Cute Brown Spinning Flower

4.9.14

FOR THE FIRST TIME IN FOREVER :) I GET THE FIRST CONSUMER BEHAVIOR CLASS :)

Ana Fitriana
Physics Department
Mathematic and Science Faculty
Bogor Agricultural University IPB

 Consumer Behavior Class IPB (IKK233); September, 3rd 2014
Department of Family and Consumer Sciences
College of Human Ecology
Bogor Agricultural University IPB

Teacher:
Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc
Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati, M.FSA
Dr. Ir. Megawati Simanjuntak, M.S
Ir. MD Djamaluddin, M.Sc
Ir. Retnaningsih, M.S

Text Book:
Ujang Sumarwan. 2011. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Edisi 2 Cetakan 1. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.


First for Consumer Behavior Class
Hello, everybody on the world! –and on other world too, of course. Maybe you’re some kind like transformer robots or aliens whom learn about human culture? It doesn’t matter. Just enjoy reading my blog!-

Before you read my blog, let me apologize please! If you don’t understand what I wrote, it isn’t your eyes which starting bad or your reading ability decreased. No, no, there’s no like that. It’s just because my bad, who still learn about how to write my essay in English. I hope you can getting to the point.

Well! Enough for myself. Now, I’ll describe to you about my experience in 1st class of Consumer Behavior Class.

There are some few of students in a big class. I think, “Oh! How few students in this class. It will be good.” I don’t know how much good can I take and a good for what?

We waited our teacher. I hoped my teacher not strayed away just because searching the class. So, we weren’t take any longer to wait.

After a while, our teacher came. He gave me prepossession because his style looking good –one of good-. I found time to thinking that he more neatly than teachers on my department –please, pardon me my teachers! That’s the reality-. But, it may be he just came to graduation ceremony. I don’t know, only God who know :).

Then, he started the class. He asked us to writing a word that related with consumer behavior. Ok, I wrote. He pointed a student and required to reading the answer of his question. If the answer already be said, it might not be mentioned again. So, we had to trying with other answer. As a result, three students must be punished because they repeated the answers what be said before. The game was over. The teacher said that all answers are correct, because they showed the consumer behavior.

Furthermore, the teacher told his name. It’s Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc. He is a teacher from Family and Consumer Sciences Department in my university. We can call him by Prof USA or Pak USA –That surprised me, really. I’ll be teach by a professor? I hope, I can ran up to that degree. Amin-. Prof USA asked us again to telling about experience which related to consumer psychology. Two students told us. One of them felt comfortable but the other felt disappointed for the commodities. At last, Prof USA told us about his experience too. When he went to Singapore and lost his child’s mobile phone at airport, or when he lost the watch that possession of his other child. But they were founded, because in Singapore had a procedure to manage the lost goods. So, he felt really satisfied for the services. The end of story.

The next step, we started to learning about consumer behavior. Prof USA told us that many kind of consumer behavior definition, kind of consumer, consumer behavior research perspective, the reasons to learn about consumer behavior, and many more. In the end, he grouped us and gave an order to write a resume of this meeting. The resume must be uploaded on a personally website.

So that, the reason why this resume appear. Thanks for your time to reading my resume. I hope you get something what must you get. If this posting useful to you, I hope you can set aside some of your blessing for other person who need it.

Thanks a lot :)

13.8.14

CERPEN: THE PEACE EYES

Ini cerpen yang keberapa ya? Baca aja deh.. hahaha... jangan lupa tinggalin komentar yaa... :)

