Cute Brown Spinning Flower

13.8.14

CERPEN: THE PEACE EYES

Ini cerpen yang keberapa ya? Baca aja deh.. hahaha... jangan lupa tinggalin komentar yaa... :)

THE PEACE EYES
            Lima tahun yang lalu, di sebuah rumah sakit di Jakarta.
            Setelah koma selama dua hari, Ryo yang telah siuman merasakan suatu kejanggalan. Tatapannya memperhatikan gundukan-gundukan selimut yang menutupi setengah tubuh dan seluruh kakinya. Wajahnya mulai panik. Sangat cepat ia membuka selimut itu meskipun perawat sudah berusaha mencegahnya. Mata Ryo terbelalak kaget. Sungguh sulit ia mempercayai yang kini dilihatnya. Suatu kehampaan.
            “KAKI SAYA MANA, SUSTER? KAKI KANAN SAYA DIMANA? KENAPA GAK ADA?” Ryo histeris mendapati tungkai bawahnya yang telah teramputasi. Tangannnya tak henti menarik-narik lengan perawat yang berusaha menenangkannya. Teriakan demi teriakan terus mengguncang ruangan tersebut jika saja dokter tak datang untuk memberikan obat penenang pada Ryo.
********
Satu tahun yang lalu, di sebuah rumah sakit di Bogor.
Raya dengan tangan yang menggerayangi dinding, berjalan perlahan menuju sebuah ruangan berpintu putih yang setengah terbuka. Ia tahu, ibunya di dalam sana. Nafas yang terengah tak dapat menaklukannya untuk berhenti dan beristirahat.
“Nggak mungkin, Dok! Anak saya nggak mungkin menderita leukemia,” sangkal Bu Eri. Wajahnya memucat, sepucat warna kertas diagnosis yang digenggamnya.
“Tidak ada seorang pun yang menginginkan ini terjadi, Bu. Namun, hasil uji lab mengatakan seperti itu. Raya menderita leukemia stadium 2,” jawab Dokter Rei.
“Leukimia?” gumam Raya dari daun pintu. Suaranya menarik perhatian Bu Eri dan Dokter Rei. Mata Raya basah. Tak lama air matanya mulai menitik. Ia merasa melayang, berputar-putar dalam dunia yang mulai mempermainkannya hingga ia tak mampu melawan. Tiba-tiba selurunya menjadi gelap.
*******
Sekarang, di sebuah jembatan di Bogor.
Seorang wanita berjalan gontai tanpa alas kaki. Pakaiannya khas pasien yang menjalankan opname di rumah sakit. Rambutnya tipis, lurus sebahu, tergerai dan sedikit berantakan. Matanya mulai membengkak akibat air mata yang semalaman tak dapat ia bendung lagi. Langkahnya terhenti di tengah jembatan setelah bersusah payah tertatih. Ia menatap aliran sungai yang setengah deras dengan mantap. Tangannya memcengkram tepi jembatan. Hatinya menciut. Tapi, ia tetapkan untuk tidak beranjak.
“Nggak. Aku nggak boleh ragu. Aku harus melakukan ini. Aku nggak kuat terus-menerus menahan sakit itu,” gumamnya dengan gemetar.
Kaki wanita itu mulai naik pada sela-sela lubang persegi yang membatasi jembatan, membuat tubuhnya semakin tinggi. Belum merasa cukup, ia melangkah naik sekali lagi pada lubang persegi di atas lubang sebelumya. Tangannya direntangkan untuk menyeimbangkan tubuhnya yang agak oleng. Lagi, kakinya melangkah naik pada lubang persegi yang berada di atas lubang sebelumnya. Ia dapat merasakan betapa tingginya jembatan saat melihat ke bawah.
“Ma! Raya harap, setelah kepergian Raya, Mama gak akan sesusah ini lagi. Raya cuma bisa merepotkan. Untuk terakhir, maafkan Raya.” Setelah mengatakan itu, Raya menarik nafasnya dalam-dalam. Ia sempat ragu lagi, tapi… kepalanya digeleng-gelengkan.
