Cute Brown Spinning Flower

6.1.14

CERPEN: CINTA DALAM SESAL

“Mimi, aku sungguh merindukanmu. Maafkan kesalahanku, Mi!” suaraku lirih. Aku ingat tujuh tahun lalu, saat kelas dua SMP. Aku mengenal Mimi dan perasaannya melalui Puput.
“Bon! Mimi suka sama kamu,” ucap Puput tiba-tiba.
“Ha?!” aku terkejut. “Nggak usah becanda, deh!” gurauku.
“Serius. Aku nggak becanda. Mimi sendiri yang bilang.”
“Kok, bisa sih?”aku tetap menanggapinya dengan bergurau.
Puput mengangkat kedua bahunya. Tak mengerti.
Aku yang kini mengetahui perasaan Mimi, sungguh bersimpati. Ia benar-benar memberikan perhatian yang lebih terhadapku. Hingga pada akhirnya, aku tak mungkin membohongi diri sendiri. Aku pun menyukai Mimi.
Rasa itu sungguh sulit hilang. Dadaku berdebar setiap Mimi mendekati. Mataku pun tak kuasa ceria sebelum melihat Mimi tertawa. Maka, ketika pulang sekolah itu kudekati kelasnya. Aku melirik ke dalam. Mimi memperhatikan seksama keterangan guru di hadapannya melalui bangku baris pertama. Simpul senyum terlukis di wajahku.
Tiba-tiba, Mimi melihatku. Kuperhatikan ia yang memberi isyarat. “Tunggu aku, ya!” mungkin begitulah maknanya. Aku langsung mengangguk setuju untuk menunggunya hingga keluar kelas.
Dua menit, empat menit, sepuluh menit kemudian kelas Mimi bubar. Aku perhatikan seksama, mencari-cari wajah cantik Mimi di antara kerumunan teman sekelasnya. Oh! Itu dia.
Tanpa banyak bicara, Mimi mendekatiku. Kurasakan jantung ini berdegup kencang. Ia menatapku dalam, dapat kulihat dari sorot matanya. Keringatku mulai mengucur. Ia angkat tangannya mendekati lenganku. Lembut yang kurasa saat tangan itu mengusap lengan ini. Ia genggam tanganku. Tapi, aku merasakan sesuatu di balik genggaman itu. Sesuatu yang Mimi berikan. Sepucuk surat.
Malamnya, kubaca surat pemberian Mimi. Bagai orang gila, aku tertawa dan berbicara sendiri. Sungguh berbunga-bunga hati ini. Hanya saja tak kutemukan dalam paragraf manapun kalimat yang kucari. Sebuah pernyataan yang amat kunanti. Meski kecewa, tapi tak apa. Akan kutulis balasan untuknya.
Sebuah surat membuatku dan Mimi mendekat. Kami yang selalu bertemu di sekolah menjadi bertambah akrab. Tapi, tak ada apapun antara kami. Meskipun aku mengetahui perasaan Mimi dan ia pun mengetahui perasaanku. Tak satupun bernyali untuk mendahului.
“Boni! Aku dengar kamu pacaran sama Mimi, ya?” pertanyaan Puput membuatku tersedak. Jus jeruk yang aku seruput muncrat berantakan di atas meja kantin.
“Kamu dengar dari siapa?” aku balik bertanya.
“Dari kakak-kakak kelas tiga, sih. Tapi kayaknya satu sekolah udah tahu, deh. Benar nggak?”
“Nggak, kok. Aku dekat sama Mimi, tuh cuma sebatas kepengurusan OSIS aja. Yah, secara aku ketua OSIS dan Mimi bagian dari seksi kerohanian. Bukannya sebentar lagi ada peringatan Hari Besar Islam?” jelasku mencoba meyakinkan Puput yang manggut-manggut. Meskipun begitu, aku penasaran. Siapa orang yang menyebarkan gosip tentang  hubunganku dan Mimi?
Rupanya tak cukup hanya seluruh siswa, seluruh guru pun kini tahu gosip itu. Hal tersebut membuatku dan Mimi tak nyaman.
“Mungkin seharusnya kita nggak usah terlalu dekat, deh Bon.”  Ucap Mimi suatu hari. “Aku merasa nggak enak sama semuanya.”
“Kok, nggak enak? Kenapa?” sedikit terkejut aku mendengarnya.
Mimi menggelengkan kepala. “Aku merasa setiap sudut di sekolah selalu membicarakan kita. Aku pikir, bila kita menjaga jarak mungkin semua itu akan berakhir,” jawabnya.
“Menjaga jarak, ya?” tanyaku sedih.
Mimi mengangguk pelan, matanya layu. Apakah kebersamaan kami akan berakhir?
Sepertinya benar. Perasaanku pada Mimi benar-benar berakhir, mengiringi jarangnya kesempatanku untuk berkomunikasi dengannya. Bulan-bulan terakhir di kelas tiga SMP, hatiku berpindah haluan. Ada orang lain yang aku cintai. Meskipun terbatas pula akhirannya.