THE PEACE EYES
            Lima tahun yang lalu, di sebuah rumah sakit di Jakarta.
            Setelah koma selama dua hari, Ryo yang telah siuman merasakan suatu kejanggalan. Tatapannya memperhatikan gundukan-gundukan selimut yang menutupi setengah tubuh dan seluruh kakinya. Wajahnya mulai panik. Sangat cepat ia membuka selimut itu meskipun perawat sudah berusaha mencegahnya. Mata Ryo terbelalak kaget. Sungguh sulit ia mempercayai yang kini dilihatnya. Suatu kehampaan.
            “KAKI SAYA MANA, SUSTER? KAKI KANAN SAYA DIMANA? KENAPA GAK ADA?” Ryo histeris mendapati tungkai bawahnya yang telah teramputasi. Tangannnya tak henti menarik-narik lengan perawat yang berusaha menenangkannya. Teriakan demi teriakan terus mengguncang ruangan tersebut jika saja dokter tak datang untuk memberikan obat penenang pada Ryo.
********
Satu tahun yang lalu, di sebuah rumah sakit di Bogor.
Raya dengan tangan yang menggerayangi dinding, berjalan perlahan menuju sebuah ruangan berpintu putih yang setengah terbuka. Ia tahu, ibunya di dalam sana. Nafas yang terengah tak dapat menaklukannya untuk berhenti dan beristirahat.
“Nggak mungkin, Dok! Anak saya nggak mungkin menderita leukemia,” sangkal Bu Eri. Wajahnya memucat, sepucat warna kertas diagnosis yang digenggamnya.
“Tidak ada seorang pun yang menginginkan ini terjadi, Bu. Namun, hasil uji lab mengatakan seperti itu. Raya menderita leukemia stadium 2,” jawab Dokter Rei.
“Leukimia?” gumam Raya dari daun pintu. Suaranya menarik perhatian Bu Eri dan Dokter Rei. Mata Raya basah. Tak lama air matanya mulai menitik. Ia merasa melayang, berputar-putar dalam dunia yang mulai mempermainkannya hingga ia tak mampu melawan. Tiba-tiba selurunya menjadi gelap.
*******
Sekarang, di sebuah jembatan di Bogor.
Seorang wanita berjalan gontai tanpa alas kaki. Pakaiannya khas pasien yang menjalankan opname di rumah sakit. Rambutnya tipis, lurus sebahu, tergerai dan sedikit berantakan. Matanya mulai membengkak akibat air mata yang semalaman tak dapat ia bendung lagi. Langkahnya terhenti di tengah jembatan setelah bersusah payah tertatih. Ia menatap aliran sungai yang setengah deras dengan mantap. Tangannya memcengkram tepi jembatan. Hatinya menciut. Tapi, ia tetapkan untuk tidak beranjak.
“Nggak. Aku nggak boleh ragu. Aku harus melakukan ini. Aku nggak kuat terus-menerus menahan sakit itu,” gumamnya dengan gemetar.
Kaki wanita itu mulai naik pada sela-sela lubang persegi yang membatasi jembatan, membuat tubuhnya semakin tinggi. Belum merasa cukup, ia melangkah naik sekali lagi pada lubang persegi di atas lubang sebelumya. Tangannya direntangkan untuk menyeimbangkan tubuhnya yang agak oleng. Lagi, kakinya melangkah naik pada lubang persegi yang berada di atas lubang sebelumnya. Ia dapat merasakan betapa tingginya jembatan saat melihat ke bawah.
“Ma! Raya harap, setelah kepergian Raya, Mama gak akan sesusah ini lagi. Raya cuma bisa merepotkan. Untuk terakhir, maafkan Raya.” Setelah mengatakan itu, Raya menarik nafasnya dalam-dalam. Ia sempat ragu lagi, tapi… kepalanya digeleng-gelengkan.
‘Aku gak boleh mundur,’ batinnya. Setelah menghela nafasnya, ia mulai melemaskan seluruh tubuh dan mencondongkannya ke depan. Matanya tertutup saat ia merasa pijakannya mulai tergelincir.
“Selamat tinggal, Mama….”
“JANGAAANNN!” seseorang berlari mendekati Raya dan menarik tubuhnya jatuh ke tengah jembatan. Orang tersebut melingkarkan lengannya pada tubuh Raya yang mulai memberontak karena percobaan bunuh dirinya gagal.
“Lepaskan aku! Lepaskan! Aku mau mati aja. Aku udah gak mau hidup lagi. Lepaskan aku! Lepaskan! Lepas…kan…,” tubuh Raya yang bergerak berontak itu seketika melemah. Isaknya tak lagi terdengar. Ia pingsan. Tapi, orang yang menolongnya tak segera melepaskan kedua lengannya dari tubuh Raya. Ia tatap wajahnya yang pucat dan kelelahan itu.
******
Mata Raya bergerak-gerak sesaat sebelum bangun dari ketidaksadarannya. Rasanya cukup lama juga ia tertidur. Ketika matanya telah terbuka, ia mendapati wanita setengah baya sedang memijat-mijat kakinya. Jari tangannya bergerak-gerak meraba kulit-kulit sofa yang rasanya mulai rusak.
“Alhamdulillah. Non sudah bangun,” ujar wanita paruh baya itu.
“Saya dimana?” tanya Raya. Ia berusaha duduk dan menahan kepalanya yang terasa berkunang-kunang.
“Non ada di rumah Bibi. Tadi Den Ryo yang membawa Non kemari,” jawabnya lagi, memperkenalkan diri sebagai Bibi.
“Ryo?” gumam Raya. Otaknya sulit berpikir, ia hanya ingat saat hendak terjatuh dari jembatan tadi ada seseorang yang menariknya. Seorang pria. Setelah itu, ia tak ingat apapun lagi.
TUK! TUK! Raya mendengar sesuatu dari pintu yang mengarah pada ruangan lain dari rumah itu. Seperti suara kayu yang dipukul-pukulkan pada lantai. Tapi, ini suaranya berirama. Seperti… suara langkah seseorang.
Tak lama, dari ruangan gelap dimana suara tersebut berasal, muncul seorang pria. Tinggi, dengan rambut pendeknya yang terjatuh dan berponi. Wajahnya oval dibalut kulitnya yang kecoklatan. Matanya tak terlalu sipit, namun tampak selalu berbinar. Tubuhnya cukup atletis. Tangan kirinya membawa gelas berisi air putih hangat. Namun, tangan kanannya menggenggam sesuatu yang biasa Raya lihat di rumah sakit dan sering digunakan sebagai pembantu jalan. Sebuah kruk. Ketika Raya memperhatikan bagian kaki kanan pria itu, ia mengerti mengapa terdapat kruk di tangannya.
“Eh, sudah bangun ya?” suaranya. Perlahan ia melangkah, meskipun terlihat agak kesulitan karena harus menyeimbangakan tangan kirinya agar air di gelas tak tumpah. Ia memberikan gelas tersebut pada Bibi.
“Ini Non. Diminum dulu!” ucap Bibi menyuguhkan gelas itu pada Raya. Ia sedikit ragu menerimanya.
“Minumlah! Kamu kayaknya capek banget,” ujar pria itu. Bibirnya tersenyum.
‘Sepertinya mereka orang baik-baik,’ pikir Raya. Segera ia ambil minuman dari tangan Bibi dan meminumnya. Raya benar-benar haus. Ia berikan gelas kosong itu pada Bibi.
“Minum lagi, Non?” tanya Bibi takjub. Raya menggelengkan kepalanya. “Baiklah kalo begitu. Bibi ke belakang dulu,” pamit Bibi seraya beranjak pergi. Ia memasuki ruangan gelap tempat pria tadi keluar.
Raya kembali menunduk. Matanya sendu. Namun ia tak mengerti apa yang sedang ia pikirkan. Bahkan ia tak menyadari seseorang yang kini telah duduk di sampingnya, di tempat yang tadi Bibi duduki.