‘Aku gak boleh mundur,’ batinnya. Setelah menghela nafasnya, ia mulai melemaskan seluruh tubuh dan mencondongkannya ke depan. Matanya tertutup saat ia merasa pijakannya mulai tergelincir.
“Selamat tinggal, Mama….”
“JANGAAANNN!” seseorang berlari mendekati Raya dan menarik tubuhnya jatuh ke tengah jembatan. Orang tersebut melingkarkan lengannya pada tubuh Raya yang mulai memberontak karena percobaan bunuh dirinya gagal.
“Lepaskan aku! Lepaskan! Aku mau mati aja. Aku udah gak mau hidup lagi. Lepaskan aku! Lepaskan! Lepas…kan…,” tubuh Raya yang bergerak berontak itu seketika melemah. Isaknya tak lagi terdengar. Ia pingsan. Tapi, orang yang menolongnya tak segera melepaskan kedua lengannya dari tubuh Raya. Ia tatap wajahnya yang pucat dan kelelahan itu.
******
Mata Raya bergerak-gerak sesaat sebelum bangun dari ketidaksadarannya. Rasanya cukup lama juga ia tertidur. Ketika matanya telah terbuka, ia mendapati wanita setengah baya sedang memijat-mijat kakinya. Jari tangannya bergerak-gerak meraba kulit-kulit sofa yang rasanya mulai rusak.
“Alhamdulillah. Non sudah bangun,” ujar wanita paruh baya itu.
“Saya dimana?” tanya Raya. Ia berusaha duduk dan menahan kepalanya yang terasa berkunang-kunang.
“Non ada di rumah Bibi. Tadi Den Ryo yang membawa Non kemari,” jawabnya lagi, memperkenalkan diri sebagai Bibi.
“Ryo?” gumam Raya. Otaknya sulit berpikir, ia hanya ingat saat hendak terjatuh dari jembatan tadi ada seseorang yang menariknya. Seorang pria. Setelah itu, ia tak ingat apapun lagi.
TUK! TUK! Raya mendengar sesuatu dari pintu yang mengarah pada ruangan lain dari rumah itu. Seperti suara kayu yang dipukul-pukulkan pada lantai. Tapi, ini suaranya berirama. Seperti… suara langkah seseorang.
Tak lama, dari ruangan gelap dimana suara tersebut berasal, muncul seorang pria. Tinggi, dengan rambut pendeknya yang terjatuh dan berponi. Wajahnya oval dibalut kulitnya yang kecoklatan. Matanya tak terlalu sipit, namun tampak selalu berbinar. Tubuhnya cukup atletis. Tangan kirinya membawa gelas berisi air putih hangat. Namun, tangan kanannya menggenggam sesuatu yang biasa Raya lihat di rumah sakit dan sering digunakan sebagai pembantu jalan. Sebuah kruk. Ketika Raya memperhatikan bagian kaki kanan pria itu, ia mengerti mengapa terdapat kruk di tangannya.
“Eh, sudah bangun ya?” suaranya. Perlahan ia melangkah, meskipun terlihat agak kesulitan karena harus menyeimbangakan tangan kirinya agar air di gelas tak tumpah. Ia memberikan gelas tersebut pada Bibi.
“Ini Non. Diminum dulu!” ucap Bibi menyuguhkan gelas itu pada Raya. Ia sedikit ragu menerimanya.
“Minumlah! Kamu kayaknya capek banget,” ujar pria itu. Bibirnya tersenyum.
‘Sepertinya mereka orang baik-baik,’ pikir Raya. Segera ia ambil minuman dari tangan Bibi dan meminumnya. Raya benar-benar haus. Ia berikan gelas kosong itu pada Bibi.
“Minum lagi, Non?” tanya Bibi takjub. Raya menggelengkan kepalanya. “Baiklah kalo begitu. Bibi ke belakang dulu,” pamit Bibi seraya beranjak pergi. Ia memasuki ruangan gelap tempat pria tadi keluar.
Raya kembali menunduk. Matanya sendu. Namun ia tak mengerti apa yang sedang ia pikirkan. Bahkan ia tak menyadari seseorang yang kini telah duduk di sampingnya, di tempat yang tadi Bibi duduki.
