Cute Brown Spinning Flower

13.8.14

CERPEN: MY BROTHER’S LAST SMILE

Nah, ini adalah cerpenku yang entah keberapa juga.. hahaha... Let's enjoy it aja deh.. jangan lupa komentar yaa...

MY BROTHER’S LAST SMILE
            “Kak Rio!” Rei kecil membawa sepedanya mendekatiku. Maka kuperhatikan ia yang wajahnya membujuk.
            “Bantu aku belajar sepeda, yuk!” pintanya. Tangan Rei menarik-narik lenganku agar aku mengikutinya menuju jalanan di depan rumah kami.
            “Ayo naik! Aku pegang dari belakang,” ujarku. Tapi Rei tak menurut. Ia menginginkan aku ikut berboncengan dengannya. Aku turuti keinginannya dan segera naik ke atas boncengan sepeda itu. Kemudian Rei mengayuh sepedanya dengan cepat.
            “Jangan cepat-cepat! Kamu baru saja bisa, Rei….” Nasihatku tidak diindahkan oleh Rei. Tapi, aku akui kalau Rei memang pembelajar yang cepat. Ia segera bisa mengendarai sepeda meski baru tiga hari kulatih.
            “Rei! Kamu mau kemana? Jangan ke jalan turunan itu!” tapi aku terlambat mencegahnya. Kami berada di jalan turunan yang panjang sekarang.
            Rei bersorak gembira dan spontan melepas salah satu tangannya dari stang. Ia kehilangan kendali. Sepeda yang kami naiki oleng dan terperosok ke selokan.
            “Hiks…, hiks…, sakiiit…,” tangis Rei. Ia berusaha berdiri. Pakaian dan tubuhnya basah oleh air selokan, begitu pula aku.
            Beberapa orang membantu kami keluar dari selokan. Aku mengucapkan terimakasih kepada mereka kemudian menuntun sepeda bersama Rei untuk bergegas pulang.
            “Sudah! Sudah! Nggak usah nangis!” ucapku menenangkan. Tapi Rei tetap menangis.
            Ayah segera menghampiri begitu kami sampai di depan pintu pagar halaman. Aku yakin, Ayah pasti marah besar melihat kami basah kuyup begini. Aku menunduk ketakutan. Tapi, Rei masih menangis.
            “Sudah! Ayo, kita bersihkan tubuhmu!” suara Ayah begitu mendekati kami. Ia mengangkat tubuh Rei, menggendongnya. Kemudian Ayah berbalik kembali ke dalam rumah, meninggalkanku yang masih berdiri menunduk. Kuangkat kepalaku, kulihat Rei terus menangis di pelukan Ayah yang tetap berjalan tanpa mempedulikanku.
*******
            Aku terbangun karena terkejut. Kuperhatikan sekeliling. Kamar tidurku.
            “Huft! Mimpi, ya?”. Mimpi tentang masa kecilku. Ketika pertama kalinya kurasakan sepinya sendirian. Hingga aku tumbuh dalam perasaan itu.
            Terburu-buru kuturuni tangga menuju ruang makan. Kulihat Rei di hadapanku, ia pun terburu-buru. Sepertinya, bukan hanya aku yang bangun kesiangan pagi ini.
            “Cepat sarapan, Rei! Kamu harus berangkat sebentar lagi,” Ayah memanggil Rei seraya mebuatkan sarapan untuknya. Tapi, ketika aku datang dan duduk di kursiku, Ayah diam. Bahkan tidak menyapaku. Rasanya sedih. Rasa yang selalu kurasakan ketika didekatnya.
            “Ayo makan, kak!” Raya, adik perempuanku, meletakkan roti buatannya di atas piringku. Aku tersenyum menerimanya.
*******
            Aku berjalan gontai di lorong sekolah yang menuntunku ke lapangan basket. Seraya menunduk dalam, merenungkan kesedihanku. Sedih? Kenapa aku sedih? Apa karena kejadian pagi tadi? Tapi itu sering terjadi, kan? Tentu aku dapat menghadapinya.
            “Kakak!” seseorang menepuk bahuku.
            “Hayo, melamun ya?” itu Raya. Ia berjalan di hadapanku dengan matanya yang tetap menatapku. Kujawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala.
            “Kak Rio mau kemana? Ke lapangan basket, yuk!”
            “Ngapain?”
            “Kok, ngapain? Kemarin, kan Kak Rei bilang ada pertandingan basket hari ini. Kita diminta nonton.”