“Hei! Kenapa kamu mencoba bunuh diri?” tanyanya tanpa basa-basi.
Raya tersentak. Ia angkat wajahnya menatap pria disampingnya itu. Matanya teduh. Seperti tak ada kata susah pada hidupnya. Ia baru sadar kalau pria tersebut ternyata hampir sebaya dengannya.
“Kamu Ryo?” suara Raya lirih. Mendengar namanya disebut, Ryo hanya tersenyum. Tapi, diluar dugaan, Raya justru menangis.
*********
“Dunia ini benar-benar gak adil. Kenapa aku? Kenapa harus aku yang terkena penyakit itu?” ungkap Raya pada Ryo yang duduk di sampingnya. Mereka berada di teras rumah Bibi sekarang.
Raya biarkan ingatannya mengambang, berkelana menyusuri lorong-lorong waktu, menuju suatu tempat yang ia kunjungi setahun lalu. Sebuah kantor sempit milik seorang dokter. Di sanalah ia dapatkan vonis leukemia itu. Tubuhnya menggigil ketakutan. Meskipun surya sore itu begitu indah, hatinya justru diselimuti awan-awan gelap. Sedih.
“Mereka gak merasakan yang aku rasa. Sakit. Dingin. Saat obat-obat itu mengalir dalam tubuhku. Aku hanya bisa menangis. Mengapa mereka tega melakukan itu padaku? Semua yang aku miliki, telah direnggut oleh penyakit itu. Rambutku perlahan rontok, wajahku membengkak. Bahkan, dua minggu lagi aku harus menjalani operasi. Aku takut. Operasi itu pasti jauh lebih sakit daripada saat obat-obat keras yang disuntikkan pada tubuhku,” terang Raya tentang perasaannya. Ia tutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan air mata.
“Tapi gak perlu sampai bunuh diri, kan? Justru kalau kamu melakukan itu, kamu akan kehilangan segalanya…,” komentar Ryo dengan hati-hati.
“KAMU GAK NGERTI, RYO! Gimana rasanya jadi sebuah beban. KAMU GAK NGERTI!” jawab Raya setengah membentak setelah menurunkan kedua tangannya.
Ryo terkejut mendapati reaksi Raya. Namun, ia maklum. Pasti tak mudah bagi Raya untuk menerima semua pukulan itu. Sesaat, ia tersenyum.
“Yah. Aku emang gak ngerti,” ujar Ryo.
“Tapi, apa besok kamu bisa ikut aku ke suatu tempat? Aku yakin, di tempat itu kamu gak akan merasakan sakit. Bukankah lagipula, kamu harus pulang. Sekarang sudah hampir malam. Apa perlu aku antar?” tawarnya.
Raya terdiam. Ya, ia harus kembali ke rumah sakit. Ia sadar, tindakan kabur dari sana pasti membuat orang tuanya khawatir. Sebenarnya, bukan leukemia itu yang merepotkan, tapi dirinya.
“Hm… sepertinya menarik,” jawab Raya. “Boleh, deh!” tambahnya menyanggupi. Dalam pikirannya tersusun rencana untuk kabur lagi dari rumah sakit besok.
Ryo tersenyum. Ia raih kruk aluminium di sampingnya dan menggunakannnya untuk berdiri.
“Kalau begitu, aku tunggu kamu di sini esok pagi,” ucap Ryo. Ia menatap kesungguhan di mata Raya.
********
Keesokan paginya. Nafas Raya terengah-engah saat mendekati rumah Bibi. Ia lihat Ryo berdiri di depannya. Tersenyum dengan matanya yang berbinar-binar. Ia sadar, sejak kemarin tak sedikit pun terlihat wajah Ryo yang sendu karena kaki yang tak sempurna. Benar. Ia dan Ryo memiliki persamaan. Yaitu, ketidaksempurnaan. Hanya saja ketidaksempurnaan Ryo sungguh terlihat, tapi ia tidak. Bahkan bisa dikatakan ia tidak memiliki ketidaksempurnaan sama sekali bila saja ia tidak mengungkapkannya.
“Hei! Lagi mikirin apa, sih?” tanya Ryo menyadarkan Raya yang bengong.
“Eh? Nggak, kok!” jawab Raya. Nafasnya agak berat. Ia kelelahan.
“Istirahat dulu, deh!” saran Ryo.
“Ng…nggak usah. Aku nggak apa-apa, kok.” Raya menyanggah. Ryo sadar, wajah Raya memucat. Tapi Raya tak mau menyadari itu.
“Ya, sudah. Ayo berangkat!” ajak Ryo.
“Kemana?”
“Ke tempat yang nggak membuatmu sakit,” jawaban Ryo seperti yang dikatakannya kemarin.
*********
Perjalanan yang cukup jauh memaksa Raya untuk membantu Ryo. Awalnya Raya merasa risih, namun seiring waktu ia mulai mengerti. Padahal sesungguhnya Ryo bisa melakukannya sendiri, mengingat ia sering mengunjungi tempat tersebut. Namun, Ryo biarkan Raya melakukan apa yang ia inginkan.
“Maaf, ya. Kamu jadi repot gara-gara aku,” Ryo meminta maaf ketika Raya menyerahkan kruknya setelah mereka turun dari sebuah angkutan umum.
“Nggak apa-apa, kok.” Jawab Raya dengan tersenyum. Wajahnya yang pucat terlihat lebih berkilau tertimpa sinar matahari pagi dari sudut kanannya. “Kita udah sampai belum, ya?’ tanyanya kemudian.
“Udah, kok.” Jawab Ryo seraya mengangguk. “Gedungnya ada di balik toko ini,” lanjutnya seraya menunjuk toko di hadapan mereka.
Raya mengatur nafas, seakan meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Kemudian ia melangkah mendahului Ryo yang mengikutinya memasuki sebuah gang kecil di samping toko tersebut. Dalam dada yang berdebar, tempat apa sebenarnya yang ingin sekali Ryo tunjukkan kepadanya. Sudah sejak keberangkatan mereka, ia memikirkan banyak hal tentang tempat yang akan ia kunjungi. Tak luput pikiran buruk terus-menerus mendatanginya, mengingat Ryo adalah orang yang baru saja ia kenal, yang bisa dikatakan sebagai penyelamat nyawanya, atau perenggut hak atas kebebasannya? Tapi, ia buang semua pikiran itu.
“Selamat datang di Gelanggang Olahraga SAHABAT,” sambut Ryo seraya membuka pintu di hadapan kami.
Cahaya matahari sedikit menghalangi pandangan Raya. Namun, ketika matanya mulai terbiasa dengan itu, sebuah lapangan sepak bola yang hijau dan luas menyambutnya. Ryo mengajak Raya ke sebuah tempat pelatihan atlet. Tapi, Raya merasa ada sesuatu yang berbeda pada atlet-atlet yang berlatih di gelanggang olahraga ini.
“Ha?” Raya terkejut. Kedua tangannya spontan menutup mulutnya yang ternganga. Rupanya, atlet yang berlatih di sini adalah atlet-atlet yang ‘luar biasa’.
“Ayo masuk!” ajak Ryo kemudian. Ia mempersilakan Raya mendahuluinya untuk memasuki gelanggang olahraga itu.
Rupanya bukan hanya lapangan sepak bola saja di dalamnya. Ada pula lintasan lari, lapangan tolak peluru, lapangan basket, lapangan volley, lapangan bulu tangkis, lapangan tenis, dan lainnya. Seluruhnya tak ada yang kosong. Semua terpakai untuk berlatih atlet-atlet ‘luar biasa’ itu.
“Yoo, Ryo. Kau baru datang, kawan?” seorang lelaki mendekati mereka dengan susah payah. Karena kedua tangannya harus memutar roda dari kursi roda yang ia duduki. Setelah posisinya sampai di hadapan Ryo, ia mengangkat tangannya dan bersalaman dengan Ryo.
“Ya. Begitulah,” jawab Ryo dengan tubuh yang bertopang pada kruknya karena goncangan dari tangan temannya  agak berlebihan. Namun, mereka terlihat menikmati cara tersebut.