“Hei! Kenapa kamu mencoba bunuh diri?” tanyanya tanpa basa-basi.
Raya tersentak. Ia angkat wajahnya menatap pria disampingnya itu. Matanya teduh. Seperti tak ada kata susah pada hidupnya. Ia baru sadar kalau pria tersebut ternyata hampir sebaya dengannya.
“Kamu Ryo?” suara Raya lirih. Mendengar namanya disebut, Ryo hanya tersenyum. Tapi, diluar dugaan, Raya justru menangis.
*********
“Dunia ini benar-benar gak adil. Kenapa aku? Kenapa harus aku yang terkena penyakit itu?” ungkap Raya pada Ryo yang duduk di sampingnya. Mereka berada di teras rumah Bibi sekarang.
Raya biarkan ingatannya mengambang, berkelana menyusuri lorong-lorong waktu, menuju suatu tempat yang ia kunjungi setahun lalu. Sebuah kantor sempit milik seorang dokter. Di sanalah ia dapatkan vonis leukemia itu. Tubuhnya menggigil ketakutan. Meskipun surya sore itu begitu indah, hatinya justru diselimuti awan-awan gelap. Sedih.
“Mereka gak merasakan yang aku rasa. Sakit. Dingin. Saat obat-obat itu mengalir dalam tubuhku. Aku hanya bisa menangis. Mengapa mereka tega melakukan itu padaku? Semua yang aku miliki, telah direnggut oleh penyakit itu. Rambutku perlahan rontok, wajahku membengkak. Bahkan, dua minggu lagi aku harus menjalani operasi. Aku takut. Operasi itu pasti jauh lebih sakit daripada saat obat-obat keras yang disuntikkan pada tubuhku,” terang Raya tentang perasaannya. Ia tutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menyembunyikan air mata.
“Tapi gak perlu sampai bunuh diri, kan? Justru kalau kamu melakukan itu, kamu akan kehilangan segalanya…,” komentar Ryo dengan hati-hati.
“KAMU GAK NGERTI, RYO! Gimana rasanya jadi sebuah beban. KAMU GAK NGERTI!” jawab Raya setengah membentak setelah menurunkan kedua tangannya.
Ryo terkejut mendapati reaksi Raya. Namun, ia maklum. Pasti tak mudah bagi Raya untuk menerima semua pukulan itu. Sesaat, ia tersenyum.
“Yah. Aku emang gak ngerti,” ujar Ryo.
“Tapi, apa besok kamu bisa ikut aku ke suatu tempat? Aku yakin, di tempat itu kamu gak akan merasakan sakit. Bukankah lagipula, kamu harus pulang. Sekarang sudah hampir malam. Apa perlu aku antar?” tawarnya.
Raya terdiam. Ya, ia harus kembali ke rumah sakit. Ia sadar, tindakan kabur dari sana pasti membuat orang tuanya khawatir. Sebenarnya, bukan leukemia itu yang merepotkan, tapi dirinya.
“Hm… sepertinya menarik,” jawab Raya. “Boleh, deh!” tambahnya menyanggupi. Dalam pikirannya tersusun rencana untuk kabur lagi dari rumah sakit besok.
Ryo tersenyum. Ia raih kruk aluminium di sampingnya dan menggunakannnya untuk berdiri.
“Kalau begitu, aku tunggu kamu di sini esok pagi,” ucap Ryo. Ia menatap kesungguhan di mata Raya.
********
Keesokan paginya. Nafas Raya terengah-engah saat mendekati rumah Bibi. Ia lihat Ryo berdiri di depannya. Tersenyum dengan matanya yang berbinar-binar. Ia sadar, sejak kemarin tak sedikit pun terlihat wajah Ryo yang sendu karena kaki yang tak sempurna. Benar. Ia dan Ryo memiliki persamaan. Yaitu, ketidaksempurnaan. Hanya saja ketidaksempurnaan Ryo sungguh terlihat, tapi ia tidak. Bahkan bisa dikatakan ia tidak memiliki ketidaksempurnaan sama sekali bila saja ia tidak mengungkapkannya.
“Hei! Lagi mikirin apa, sih?” tanya Ryo menyadarkan Raya yang bengong.