            “Oh, iya!” seruku setelah ingat ajakan Rei kemarin.
            “Kalau begitu, ayo cepat ke lapangan basket!” Raya menarik lenganku dan memaksaku untuk mengikutinya.
*****
“Yeah! Masuk lagi!” teriakan Raya setiap grup basket Rei mencetak angka. Suaranya benar-benar mengganggu telingaku. Tapi, perhatianku terfokus pada Rei. Larinya terlihat limbung. Ada yang tidak beres sepertinya.
BRUK!
“Kak Rei?!” jerit Raya ketika melihat Rei terjatuh. Rei ambruk tak sadarkan diri ketika sedang mendrible bola mendekati ring lawan. Aku dan Raya berlari turun dari panggung penonton untuk mendekatinya. Pertandingan terhenti sementara.
*****
PLAK!
Tamparan mendarat di pipi kiriku. Sakit.
“Ayah? Kenapa?” aku memandang Ayah, tak mengerti.
“Seharusnya kamu dapat melindungi adikmu! Sudah berapa kali Ayah katakan. Jaga Rei! Kamu benar-benar tidak berguna,” marah Ayah.
PLAK!
Ia menamparku sekali lagi. Lebih sakit.
“Sekali lagi Ayah dengar Rei terluka, Ayah tak akan segan-segan menghukummu. Mengerti?”
“I, iya, Yah.” Jawabku mengangguk pelan seraya menahan sakit. Ayah memutar tubuhnya dan pergi meninggalkanku. Saat itu kuberanikan mendongakan wajah. Kulihat Rei yang telah sadar dan Raya yang sejak tadi menjaganya, tengah memperhatikanku. Tanpa menghiraukan mereka, aku segera beranjak dari sana.
“Rio!” kudengar suara Rei memanggil. Tapi, aku tak pedulikan itu.
Kunaiki tangga hingga lantai tiga rumah, kemudian kulangkahkan kaki memasuki suatu ruangan penuh lukisan buatan Mama. Kubuka pintu kaca menuju beranda. Terlihat hamparan laut di sana dengan kapal-kapalnya yang akan bergemelap ketika malam tiba dan cakrawala yang seakan memotong langit. Aku selalu merasakan keberadaan Mama dan perasaannya yang hampir selalu menghabiskan waktunya di sini. Sebelum Mama meninggal.
Pipiku nyeri akibat tamparan tadi. Rasanya ada tetesan yang mengalir di daguku. Ketika kusentuh, ternyata darah. Tapi, darah itu tak sedikitpun membuatku panik. Entah sudah berapa tamparan yang ayah berikan padaku karena kelalaianku menjaga Rei.
“Ma…,” terlintas senyum Mama yang mampu menenangkan tangisku saat kecil dulu. Sampai saat ini bayangan itu masih terlihat jelas. Aku juga ingat, kalimat yang selalu diucapkannya. Tak penah kulupakan hingga sekarang. Kalimat yang membuatku bertahan hingga saat ini.
“Aku tidak sendirian. Mama akan selalu hidup dalam hatiku,” begitulah kalimatnya.
“Rio!” kudengar suara Rei. Ia mendekatiku begitu aku menoleh padanya dan memberikanku sapu tangan putih. Aku terima sapu tangan itu dan segera mengusapkannya pada daguku, tentunya dengan menahan sakit.
“Maaf. Rio! Gara-gara aku, Ayah marah besar padamu.” Permintaan maaf Rei membuatku tersentak. Ia menatapku.
“Sudahlah! Sudah biasa, kok. Ouch!” bicaraku kacau karena menahan sakit di pipi. Tapi, aku paksakan tersenyum dan membalas tatapannya. Sepertinya, Rei benar-benar khawatir.
“Aku gak apa-apa, Rei!” tambahku. Seketika raut wajah Rei berubah sedikit tenang. Kemudian ia memutar tubuhnya, matanya menatap lautan biru yang kini mulai gelap karena mega mendung memayunginya. Ia sangga tubuhnya dengan tangan yang dilipatkan menempel pada batas beranda.
“Aku sama sekali nggak ingat wajah Mama. Alasan kenapa Mama selalu berada di sini, ataupun suaranya. Aku hanya ingat sebuah ruangan putih, sepi. Berkali-kali aku memasuki ruangan itu, sendirian. Karenanya, saat sembuh, aku sangat senang. Tapi, sekarang, apakah aku harus memasuki ruangan itu lagi? Padahal, jika aku sembuh, Ayah pasti akan berhenti membedakanmu, kan?” ucap Rei tanpa sekalipun menatapku. Matanya nanar dan berkaca-kaca.