“He? Siapa itu, Ryo?” Tanya lelaki tersebut seraya melirik pada Raya.
“Oh, iya! Ini teman baruku. Namanya Raya,” jawab Ryo. Ia menyejajarkan diri dengan Raya.
“Rama,” ujar lelaki itu. Ia mengulurkan tangannya ke hadapan Raya, mengajaknya bersalaman.
Raya merasa risih membalasnya. Baru pertama kali ini ia melihat seseorang yang menggunakan kursi roda. Tapi, ia beranikan diri untuk membalas uluran tangan Rama.
“Raya,” ucapnya seraya berjabatan dengan Rama.
*******
Ryo mengajak Raya berjalan-jalan mengelilingi lapangan. Ia banyak bercerita tentang pengalamannya sebagai atlet. Ketika dirinya berlatih setiap pagi hingga petang setiap hari. Karena ketekunannya itu, maka ia dinobatkan sebagai pelari tercepat dari atlet lari yang lain. Kemudian ia mengikuti olimpiade atletik untuk atlet-atlet ‘luar biasa’. Pada olimpiade tersebut, Ryo keluar sebagai pemenang pada cabang olahraga lari. Saat itu, apa yang diyakininya terbukti. Bahwa, seseorang yang memiliki bentuk tubuh yang tidak sempurna pun tetap bisa berprestasi.
“Setelah itu, nama dan fotoku masuk koran nasional, lho.” Ryo mengakhiri ceritanya. Wajahnya begitu bahagia mengingat masa-masa tersebut.
“Wah! Hebat,” puji Raya.
“Sekarang, coba bayangkan! Pasti banyak hal yang bisa dilakukan dengan tubuh yang sempurna, kan?” Tanya Ryo.
Raya menunduk.
“Memang banyak hal yang bisa dilakukan. Tapi, tubuhku lemah. Lelah sedikit saja, sudah sulit untuk bergerak.” Jawabnya. Matanya berkaca-kaca, rasanya sedih membayangkan bahwa dirinya tak berguna.
“Karenanya, berusahalah untuk sembuh! Aku percaya, jika kita berusaha dengan keras tentu apa yang kita inginkan akan tercapai, kan?” Tanya Ryo lagi.
“Iya. Memang benar,” Raya masih menunduk. Ia sepertinya memikirkan sesuatu. Mungkin, ia sedang mencoba mempercayai apa yang juga dipercaya oleh Ryo. Tak ada salahnya berusaha, toh? Meskipun operasi itu memang menyakitkan, tapi itulah salah satu jalan baginya untuk sembuh. Karena lari pun percuma saja bukan?
“Ryo! Hari rabu, dua minggu lagi, aku akan menjalani operasi transplantasi sumsum tulang. Aku ingin dirimu ada di sana saat itu. Karena, kalau ada Ryo, entah kenapa aku merasa lebih semangat untuk hidup. Bisakah?” ujar Raya.
“Tentu saja,” jawab Ryo. Ia tersenyum lebar karena Raya sudah mendapatkan semangat hidupnya kembali.
*******
Dua minggu setelah hari itu, Raya bersiap-siap menjalani operasi ransplantasi sumsum tulang. Meskipun awalnya agak menyeramkan, tapi ia sudah bertekad untuk melakukannya. Tambah pula, Ryo datang menengok. Maka semakin percaya dirilah Raya akan tekadnya. Akhirnya operasi dimulai. Keluarga Raya menunggu di luar ruang operasi dengan khawatir.
Beberapa jam kemudian, operasi selesai. Dokter mengatakan bahwa operasi Raya telah berhasil dilakukan. Namun, datang kabar buruk dari orang yang mendonorkan sumsum tulangnya kepada Raya.
“Mama?” gumam Raya saat melihat Bu Eri ketika sadar dari tidurnya.
“Syukurlah kau bangun, nak. Apa yang kau rasakan?” Tanya Bu Eri.
“Aku…, ingin berterimakasih pada pendonorku, Ma.” Jawab Raya.
Bu Eri diam sejenak.
“Baiklah. Mama akan mengantarkanmu padanya saat kau sudah lebih baik,” ujarnya.
*******
Beberapa hari pasca operasi, kesehatan Raya semakin membaik. Karenanya ia dapat keluar dari rumah sakit lebih cepat. Saat itu, ia menagih janji yang pernah dikatakan Bu Eri padanya. Ia ingin sekali bertemu dengan pendonornya dan mengucapkan terimaksih karena telah berbagi kehidupan untuknya. Jika tidak, Raya pasti akan menyesal seumur hidup.
“Mama! Kenapa mengajakku ke pemakaman? Apa kita akan mengunjungi Papa dahulu?” Tanya Raya saat turun dari mobil. Tapi, Bu Eri tak segera menjawabnya.
“Di sini,” ujar Bu Eri begitu sampai di depan sebuah makam.
“Ini makam siapa, Ma? Kenapa letaknya di samping makam Papa?” Tanya Raya dengan polosnya.
“Ini…,” Bu Eri berlutut di samping makam tersebut. Air matanya menitik deras. Ia mengusap-usap batu nisan makam tersebut.
Ryo, tulisan di batu nisan itu.
“Ini makam kakakmu. Ia juga yang mendonorkan sumsum tulangnya padamu,” lanjutnya.
Raya begitu terkejut. Benarkah ini makam kakaknya? Karena selama ini, yang ia ketahui, bahwa ia adalah anak tunggal di keluarganya.
“Mama bohong, kan? Bukankah aku tidak memiliki saudara, Ma?” tanyanya.
“Maafkan Mama, Raya! Mama tidak pernah sanggup menceritakannya padamu. Dua minggu yang lalu, kakakmu datang ke rumah sakit dan menyatakan bersedia mendonorkan sumsum tulangnya padamu. Tapi, ketika operasi, ia tak mampu bertahan.” Jawab Bu Eri.
Raya berlutut di samping ibunya. Otaknya sulit untuk berpikir mengetahui kenyataan yang ada di hadapannya. Apakah Ryo kakaknya sama dengan orang yang megajaknya ke gelanggang olahraga tempo hari?
“Tapi, sebelum Ryo pergi, ia bersyukur dapat bertemu denganmu sebelum operasi,” lanjut Bu Eri.
“Ma! Apakah Kak Ryo memiliki luka amputasi pada kaki kanannya?”
Bu Eri membenarkan pertanyaan Raya. Saat itulah Raya tak mampu lagi membendung air matanya. Ia yakin, Ryo yang menyelamatkan dirinya dari putus asa, yang mendengarkan keluh kesahnya, dan yang menjadi pendorong semangat hidupnya adalah kakaknya sendiri. Karena itulah, mengapa ia begitu tenang saat melihat mata Ryo. Mata itulah yang selalu menemaninya ketika ia masih kecil.
*******
Lima tahun yang lalu, keluarga Raya mengalami kecelakaan tragis yang menyebabkan Pak Satoru, suami Bu Eri, meninggal. Sedangkan tungkai kanan bagian bawah Ryo remuk, sehingga harus di amputasi.  Raya mengalami shock hebat. Karena itulah, ketika ia melihat Ryo dengan lukanya, ia terus menerus berteriak. Kemudian, Bu Eri meminta Bibi, pramuwisma di rumah keluarganya, untuk mengurus Ryo saat Raya terapi. Namun, dalam perjalanannya, Raya benar-benar melupakan kenangan-kenangan tentang kecelakaan tersebut, termasuk melupakan Ryo.
Tiba-tiba Raya mulai sakit-sakitan. Berulang kali ia masuk keluar rumah sakit. Karena harus menjaga Raya, Bu Eri sekali lagi menitipkan Ryo pada Bibi. Satu tahun berlalu, hingga akhirnya tak sengaja mereka bertemu. Ryo langsung menyadari bahwa Raya adalah adiknya. Selama ini, ia tak mengetahui kabar apa pun tentang adiknya tersebut. Saat mengetahui penderitaan Raya, ia segera menemui Bu Eri dan menyanggupi diri untuk menjadi pendonor sumsum tulang bagi Raya.
“Dengan mendonorkan sumsum tulangku, bukankah berarti aku bisa menjaga Raya selama hidupnya?” begitulah harapan Ryo.