“Eh? Nggak, kok!” jawab Raya. Nafasnya agak berat. Ia kelelahan.
“Istirahat dulu, deh!” saran Ryo.
“Ng…nggak usah. Aku nggak apa-apa, kok.” Raya menyanggah. Ryo sadar, wajah Raya memucat. Tapi Raya tak mau menyadari itu.
“Ya, sudah. Ayo berangkat!” ajak Ryo.
“Kemana?”
“Ke tempat yang nggak membuatmu sakit,” jawaban Ryo seperti yang dikatakannya kemarin.
*********
Perjalanan yang cukup jauh memaksa Raya untuk membantu Ryo. Awalnya Raya merasa risih, namun seiring waktu ia mulai mengerti. Padahal sesungguhnya Ryo bisa melakukannya sendiri, mengingat ia sering mengunjungi tempat tersebut. Namun, Ryo biarkan Raya melakukan apa yang ia inginkan.
“Maaf, ya. Kamu jadi repot gara-gara aku,” Ryo meminta maaf ketika Raya menyerahkan kruknya setelah mereka turun dari sebuah angkutan umum.
“Nggak apa-apa, kok.” Jawab Raya dengan tersenyum. Wajahnya yang pucat terlihat lebih berkilau tertimpa sinar matahari pagi dari sudut kanannya. “Kita udah sampai belum, ya?’ tanyanya kemudian.
“Udah, kok.” Jawab Ryo seraya mengangguk. “Gedungnya ada di balik toko ini,” lanjutnya seraya menunjuk toko di hadapan mereka.
Raya mengatur nafas, seakan meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Kemudian ia melangkah mendahului Ryo yang mengikutinya memasuki sebuah gang kecil di samping toko tersebut. Dalam dada yang berdebar, tempat apa sebenarnya yang ingin sekali Ryo tunjukkan kepadanya. Sudah sejak keberangkatan mereka, ia memikirkan banyak hal tentang tempat yang akan ia kunjungi. Tak luput pikiran buruk terus-menerus mendatanginya, mengingat Ryo adalah orang yang baru saja ia kenal, yang bisa dikatakan sebagai penyelamat nyawanya, atau perenggut hak atas kebebasannya? Tapi, ia buang semua pikiran itu.
“Selamat datang di Gelanggang Olahraga SAHABAT,” sambut Ryo seraya membuka pintu di hadapan kami.
Cahaya matahari sedikit menghalangi pandangan Raya. Namun, ketika matanya mulai terbiasa dengan itu, sebuah lapangan sepak bola yang hijau dan luas menyambutnya. Ryo mengajak Raya ke sebuah tempat pelatihan atlet. Tapi, Raya merasa ada sesuatu yang berbeda pada atlet-atlet yang berlatih di gelanggang olahraga ini.
“Ha?” Raya terkejut. Kedua tangannya spontan menutup mulutnya yang ternganga. Rupanya, atlet yang berlatih di sini adalah atlet-atlet yang ‘luar biasa’.
“Ayo masuk!” ajak Ryo kemudian. Ia mempersilakan Raya mendahuluinya untuk memasuki gelanggang olahraga itu.
Rupanya bukan hanya lapangan sepak bola saja di dalamnya. Ada pula lintasan lari, lapangan tolak peluru, lapangan basket, lapangan volley, lapangan bulu tangkis, lapangan tenis, dan lainnya. Seluruhnya tak ada yang kosong. Semua terpakai untuk berlatih atlet-atlet ‘luar biasa’ itu.
“Yoo, Ryo. Kau baru datang, kawan?” seorang lelaki mendekati mereka dengan susah payah. Karena kedua tangannya harus memutar roda dari kursi roda yang ia duduki. Setelah posisinya sampai di hadapan Ryo, ia mengangkat tangannya dan bersalaman dengan Ryo.
“Ya. Begitulah,” jawab Ryo dengan tubuh yang bertopang pada kruknya karena goncangan dari tangan temannya  agak berlebihan. Namun, mereka terlihat menikmati cara tersebut.
“He? Siapa itu, Ryo?” Tanya lelaki tersebut seraya melirik pada Raya.