“Kamu bicara apaan, sih? Aku nggak apa-apa juga,” kudorong bahu Rei pelan.
“Tapi, itu sakit kan?” Rei menepuk pipiku pelan.
“Ouch! Jangan di tepuk, dong!” erangku kesakitan.
“Tuh, benar kan?” Kemudian Rei tertawa terbahak-bahak. Begitu pula aku. Meskipun sakit, tapi saat paling membahagiakan ini tak akan pernah aku lewatkan.
*******
“Ayah! Tunggu, Ayah!” aku belari keluar rumah mengejar Ayah yang akan mengantar Raya dan Rei ke sekolah dengan mobilnya. Tapi, aku terlambat. Mereka telah meninggalkanku. Aku hanya terpaku menatap sedan kecil tersebut seraya mengatur nafasku yang tersengal-sengal.
‘Padahal, jika aku sembuh, Ayah pasti akan berhenti membedakanmu, kan?’. Kalimat Rei kemarin masih terngiang ditelingaku.
“Nggak mungkin, nggak mungkin. Nggak mungkin Ayah membedakanku. Itu salah,” aku menyanggah kalimat itu berkali-kali. Mencoba tidak percaya pada kata-kata Rei. Karena memang tidak akan mungkin itu terjadi. Ayah membedakanku dengan Rei dan Raya hanya karena mereka sakit? Lucu sekali.
*******
“Ouch! Pelan-pelan, Raya!” keluhku ketika Raya mengobati memar di wajahku.
“Ini juga udah pelan, kak. Tahanlah!” jawab Raya, tangannya tetap mengusap-usapkan sapu tangan basah pada wajahku.
Terang saja sakit. Entah berapa kali Ayah menamparku karena aku lalai menjaga Rei. Rei terjatuh dari tangga ketika di sekolah. Jika aku ada di dekatnya, tentunya tak akan kubiarkan. Tapi, aku tahu kejadian itu setelah seseorang memberitahukan bahwa Rei berada di ruang UKS. Katanya, Rei tiba-tiba pingsan ketika menuruni tangga. Karena tak ada seorang pun di sekitarnya, maka tubuhnya yang lemas itu terjatuh berguling-guling ke bawah.
Ini semua terjadi karena kanker darah Rei kambuh lagi. Ayah memintaku untuk melindunginya. Tapi, aku tak bisa selalu ada di sampingnya, kan? Kali ini, Ayah pasti akan mengurungku di kamar selama dua hari. Meski hukuman ini lebih baik daripada hukuman tidur di luar rumah, tetap saja, sendirian.
“Raya!” suara Ayah, mengejutkan. Ia meminta Raya untuk meninggalkanku. Sebelum pergi, Raya menatap ke arahku. Ia tampaknya ragu dan khawatir. Tapi, aku yakinkan bahwa aku baik-baik saja. Raya tersenyum dan ia beranjak keluar dari kamarku.
Kutatap wajah Ayah, merah padam. Ia mencabut kunci dari pintu kamarku, menutup pintunya, kemudian menguncinya dari luar. Mengurungku di dalam, sendirian.
*******
‘Padahal, jika aku sembuh, Ayah pasti akan berhenti membedakanmu, kan?’
‘Seharusnya kamu dapat melindungi adikmu! Sudah berapa kali Ayah katakan. Jaga Rei! Kamu benar-benar tidak berguna.’
Mataku menatap lurus pada layar handphone dan jari-jariku asyik memainkan keypad-nya. Tapi, pikiranku sibuk dengan kalimat Rei dan Ayah tempo hari. Kalimat-kalimat yang benar-benar menampar batinku. Sesak rasanya dada ini jika mengingatnya. Tapi, aku sulit menghilangkan keduanya dari otakku.
“Rei?” gumamku ketika melihat ia keluar dari kelasnya. Aku sengaja bersembunyi dan mengawasinya diam-diam dari jauh, untuk mencegah Rei dari bahaya. Sesuai perintah Ayah.
Rei terlihat kebingungan. Matanya berputar memperhatikan sekitar, seperti ada yang dicarinya. Segera ku bersembunyi di balik dinding agar ia tak menemukanku. Setelah sepertinya dirasa aman, ia melanjutkan perjalanannya.