*******

CERPEN: MY BROTHER’S LAST SMILE

Nah, ini adalah cerpenku yang entah keberapa juga.. hahaha... Let's enjoy it aja deh.. jangan lupa komentar yaa...

MY BROTHER’S LAST SMILE
            “Kak Rio!” Rei kecil membawa sepedanya mendekatiku. Maka kuperhatikan ia yang wajahnya membujuk.
            “Bantu aku belajar sepeda, yuk!” pintanya. Tangan Rei menarik-narik lenganku agar aku mengikutinya menuju jalanan di depan rumah kami.
            “Ayo naik! Aku pegang dari belakang,” ujarku. Tapi Rei tak menurut. Ia menginginkan aku ikut berboncengan dengannya. Aku turuti keinginannya dan segera naik ke atas boncengan sepeda itu. Kemudian Rei mengayuh sepedanya dengan cepat.
            “Jangan cepat-cepat! Kamu baru saja bisa, Rei….” Nasihatku tidak diindahkan oleh Rei. Tapi, aku akui kalau Rei memang pembelajar yang cepat. Ia segera bisa mengendarai sepeda meski baru tiga hari kulatih.
            “Rei! Kamu mau kemana? Jangan ke jalan turunan itu!” tapi aku terlambat mencegahnya. Kami berada di jalan turunan yang panjang sekarang.
            Rei bersorak gembira dan spontan melepas salah satu tangannya dari stang. Ia kehilangan kendali. Sepeda yang kami naiki oleng dan terperosok ke selokan.
            “Hiks…, hiks…, sakiiit…,” tangis Rei. Ia berusaha berdiri. Pakaian dan tubuhnya basah oleh air selokan, begitu pula aku.
            Beberapa orang membantu kami keluar dari selokan. Aku mengucapkan terimakasih kepada mereka kemudian menuntun sepeda bersama Rei untuk bergegas pulang.
            “Sudah! Sudah! Nggak usah nangis!” ucapku menenangkan. Tapi Rei tetap menangis.
            Ayah segera menghampiri begitu kami sampai di depan pintu pagar halaman. Aku yakin, Ayah pasti marah besar melihat kami basah kuyup begini. Aku menunduk ketakutan. Tapi, Rei masih menangis.
            “Sudah! Ayo, kita bersihkan tubuhmu!” suara Ayah begitu mendekati kami. Ia mengangkat tubuh Rei, menggendongnya. Kemudian Ayah berbalik kembali ke dalam rumah, meninggalkanku yang masih berdiri menunduk. Kuangkat kepalaku, kulihat Rei terus menangis di pelukan Ayah yang tetap berjalan tanpa mempedulikanku.
*******
            Aku terbangun karena terkejut. Kuperhatikan sekeliling. Kamar tidurku.
            “Huft! Mimpi, ya?”. Mimpi tentang masa kecilku. Ketika pertama kalinya kurasakan sepinya sendirian. Hingga aku tumbuh dalam perasaan itu.
            Terburu-buru kuturuni tangga menuju ruang makan. Kulihat Rei di hadapanku, ia pun terburu-buru. Sepertinya, bukan hanya aku yang bangun kesiangan pagi ini.
            “Cepat sarapan, Rei! Kamu harus berangkat sebentar lagi,” Ayah memanggil Rei seraya mebuatkan sarapan untuknya. Tapi, ketika aku datang dan duduk di kursiku, Ayah diam. Bahkan tidak menyapaku. Rasanya sedih. Rasa yang selalu kurasakan ketika didekatnya.
            “Ayo makan, kak!” Raya, adik perempuanku, meletakkan roti buatannya di atas piringku. Aku tersenyum menerimanya.
*******
            Aku berjalan gontai di lorong sekolah yang menuntunku ke lapangan basket. Seraya menunduk dalam, merenungkan kesedihanku. Sedih? Kenapa aku sedih? Apa karena kejadian pagi tadi? Tapi itu sering terjadi, kan? Tentu aku dapat menghadapinya.
            “Kakak!” seseorang menepuk bahuku.
            “Hayo, melamun ya?” itu Raya. Ia berjalan di hadapanku dengan matanya yang tetap menatapku. Kujawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala.
            “Kak Rio mau kemana? Ke lapangan basket, yuk!”
            “Ngapain?”
            “Kok, ngapain? Kemarin, kan Kak Rei bilang ada pertandingan basket hari ini. Kita diminta nonton.”
            “Oh, iya!” seruku setelah ingat ajakan Rei kemarin.
            “Kalau begitu, ayo cepat ke lapangan basket!” Raya menarik lenganku dan memaksaku untuk mengikutinya.
*****
“Yeah! Masuk lagi!” teriakan Raya setiap grup basket Rei mencetak angka. Suaranya benar-benar mengganggu telingaku. Tapi, perhatianku terfokus pada Rei. Larinya terlihat limbung. Ada yang tidak beres sepertinya.
BRUK!
“Kak Rei?!” jerit Raya ketika melihat Rei terjatuh. Rei ambruk tak sadarkan diri ketika sedang mendrible bola mendekati ring lawan. Aku dan Raya berlari turun dari panggung penonton untuk mendekatinya. Pertandingan terhenti sementara.
*****
PLAK!
Tamparan mendarat di pipi kiriku. Sakit.
“Ayah? Kenapa?” aku memandang Ayah, tak mengerti.
“Seharusnya kamu dapat melindungi adikmu! Sudah berapa kali Ayah katakan. Jaga Rei! Kamu benar-benar tidak berguna,” marah Ayah.
PLAK!
Ia menamparku sekali lagi. Lebih sakit.
“Sekali lagi Ayah dengar Rei terluka, Ayah tak akan segan-segan menghukummu. Mengerti?”
“I, iya, Yah.” Jawabku mengangguk pelan seraya menahan sakit. Ayah memutar tubuhnya dan pergi meninggalkanku. Saat itu kuberanikan mendongakan wajah. Kulihat Rei yang telah sadar dan Raya yang sejak tadi menjaganya, tengah memperhatikanku. Tanpa menghiraukan mereka, aku segera beranjak dari sana.
“Rio!” kudengar suara Rei memanggil. Tapi, aku tak pedulikan itu.