“Oh, iya! Ini teman baruku. Namanya Raya,” jawab Ryo. Ia menyejajarkan diri dengan Raya.
“Rama,” ujar lelaki itu. Ia mengulurkan tangannya ke hadapan Raya, mengajaknya bersalaman.
Raya merasa risih membalasnya. Baru pertama kali ini ia melihat seseorang yang menggunakan kursi roda. Tapi, ia beranikan diri untuk membalas uluran tangan Rama.
“Raya,” ucapnya seraya berjabatan dengan Rama.
*******
Ryo mengajak Raya berjalan-jalan mengelilingi lapangan. Ia banyak bercerita tentang pengalamannya sebagai atlet. Ketika dirinya berlatih setiap pagi hingga petang setiap hari. Karena ketekunannya itu, maka ia dinobatkan sebagai pelari tercepat dari atlet lari yang lain. Kemudian ia mengikuti olimpiade atletik untuk atlet-atlet ‘luar biasa’. Pada olimpiade tersebut, Ryo keluar sebagai pemenang pada cabang olahraga lari. Saat itu, apa yang diyakininya terbukti. Bahwa, seseorang yang memiliki bentuk tubuh yang tidak sempurna pun tetap bisa berprestasi.
“Setelah itu, nama dan fotoku masuk koran nasional, lho.” Ryo mengakhiri ceritanya. Wajahnya begitu bahagia mengingat masa-masa tersebut.
“Wah! Hebat,” puji Raya.
“Sekarang, coba bayangkan! Pasti banyak hal yang bisa dilakukan dengan tubuh yang sempurna, kan?” Tanya Ryo.
Raya menunduk.
“Memang banyak hal yang bisa dilakukan. Tapi, tubuhku lemah. Lelah sedikit saja, sudah sulit untuk bergerak.” Jawabnya. Matanya berkaca-kaca, rasanya sedih membayangkan bahwa dirinya tak berguna.
“Karenanya, berusahalah untuk sembuh! Aku percaya, jika kita berusaha dengan keras tentu apa yang kita inginkan akan tercapai, kan?” Tanya Ryo lagi.
“Iya. Memang benar,” Raya masih menunduk. Ia sepertinya memikirkan sesuatu. Mungkin, ia sedang mencoba mempercayai apa yang juga dipercaya oleh Ryo. Tak ada salahnya berusaha, toh? Meskipun operasi itu memang menyakitkan, tapi itulah salah satu jalan baginya untuk sembuh. Karena lari pun percuma saja bukan?
“Ryo! Hari rabu, dua minggu lagi, aku akan menjalani operasi transplantasi sumsum tulang. Aku ingin dirimu ada di sana saat itu. Karena, kalau ada Ryo, entah kenapa aku merasa lebih semangat untuk hidup. Bisakah?” ujar Raya.
“Tentu saja,” jawab Ryo. Ia tersenyum lebar karena Raya sudah mendapatkan semangat hidupnya kembali.
*******
Dua minggu setelah hari itu, Raya bersiap-siap menjalani operasi ransplantasi sumsum tulang. Meskipun awalnya agak menyeramkan, tapi ia sudah bertekad untuk melakukannya. Tambah pula, Ryo datang menengok. Maka semakin percaya dirilah Raya akan tekadnya. Akhirnya operasi dimulai. Keluarga Raya menunggu di luar ruang operasi dengan khawatir.
Beberapa jam kemudian, operasi selesai. Dokter mengatakan bahwa operasi Raya telah berhasil dilakukan. Namun, datang kabar buruk dari orang yang mendonorkan sumsum tulangnya kepada Raya.
“Mama?” gumam Raya saat melihat Bu Eri ketika sadar dari tidurnya.
“Syukurlah kau bangun, nak. Apa yang kau rasakan?” Tanya Bu Eri.
“Aku…, ingin berterimakasih pada pendonorku, Ma.” Jawab Raya.
Bu Eri diam sejenak.
“Baiklah. Mama akan mengantarkanmu padanya saat kau sudah lebih baik,” ujarnya.