Sekitar lima belas menit aku ikuti Rei. Hingga kami sampai di sebuah pemakaman umum. Rei masuk ke dalamnya, begitu pula aku. Ia terus berjalan menuju makam yang akan dikunjunginya. Tak lama ia berhenti, ia telah sampai di makam tujuannya. Itu, kan… makam Mama.
“Ma!” suara Rei. Ia berlutut di samping makam. Tangannya mengusap-usap batu nisan. Beberapa saat ia diam, kemudian mengambil sesuatu dari dalam ranselnya. Itu seikat bunga. Rei menaruhnya di atas makam.
“Ma, kumohon. Jangan ambil kebahagiaan Rio. Ia cuma punya satu kebahagiaan. Cuma dari Mama,” Rei membicarakan tentangku. Tapi, aku tidak mengerti apa maksud kata-kata itu.
“Maafkan aku, Ma. Aku nggak bisa menjaga yang Mama berikan dan nggak bisa memenuhi harapan Mama, untuk terus sehat. Karena sakit itu datang lagi, Ma.” Kalimat Rei ini, rasanya tidak asing.
Seketika pikiranku kembali ke masa lalu. Aku pernah mendengar kalimat itu dari Mama. Sehari sebelum operasi transplantasi Rei.
“Hanya ini yang dapat aku berikan. Aku harap ia dapat selalu sehat dan tak pernah merasakan penderitaan seperti ini saat dewasa nanti,” begitu kalimat Mama. Ia mengatakannya seraya mengusap lembut kepalaku. Kemudian, setelah hari itu aku tidak pernah melihat wajah Mama lagi hingga kini. Mama meninggal saat operasi Rei dan aku tak tahu apa penyebabnya.
“Tapi, terimakasih Ma. Dengan sumsum ini, aku dapat menikmati hidupku lebih lama bersama Ayah, Rio, dan Raya,” suara Rei lagi. Aku tercengang mendengarnya.
Jadi, Mama meninggal karena mendonorkan sumsum tulangnya kepada Rei. Mama yang baru saja sembuh dari luka kecelakaannya, melakukan itu. Kenapa? Kenapa tak ada seorang pun yang memberitahukanku? Padahal, hanya Mama yang aku miliki dalam hidup.
“Ri… Rio? Sejak kapan kamu di sini? Kamu dengar semuanya?” tanya Rei. Ia terkejut melihatku yang telah berdiri di belakangnya.
“Kenapa… KENAPA NGGAK PERNAH MEMBERITAHUKU?” teriakku penuh gejolak. Kutatap mata Rei.
“Rio, aku nggak bermaksud untuk menyembunyikannya.” Rei melangkah maju.
“Jangan mendekat!” cegahku. Kukepalkan tangan, benar-benar ingin menghajarnya. Tapi, Rei adalah saudara kembarku dan hal tersebut tak akan mengembalikan Mama. Namun, amarah ini….
“Lakukan, Rio! Aku tahu betapa hancurnya hatimu. Lakukan saja!” ucap Rei, pasrah. Ia memejamkan matanya.
Mataku terbelalak. Ini kesempatanku untuk membalasnya, kan? Kuangkat tanganku. Ingin rasanya kuhajar wajah itu, wajah yang sama denganku. Wajah Rei, adik kembarku yang juga memiliki bagian tubuh Mama di tubuhnya. Tapi,….
“AKU NGGAK BISA MELAKUKAN INI!”
“Rio!” Rei berlari mengejarku yang melarikan diri.
Aku tak akan pernah bisa melukainya. Semarah apa pun diriku pada Rei, sebenci apa pun diriku pada Rei, sekecewa apa pun diriku pada Rei, meski pun hati ini hancur karena Rei, ia tetap adik kembarku. Apa pun yang akan aku lakukan padanya, tidak akan pernah mengembalikan Mama. Aku tahu. Saat itulah, hatiku menjadi lebih sakit. Hingga kurasakan aliran air di pipiku menderas ketika aku menyekanya.
“Rio! AWAS!” teriakan Rei menyadarkanku. Ketika hendak menoleh kepadanya, kulihat sebuah mobil hitam melaju kencang ke arahku. Suara klaksonnya menyelimuti seluruh kesadaranku. Tapi, samar kulihat Rei berlari mendekat.
BRAKK!!
*******
PLAK!