Kunaiki tangga hingga lantai tiga rumah, kemudian kulangkahkan kaki memasuki suatu ruangan penuh lukisan buatan Mama. Kubuka pintu kaca menuju beranda. Terlihat hamparan laut di sana dengan kapal-kapalnya yang akan bergemelap ketika malam tiba dan cakrawala yang seakan memotong langit. Aku selalu merasakan keberadaan Mama dan perasaannya yang hampir selalu menghabiskan waktunya di sini. Sebelum Mama meninggal.
Pipiku nyeri akibat tamparan tadi. Rasanya ada tetesan yang mengalir di daguku. Ketika kusentuh, ternyata darah. Tapi, darah itu tak sedikitpun membuatku panik. Entah sudah berapa tamparan yang ayah berikan padaku karena kelalaianku menjaga Rei.
“Ma…,” terlintas senyum Mama yang mampu menenangkan tangisku saat kecil dulu. Sampai saat ini bayangan itu masih terlihat jelas. Aku juga ingat, kalimat yang selalu diucapkannya. Tak penah kulupakan hingga sekarang. Kalimat yang membuatku bertahan hingga saat ini.
“Aku tidak sendirian. Mama akan selalu hidup dalam hatiku,” begitulah kalimatnya.
“Rio!” kudengar suara Rei. Ia mendekatiku begitu aku menoleh padanya dan memberikanku sapu tangan putih. Aku terima sapu tangan itu dan segera mengusapkannya pada daguku, tentunya dengan menahan sakit.
“Maaf. Rio! Gara-gara aku, Ayah marah besar padamu.” Permintaan maaf Rei membuatku tersentak. Ia menatapku.
“Sudahlah! Sudah biasa, kok. Ouch!” bicaraku kacau karena menahan sakit di pipi. Tapi, aku paksakan tersenyum dan membalas tatapannya. Sepertinya, Rei benar-benar khawatir.
“Aku gak apa-apa, Rei!” tambahku. Seketika raut wajah Rei berubah sedikit tenang. Kemudian ia memutar tubuhnya, matanya menatap lautan biru yang kini mulai gelap karena mega mendung memayunginya. Ia sangga tubuhnya dengan tangan yang dilipatkan menempel pada batas beranda.
“Aku sama sekali nggak ingat wajah Mama. Alasan kenapa Mama selalu berada di sini, ataupun suaranya. Aku hanya ingat sebuah ruangan putih, sepi. Berkali-kali aku memasuki ruangan itu, sendirian. Karenanya, saat sembuh, aku sangat senang. Tapi, sekarang, apakah aku harus memasuki ruangan itu lagi? Padahal, jika aku sembuh, Ayah pasti akan berhenti membedakanmu, kan?” ucap Rei tanpa sekalipun menatapku. Matanya nanar dan berkaca-kaca.
“Kamu bicara apaan, sih? Aku nggak apa-apa juga,” kudorong bahu Rei pelan.
“Tapi, itu sakit kan?” Rei menepuk pipiku pelan.
“Ouch! Jangan di tepuk, dong!” erangku kesakitan.
“Tuh, benar kan?” Kemudian Rei tertawa terbahak-bahak. Begitu pula aku. Meskipun sakit, tapi saat paling membahagiakan ini tak akan pernah aku lewatkan.
*******
“Ayah! Tunggu, Ayah!” aku belari keluar rumah mengejar Ayah yang akan mengantar Raya dan Rei ke sekolah dengan mobilnya. Tapi, aku terlambat. Mereka telah meninggalkanku. Aku hanya terpaku menatap sedan kecil tersebut seraya mengatur nafasku yang tersengal-sengal.
‘Padahal, jika aku sembuh, Ayah pasti akan berhenti membedakanmu, kan?’. Kalimat Rei kemarin masih terngiang ditelingaku.
“Nggak mungkin, nggak mungkin. Nggak mungkin Ayah membedakanku. Itu salah,” aku menyanggah kalimat itu berkali-kali. Mencoba tidak percaya pada kata-kata Rei. Karena memang tidak akan mungkin itu terjadi. Ayah membedakanku dengan Rei dan Raya hanya karena mereka sakit? Lucu sekali.
*******
“Ouch! Pelan-pelan, Raya!” keluhku ketika Raya mengobati memar di wajahku.
“Ini juga udah pelan, kak. Tahanlah!” jawab Raya, tangannya tetap mengusap-usapkan sapu tangan basah pada wajahku.
Terang saja sakit. Entah berapa kali Ayah menamparku karena aku lalai menjaga Rei. Rei terjatuh dari tangga ketika di sekolah. Jika aku ada di dekatnya, tentunya tak akan kubiarkan. Tapi, aku tahu kejadian itu setelah seseorang memberitahukan bahwa Rei berada di ruang UKS. Katanya, Rei tiba-tiba pingsan ketika menuruni tangga. Karena tak ada seorang pun di sekitarnya, maka tubuhnya yang lemas itu terjatuh berguling-guling ke bawah.
Ini semua terjadi karena kanker darah Rei kambuh lagi. Ayah memintaku untuk melindunginya. Tapi, aku tak bisa selalu ada di sampingnya, kan? Kali ini, Ayah pasti akan mengurungku di kamar selama dua hari. Meski hukuman ini lebih baik daripada hukuman tidur di luar rumah, tetap saja, sendirian.
“Raya!” suara Ayah, mengejutkan. Ia meminta Raya untuk meninggalkanku. Sebelum pergi, Raya menatap ke arahku. Ia tampaknya ragu dan khawatir. Tapi, aku yakinkan bahwa aku baik-baik saja. Raya tersenyum dan ia beranjak keluar dari kamarku.
Kutatap wajah Ayah, merah padam. Ia mencabut kunci dari pintu kamarku, menutup pintunya, kemudian menguncinya dari luar. Mengurungku di dalam, sendirian.
*******
‘Padahal, jika aku sembuh, Ayah pasti akan berhenti membedakanmu, kan?’
‘Seharusnya kamu dapat melindungi adikmu! Sudah berapa kali Ayah katakan. Jaga Rei! Kamu benar-benar tidak berguna.’
Mataku menatap lurus pada layar handphone dan jari-jariku asyik memainkan keypad-nya. Tapi, pikiranku sibuk dengan kalimat Rei dan Ayah tempo hari. Kalimat-kalimat yang benar-benar menampar batinku. Sesak rasanya dada ini jika mengingatnya. Tapi, aku sulit menghilangkan keduanya dari otakku.
“Rei?” gumamku ketika melihat ia keluar dari kelasnya. Aku sengaja bersembunyi dan mengawasinya diam-diam dari jauh, untuk mencegah Rei dari bahaya. Sesuai perintah Ayah.