*******
Beberapa hari pasca operasi, kesehatan Raya semakin membaik. Karenanya ia dapat keluar dari rumah sakit lebih cepat. Saat itu, ia menagih janji yang pernah dikatakan Bu Eri padanya. Ia ingin sekali bertemu dengan pendonornya dan mengucapkan terimaksih karena telah berbagi kehidupan untuknya. Jika tidak, Raya pasti akan menyesal seumur hidup.
“Mama! Kenapa mengajakku ke pemakaman? Apa kita akan mengunjungi Papa dahulu?” Tanya Raya saat turun dari mobil. Tapi, Bu Eri tak segera menjawabnya.
“Di sini,” ujar Bu Eri begitu sampai di depan sebuah makam.
“Ini makam siapa, Ma? Kenapa letaknya di samping makam Papa?” Tanya Raya dengan polosnya.
“Ini…,” Bu Eri berlutut di samping makam tersebut. Air matanya menitik deras. Ia mengusap-usap batu nisan makam tersebut.
Ryo, tulisan di batu nisan itu.
“Ini makam kakakmu. Ia juga yang mendonorkan sumsum tulangnya padamu,” lanjutnya.
Raya begitu terkejut. Benarkah ini makam kakaknya? Karena selama ini, yang ia ketahui, bahwa ia adalah anak tunggal di keluarganya.
“Mama bohong, kan? Bukankah aku tidak memiliki saudara, Ma?” tanyanya.
“Maafkan Mama, Raya! Mama tidak pernah sanggup menceritakannya padamu. Dua minggu yang lalu, kakakmu datang ke rumah sakit dan menyatakan bersedia mendonorkan sumsum tulangnya padamu. Tapi, ketika operasi, ia tak mampu bertahan.” Jawab Bu Eri.
Raya berlutut di samping ibunya. Otaknya sulit untuk berpikir mengetahui kenyataan yang ada di hadapannya. Apakah Ryo kakaknya sama dengan orang yang megajaknya ke gelanggang olahraga tempo hari?
“Tapi, sebelum Ryo pergi, ia bersyukur dapat bertemu denganmu sebelum operasi,” lanjut Bu Eri.
“Ma! Apakah Kak Ryo memiliki luka amputasi pada kaki kanannya?”
Bu Eri membenarkan pertanyaan Raya. Saat itulah Raya tak mampu lagi membendung air matanya. Ia yakin, Ryo yang menyelamatkan dirinya dari putus asa, yang mendengarkan keluh kesahnya, dan yang menjadi pendorong semangat hidupnya adalah kakaknya sendiri. Karena itulah, mengapa ia begitu tenang saat melihat mata Ryo. Mata itulah yang selalu menemaninya ketika ia masih kecil.
*******
Lima tahun yang lalu, keluarga Raya mengalami kecelakaan tragis yang menyebabkan Pak Satoru, suami Bu Eri, meninggal. Sedangkan tungkai kanan bagian bawah Ryo remuk, sehingga harus di amputasi.  Raya mengalami shock hebat. Karena itulah, ketika ia melihat Ryo dengan lukanya, ia terus menerus berteriak. Kemudian, Bu Eri meminta Bibi, pramuwisma di rumah keluarganya, untuk mengurus Ryo saat Raya terapi. Namun, dalam perjalanannya, Raya benar-benar melupakan kenangan-kenangan tentang kecelakaan tersebut, termasuk melupakan Ryo.
Tiba-tiba Raya mulai sakit-sakitan. Berulang kali ia masuk keluar rumah sakit. Karena harus menjaga Raya, Bu Eri sekali lagi menitipkan Ryo pada Bibi. Satu tahun berlalu, hingga akhirnya tak sengaja mereka bertemu. Ryo langsung menyadari bahwa Raya adalah adiknya. Selama ini, ia tak mengetahui kabar apa pun tentang adiknya tersebut. Saat mengetahui penderitaan Raya, ia segera menemui Bu Eri dan menyanggupi diri untuk menjadi pendonor sumsum tulang bagi Raya.
“Dengan mendonorkan sumsum tulangku, bukankah berarti aku bisa menjaga Raya selama hidupnya?” begitulah harapan Ryo.

*******

0 komen:

Posting Komentar