“Kau masih saja membiarkan Rei terluka, bahkan ini amat parah dari sebelumnya. Bukankah sudah Ayah perintahkan. Lindungi Rei! Kau benar-benar anak yang tidak berguna.”
PLAK!
Suara amarah Ayah? Suara itu membuatku membuka mata. Aku berada di suatu ruangan yang sering dikatakan Rei. Putih. Kulihat pada jendela ruangan ini. Ada aku dan Ayah di luarnya. Aku, ada di luar sana?
PLAK!
“Ayah sungguh kecewa padamu, Rio. Jika terjadi sesuatu pada Rei, semua adalah kesalahanmu. Saat Rei sembuh, Ayah ingin matamu tak sedetikpun melepasnya. Mengerti?”
“Aku mengerti, Yah. Aku mengerti apa yang selalu Rio rasakan dari Ayah,” jawab Rei.
Mata Ayah terbelalak. Ia terkejut karena yang ada di hadapannya bukanlah aku, tapi Rei. Rei menyamarkan tanda yang membedakannya denganku.
“Rei? Kamukah itu?” Tanya Ayah dengan suara yang telah melembut kembali. Tangannya mencoba menyentuh wajah Rei.
PLAK!
Rei menepis tangan Ayah dengan keras.
“Aku nggak butuh kebaikan Ayah. Bagaimana dengan Rio, Yah? Apa Ayah nggak khawatir sedikit pun dengan Rio?” ujarnya.
Ayah menurunkan tangannya yang kuyakin terasa sakit. Mungkin lebih sakit daripada setiap tamparannya di pipiku. Namun mata Ayah tetap menatap Rei dengan syahdu. Tak ada rasa amarah. Sebuah tatapan yang tak pernah kudapatkan.
“Rio seorang kakak, Rei. Kakak yang harus menjaga setiap adiknya. Lagipula, kau sakit. Siapa yang bisa menjagamu kecuali Rio? Ayah tak bisa selalu bersamamu,” jawab Ayah dengan nada ramahnya.
“Begitu juga Rio, Yah! Jika memang sakit yang aku miliki ini alasan Ayah membedakan kami, maka Rio lebih pantas mendapatkan itu, Yah! ” balas Rei.
“Rio?” wajah Ayah berubah menyeramkan.
“Dia satu-satunya anak yang beruntung dari kau dan Raya, tak ada yang perlu dilindungi dari dirinya…,” lanjut Ayah.
“AYAH SALAH! RIO-LAH YANG HARUS DILINDUNGI!” teriak Rei.
“KAU BERANI MEMBANTAH AYAH?” Ayah mengangkat tangannya hendak menampar Rei, untuk pertama kalinya.
“AYAH, JANGAN!”
PLAK!
Aku berlari kehadapan Ayah, menggantikan Rei menerima tamparannya. Sakit sekali, hingga tubuhku terjatuh ke arah Rei. Bahkan perban yang menutupi luka di kepalaku terbuka. Beberapa tetes darah muncrat dari luka itu.
“Rio! Apa yang kau lakukan?” Rei panik melihatku.
“Rei? Kamu nggak apa-apa, kan? Maaf. Aku nggak bisa melindungimu,” ucapku lirih seraya mengusap darah beku di dagunya. Kurasakan lengan Rei menyangga tubuhku yang terbaring.
“Bodoh! Buat apa kamu minta maaf? Aku yang seharusnya berterimakasih. Terimakasih, Kak Rio.” Ucapan Rei menyunggingkan senyum di bibirku. Itu panggilannya padaku ketika kami kecil.
Kurasakan luka di kepalaku kembali mengeluarkan darah. Sepertinya lebih banyak. Alirannya perlahan membanjiri wajahku. Mata Rei terbelalak menyaksikannya.
“Dokter! Kita harus panggil dokter, Ayah.” Panik Rei.
Sepertinya Ayah tak mendengarkan Rei. Ia masih memperhatikan tangannya yang terkena cipratan darah ketika menamparku. Wajahnya pucat. Seperti ada kenangan pahit yang menghampiri pikirannya. Matanya menatap wajahku penuh ketakutan.
“Ayah!” panggil Rei lebih keras. Barulah Ayah memberikan perhatiannya.
“Cepat panggilkan dokter!”
Ayah langsung berbalik hendak memanggil dokter. Tapi kutahan kakinya. Ia menatapku ketika kugelengkan kepala.
“Kenapa?” tanya Rei sedikit gusar. Ayah berlutut di sampingku, di hadapan Rei.