Rei terlihat kebingungan. Matanya berputar memperhatikan sekitar, seperti ada yang dicarinya. Segera ku bersembunyi di balik dinding agar ia tak menemukanku. Setelah sepertinya dirasa aman, ia melanjutkan perjalanannya.
Sekitar lima belas menit aku ikuti Rei. Hingga kami sampai di sebuah pemakaman umum. Rei masuk ke dalamnya, begitu pula aku. Ia terus berjalan menuju makam yang akan dikunjunginya. Tak lama ia berhenti, ia telah sampai di makam tujuannya. Itu, kan… makam Mama.
“Ma!” suara Rei. Ia berlutut di samping makam. Tangannya mengusap-usap batu nisan. Beberapa saat ia diam, kemudian mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. Itu seikat bunga. Rei menaruhnya di atas makam.
“Ma, kumohon. Jangan ambil kebahagiaan Rio. Ia cuma punya satu kebahagiaan. Cuma dari Mama,” Rei membicarakan tentangku. Tapi, aku tidak mengerti apa maksud kata-kata itu.
“Maafkan aku, Ma. Aku nggak bisa menjaga yang Mama berikan dan nggak bisa memenuhi harapan Mama, untuk terus sehat. Karena sakit itu datang lagi, Ma.” Kalimat Rei ini, rasanya tidak asing.
Seketika pikiranku kembali ke masa lalu. Aku pernah mendengar kalimat itu dari Mama. Sehari sebelum operasi transplantasi Rei.
“Hanya ini yang dapat aku berikan. Aku harap ia dapat selalu sehat dan tak pernah merasakan penderitaan seperti ini saat dewasa nanti,” begitu kalimat Mama. Ia mengatakannya seraya mengusap lembut kepalaku. Kemudian, setelah hari itu aku tidak pernah melihat wajah Mama lagi hingga kini. Mama meninggal saat operasi Rei dan aku tak tahu apa penyebabnya.
“Tapi, terimakasih Ma. Dengan sumsum ini, aku dapat menikmati hidupku lebih lama bersama Ayah, Rio, dan Raya,” suara Rei lagi. Aku tercengang mendengarnya.
Jadi, Mama meninggal karena mendonorkan sumsum tulangnya kepada Rei. Mama yang baru saja sembuh dari luka kecelakaannya, melakukan itu. Kenapa? Kenapa tak ada seorang pun yang memberitahukanku? Padahal, hanya Mama yang aku miliki dalam hidup.
“Ri… Rio? Sejak kapan kamu di sini? Kamu dengar semuanya?” tanya Rei. Ia terkejut melihatku yang telah berdiri di belakangnya.
“Kenapa… KENAPA NGGAK PERNAH MEMBERITAHUKU?” teriakku penuh gejolak. Kutatap mata Rei.
“Rio, aku nggak bermaksud untuk menyembunyikannya.” Rei melangkah maju.
“Jangan mendekat!” cegahku. Kukepalkan tangan, benar-benar ingin menghajarnya. Tapi, Rei adalah saudara kembarku dan hal tersebut tak akan mengembalikan Mama. Namun, amarah ini….
“Lakukan, Rio! Aku tahu betapa hancurnya hatimu. Lakukan saja!” ucap Rei, pasrah. Ia memejamkan matanya.
Mataku terbelalak. Ini kesempatanku untuk membalasnya, kan? Kuangkat tanganku. Ingin rasanya kuhajar wajah itu, wajah yang sama denganku. Wajah Rei, adik kembarku yang juga memiliki bagian tubuh Mama di tubuhnya. Tapi,….
“AKU NGGAK BISA MELAKUKAN INI!”
“Rio!” Rei berlari mengejarku yang melarikan diri.
Aku tak akan pernah bisa melukainya. Semarah apa pun diriku pada Rei, sebenci apa pun diriku pada Rei, sekecewa apa pun diriku pada Rei, meski pun hati ini hancur karena Rei, ia tetap adik kembarku. Apa pun yang akan aku lakukan padanya, tidak akan pernah mengembalikan Mama. Aku tahu. Saat itulah, hatiku menjadi lebih sakit. Hingga kurasakan aliran air di pipiku menderas ketika aku menyekanya.
“Rio! AWAS!” teriakan Rei menyadarkanku. Ketika hendak menoleh kepadanya, kulihat sebuah mobil hitam melaju kencang ke arahku. Suara klaksonnya menyelimuti seluruh kesadaranku. Tapi, samar kulihat Rei berlari mendekat.
BRAKK!!
*******
PLAK!
“Kau masih saja membiarkan Rei terluka, bahkan ini amat parah dari sebelumnya. Bukankah sudah Ayah perintahkan. Lindungi Rei! Kau benar-benar anak yang tidak berguna.”
PLAK!
Suara amarah Ayah? Suara itu membuatku membuka mata. Aku berada di suatu ruangan yang sering dikatakan Rei. Putih. Kulihat pada jendela ruangan ini. Ada aku dan Ayah di luarnya. Aku, ada di luar sana?
PLAK!
“Ayah sungguh kecewa padamu, Rio. Jika terjadi sesuatu pada Rei, semua adalah kesalahanmu. Saat Rei sembuh, Ayah ingin matamu tak sedetikpun melepasnya. Mengerti?”
“Aku mengerti, Yah. Aku mengerti apa yang selalu Rio rasakan dari Ayah,” jawab Rei.
Mata Ayah terbelalak. Ia terkejut karena yang ada di hadapannya bukanlah aku, tapi Rei. Rei menyamarkan tanda yang membedakannya denganku.
“Rei? Kamukah itu?” Tanya Ayah dengan suara yang telah melembut kembali. Tangannya mencoba menyentuh wajah Rei.
PLAK!
Rei menepis tangan Ayah dengan keras.
“Aku nggak butuh kebaikan Ayah. Bagaimana dengan Rio, Yah? Apa Ayah nggak khawatir sedikit pun dengan Rio?” ujarnya.
Ayah menurunkan tangannya yang kuyakin terasa sakit. Mungkin lebih sakit daripada setiap tamparannya di pipiku. Namun mata Ayah tetap menatap Rei dengan syahdu. Tak ada rasa amarah. Sebuah tatapan yang tak pernah kudapatkan.
“Rio seorang kakak, Rei. Kakak yang harus menjaga setiap adiknya. Lagipula, kau sakit. Siapa yang bisa menjagamu kecuali Rio? Ayah tak bisa selalu bersamamu,” jawab Ayah dengan nada ramahnya.
“Begitu juga Rio, Yah! Jika memang sakit yang aku miliki ini alasan Ayah membedakan kami, maka Rio lebih pantas mendapatkan itu, Yah! ” balas Rei.