Namun, hidup terus mencari jalannya. Aku dan Mimi harus berpisah karena perbedaan sekolah. Ia memilih SMA di luar kota. Jauh dari SMA yang kumasuki.
Lama tak kudengar kabar dari Mimi. Hingga suatu saat aku diceritakan bahwa Mimi telah berulang kali gagal melukis kisah asmara dengan beberapa laki-laki. Rupanya semua itu hanyalah pelampiasan rasa sakit hatinya padaku yang dengan mudah membiarkan cinta Mimi termakan waktu. Oh! Bodohnya aku selama ini. Aku membiarkan Mimi tergantung dalam harapan kosong akan kelengkapan hatinya.
Rasa bersalahku membangkitkan lagi cinta itu. Meski dingin, tapi manis. Cinta itu tak pernah terkubur akhirnya. Walau datang beribu-ribu cinta lain yang berusaha menutupi, akan kutangkis demi cintaku pada Mimi. Aku tak ingin sesal yang kedua kali. Maka, tak satupun terajut kisah mesraku hingga masa SMA terakhiri.
Pendidikan baru yang aku mulai, mengawali langkah pertamaku untuk mendekati Mimi kembali. Aku coba membangun komunikasi dengannya. Walau sulit menatanya.
Maka suatu malam, saat aku sedang menelepon Mimi.
“Mi! Sebentar, ya! Ada panggilan masuk,” izinku pada Mimi yang sedang asik bicara.
“Oh! Ya udah, deh. Diangkat dulu!” jawabnya.
Aku hold panggilan Mimi untuk menjawab panggilan masuk yang nomornya tak kukenal tersebut. Tapi saat kujawab, seseorang di seberang justru memutuskannya. Aku terheran-heran.
“Siapa, Bon?” Tanya Mimi begitu aku unhold panggilannya.
“Nggak tahu. Nomor baru,” jawabku. “Eh, Mimi! Kamu mau cari tahu nggak tadi nomor siapa? Tolong, ya! Aku lagi dilanda krisis ekonomi, nih.” Aku memohon.
“Pake kesulitan ekonomi segala,” Mimi menertawaiku. “Iya, deh. Sebutin nomornya!”
Sesuai permintaan Mimi. Aku sebutkan nomor itu.
Satu menit, dua menit, lima menit panggilanku diholding oleh Mimi. Maka setelah tersambung kembali ….
“Siapa, Mi?” tanyaku penuh penasaran.
“Orang nyasar,” jawab Mimi singkat.
“Oh!”
“Bon! Udah dulu, ya! Aku ada kuliah pagi besok. Lagian juga udah malam,” pamit Mimi tiba-tiba.
“Eh! Ya, udah kalau besok kamu ada kuliah pagi,” jawabku.
“Assalamu’alaikum,” salam Mimi.
“Waalaikumsalam.”
Trek! Mimi memutuskan panggilanku.
Aku merasa ada yang aneh pada Mimi. Kenapa tiba-tiba ia memutuskan untuk menghentikan obrolan?  Ada apa sebenarnya?
Sejak telepon hari itu, kabar Mimi menghilang. Jangankan menelepon atau mengirim pesan padaku, pesan-pesanku saja tak pernah dibalasnya. Begitu pun saat kutelepon dia, tak sekalipun diangkatnya.
“Ada apa denganmu, Mimi?” batinku.
Lama waktu berlalu. Hingga saat tiba waktuku mengetahui kebenaran dari masa lalu.  Nomor yang aku minta Mimi untuk menyelidikinya ternyata milik seorang wanita. Pada Mimi, ia mengaku bahwa dirinya adalah kekasihku. Jadi, itu alasan Mimi menjauhiku?
“Aku nggak boleh diam saja. Mimi harus tahu yang sesungguhnya. Orang itu bukan kekasihku,” tekadku.
Tak buang waktu, aku segera menghubungi Mimi. Syukurlah kali ini ia mengangkat panggilanku.
“Halo, Milik?” bukaku. “Aku ingin menjelaskan sesuatu. Orang itu, yang nomornya aku minta padamu untuk kamu cari tahu, benar-benar bukan pacarku. Berani sumpah, saat itu aku nggak punya pacar satupun.”
“Iya. Aku tahu, Bon.” Suara Mimi lirih dan dingin.
“Kamu percaya sama aku, kan?”
“Aku percaya sama kamu,” jawaban Mimi belum meyakinkanku.
“Mimi! Kamu nggak percaya, ya?”
“Aku percaya, kok. Kalau begitu sudah dulu, ya! Ada tugas yang lagi aku kerjain. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”

Trek! Mimi memutuskan panggilanku. Nada marah yang kurasa pada setiap ucapannya tadi. Mungkinkah hatinya terlalu sakit akibat sayatan sembiluku yang membekas dalam? Hingga rasa cintanya padaku harus mengalir ke luar, membuatnya beku dan terdiam. Kini, sesal yang kurasakan.

0 komen:

Posting Komentar