akan mati? Aku belum minta maaf pada Ayah dan Bunda,” batin Ira. Ia memejamkan mata, semakin merasa ketakutan.
“Apa-apaan ini?” Boss perampok menggerutu kesakitan. Tangan yang ia gunakan untuk memegang pistol bergerak sendiri ke arahnya. Ira yang penasaran membuka mata dan melihat Fami menggerakkan tangan Boss tersebut.
“Fami?”
“Ira! Cepat pergi sekarang!” ujar Fami.
Ira mengigit lengan Boss perampok yang menahan tubuhnya. Boss perampok terkejut dan berteriak kesakitan. Ia mengangkat tangannya sehingga Ira bisa kabur. Ira berlari mendekati Ana dan Irfan.
“Ira! Cepat lari!” teriak Ana.
Sayangnya, Boss perampok berhasil menguasai tubuhnya kembali. Ia menyadari sanderanya lepas dan tanpa pikir panjang mengarahkan pistolnya pada tubuh Ira.
“Ira! Awas!” Fami berteriak.
DOR! DOR!
Cipratan darah mengotori lantai ruangan gudang. Begitu pun pistol yang terlempar dari tangan Boss perampok.
“Anak-anak! Kalian baik-baik saja?” Pak Mazie, kepala kepolisian Kendangjari berhasil melumpuhkan Boss perampok dengan menembak di tangan dan perutnya. Pak Mazie muncul di saat yang sangat tepat.
-to be continued-

0 komen:

Posting Komentar