“Aku melihat Mama datang. Ia meminta diriku untuk ikut dengannya,” jawabku. Rei terlihat terkejut.
“Ayah…. Bolehkah aku ikut dengan Mama?” tanyaku lagi. Aku mulai sulit menggerakkan tungkaiku. Rasanya seluruh udara di sekitarku menjadi dingin. Kuperhatikan wajah Ayah, matanya basah. Ada aliran air di pipinya ketika ia mengangguk.
“Rio! Jangan pergi! Ayah! Cepat panggilkan dokter! Kak Rio pasti selamat, kan? Ayah!” Rei mengguncang-guncang bahu Ayah. Kugenggam tangan Rei yang menyangga tubuhku untuk mendapatkan perhatiannya.
“Nggak apa-apa Rei. Aku akan selalu bersamamu, kok. Seperti Mama yang selalu menyertaimu,” ucapku. Kurasakan sesuatu mengalir melewati wajahku. Bukan air mata, tapi darah dari lukaku yang terus menderas.
“Rio! Bertahan, Rio! Ayah, lakukan sesuatu, Yah!” Rei semakin panik.
“Ayah akan panggilkan dokter,” ucap Ayah. Ia beranjak bangun, namun Rio menarik pakaiannya.
“Maafkan aku, Ayah! Aku tidak menjadi anak yang seperti Ayah harapkan. Maafkan aku karena tidak bisa menjaga Rei hingga akhir,” ujarku.
“Sudahlah, nak! Kau sudah melakukan segalanya. Ayahlah yang salah karena terlalu memaksakanmu, Rio. Kau mau kan, memaafkan Ayahmu ini?” tanya Ayah.
Segera kuanggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan tersebut. Entah mengapa, tapi hatiku terasa bahagia. Luka di kepala ini pun menjadi tak berarti karena kebahagiaan itu. Inilah pertama kalinya Ayah memperhatikanku. Tapi, mataku lelah sekali. Mungkin aku bisa tidur sebentar. Rei tentunya tak keberatan membiarkan lengannya menjadi alas tidurku, kan? Perlahan kututup mataku dan mulai bermimpi. Mama memanggilku berkali-kali, semakin lama semakin dekat, tangan lembutnya mengajakku untuk pergi.
“Rio! Sadarlah, Rio! Buka matamu!” Rei berteriak seraya mengguncang-guncang tubuhku. Aku terbangun dari tidurku yang belum benar-benar pulas. Kulihat wajah Rei, wajah yang sama sepertiku, basah dan merah.
“Ayah akan menemui dokter,” suara Ayah, kemudian ia berlari meninggalkan kami.
‘Rei, kenapa menangis? Aku akan bertemu dengan Mama. Aku akan menyampaikan perasaanmu padanya. Aku berjanji,’ kalimat yang ingin kukatakan pada Rei. Sulit sekali kuucapkan karena rasa lelah ini.
‘Maaf Rei, tapi Mama sudah menungguku lama di sana. Aku harus segera menghampirinya. Kita pasti akan bertemu lagi. Karenanya, jangan ucapkan selamat tinggal, ya.’ Kututup mataku untuk beristirahat.
Mama kini di hadapanku. Kuraih tangannya yang lembut itu. Segera saja ia menggenggam tanganku dan mengajakku terbang dengan sayapnya. Saat terbang itu, tampak gambaran yang muncul. Itu adalah aku ketika kecil. Ketika sendiri di rumah menunggu kepulangan Mama dari rumah sakit setelah menjenguk Rei yang dirawat karena kanker darah. Sedangkan, Ayah tetap di sana untuk menjaganya. Tapi, sekarang aku tidak sendiri lagi. Karena Mama akan selalu ada di sampingku. Selamanya.
*******
Malam itu, Rio meninggal dunia di dekapanku. Ia meninggal karena kekurangan darah akibat lukanya yang sulit menutup. Setelah diselidiki, rupanya ia menderita hemofilia. Stadium awal memang. Tapi, untuk luka sebesar itu, tentu saja darahnya akan sulit untuk membeku dengan cepat.
Nenek dari Mama adalah pembawa hemofilia. Sepertinya semua berawal dari sana. Karena itulah Mama tidak hanya pembawa kanker darah, tapi juga pembawa hemofilia. Sepertinya, darah kami sudah ditakdirkan untuk semua ini.

0 komen:

Posting Komentar