“Rio?” wajah Ayah berubah menyeramkan.
“Dia satu-satunya anak yang beruntung dari kau dan Raya, tak ada yang perlu dilindungi dari dirinya…,” lanjut Ayah.
“AYAH SALAH! RIO-LAH YANG HARUS DILINDUNGI!” teriak Rei.
“KAU BERANI MEMBANTAH AYAH?” Ayah mengangkat tangannya hendak menampar Rei, untuk pertama kalinya.
“AYAH, JANGAN!”
PLAK!
Aku berlari kehadapan Ayah, menggantikan Rei menerima tamparannya. Sakit sekali, hingga tubuhku terjatuh ke arah Rei. Bahkan perban yang menutupi luka di kepalaku terbuka. Beberapa tetes darah muncrat dari luka itu.
“Rio! Apa yang kau lakukan?” Rei panik melihatku.
“Rei? Kamu nggak apa-apa, kan? Maaf. Aku nggak bisa melindungimu,” ucapku lirih seraya mengusap darah beku di dagunya. Kurasakan lengan Rei menyangga tubuhku yang terbaring.
“Bodoh! Buat apa kamu minta maaf? Aku yang seharusnya berterimakasih. Terimakasih, Kak Rio.” Ucapan Rei menyunggingkan senyum di bibirku. Itu panggilannya padaku ketika kami kecil.
Kurasakan luka di kepalaku kembali mengeluarkan darah. Sepertinya lebih banyak. Alirannya perlahan membanjiri wajahku. Mata Rei terbelalak menyaksikannya.
“Dokter! Kita harus panggil dokter, Ayah.” Panik Rei.
Sepertinya Ayah tak mendengarkan Rei. Ia masih memperhatikan tangannya yang terkena cipratan darah ketika menamparku. Wajahnya pucat. Seperti ada kenangan pahit yang menghampiri pikirannya. Matanya menatap wajahku penuh ketakutan.
“Ayah!” panggil Rei lebih keras. Barulah Ayah memberikan perhatiannya.
“Cepat panggilkan dokter!”
Ayah langsung berbalik hendak memanggil dokter. Tapi kutahan kakinya. Ia menatapku ketika kugelengkan kepala.
“Kenapa?” tanya Rei sedikit gusar. Ayah berlutut di sampingku, di hadapan Rei.
“Aku melihat Mama datang. Ia meminta diriku untuk ikut dengannya,” jawabku. Rei terlihat terkejut.
“Ayah…. Bolehkah aku ikut dengan Mama?” tanyaku lagi. Aku mulai sulit menggerakkan tungkaiku. Rasanya seluruh udara di sekitarku menjadi dingin. Kuperhatikan wajah Ayah, matanya basah. Ada aliran air di pipinya ketika ia mengangguk.
“Rio! Jangan pergi! Ayah! Cepat panggilkan dokter! Kak Rio pasti selamat, kan? Ayah!” Rei mengguncang-guncang bahu Ayah. Kugenggam tangan Rei yang menyangga tubuhku untuk mendapatkan perhatiannya.
“Nggak apa-apa Rei. Aku akan selalu bersamamu, kok. Seperti Mama yang selalu menyertaimu,” ucapku. Kurasakan sesuatu mengalir melewati wajahku. Bukan air mata, tapi darah dari lukaku yang terus menderas.
“Rio! Bertahan, Rio! Ayah, lakukan sesuatu, Yah!” Rei semakin panik.
“Ayah akan panggilkan dokter,” ucap Ayah. Ia beranjak bangun, namun Rio menarik pakaiannya.
“Maafkan aku, Ayah! Aku tidak menjadi anak yang seperti Ayah harapkan. Maafkan aku karena tidak bisa menjaga Rei hingga akhir,” ujarku.
“Sudahlah, nak! Kau sudah melakukan segalanya. Ayahlah yang salah karena terlalu memaksakanmu, Rio. Kau mau kan, memaafkan Ayahmu ini?” tanya Ayah.
Segera kuanggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan tersebut. Entah mengapa, tapi hatiku terasa bahagia. Luka di kepala ini pun menjadi tak berarti karena kebahagiaan itu. Inilah pertama kalinya Ayah memperhatikanku. Tapi, mataku lelah sekali. Mungkin aku bisa tidur sebentar. Rei tentunya tak keberatan membiarkan lengannya menjadi alas tidurku, kan? Perlahan kututup mataku dan mulai bermimpi. Mama memanggilku berkali-kali, semakin lama semakin dekat, tangan lembutnya mengajakku untuk pergi.
“Rio! Sadarlah, Rio! Buka matamu!” Rei berteriak seraya mengguncang-guncang tubuhku. Aku terbangun dari tidurku yang belum benar-benar pulas. Kulihat wajah Rei, wajah yang sama sepertiku, basah dan merah.
“Ayah akan menemui dokter,” suara Ayah, kemudian ia berlari meninggalkan kami.
‘Rei, kenapa menangis? Aku akan bertemu dengan Mama. Aku akan menyampaikan perasaanmu padanya. Aku berjanji,’ kalimat yang ingin kukatakan pada Rei. Sulit sekali kuucapkan karena rasa lelah ini.
‘Maaf Rei, tapi Mama sudah menungguku lama di sana. Aku harus segera menghampirinya. Kita pasti akan bertemu lagi. Karenanya, jangan ucapkan selamat tinggal, ya.’ Kututup mataku untuk beristirahat.
Mama kini di hadapanku. Kuraih tangannya yang lembut itu. Segera saja ia menggenggam tanganku dan mengajakku terbang dengan sayapnya. Saat terbang itu, tampak gambaran yang muncul. Itu adalah aku ketika kecil. Ketika sendiri di rumah menunggu kepulangan Mama dari rumah sakit setelah menjenguk Rei yang dirawat karena kanker darah. Sedangkan, Ayah tetap di sana untuk menjaganya. Tapi, sekarang aku tidak sendiri lagi. Karena Mama akan selalu ada di sampingku. Selamanya.
*******
Malam itu, Rio meninggal dunia di dekapanku. Ia meninggal karena kekurangan darah akibat lukanya yang sulit menutup. Setelah diselidiki, rupanya ia menderita hemofilia. Stadium awal memang. Tapi, untuk luka sebesar itu, tentu saja darahnya akan sulit untuk membeku dengan cepat.
Nenek dari Mama adalah pembawa hemofilia. Sepertinya semua berawal dari sana. Karena itulah Mama tidak hanya pembawa kanker darah, tapi juga pembawa hemofilia. Sepertinya, darah kami sudah ditakdirkan untuk semua ini.